Diplomasi
Pertahanan
sebagai
Alat Kebijakan Luar Negeri
Rodon Pedrason ; Pengajar
di Universitas Pertahanan Indonesia;
Sedang Menyelesaikan Program PhD di
Ruprecht-Karls-Universität,
Heidelberg, Jerman; Penerima Beasiswa Unggulan BPKLN
Kemdikbud RI
|
KORAN
SINDO, 14 Maret 2015
Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia menjadi topik hangat di
dunia internasional belakangan ini. Banyak negara yang memprotes dan melabeli
Pemerintah Indonesia sangat tidak manusiawi.
Salah satu negara yang paling keras mengecam hukuman mati di
Indonesia adalah Australia, sebagai akibat dari dua warganya yang berada pada
top list akan di eksekusi segera karena dakwaan sebagai pemimpin jaringan
penyelundup narkoba ”Bali Nine”. Dua warga negara Australia terpidana Bali
Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, mendorong Perdana Menteri Tony Abbott
mengeluarkan berbagai jurus diplomatiknya yang terkesan sangat agresif dan
cenderung arogan, agar pemerintahan Presiden Jokowi membatalkan eksekusi.
Namun, Pemerintah Indonesia bergeming dan rencana pelaksanaan
hukuman mati tetap berjalan. Bulan lalu Menteri Luar Negeri Australia Julie
Bishop menyatakan, Australia akan melakukan boikot pariwisata Bali.
Pernyataan Bishop tersebut diperparah dengan ucapan Abbot yang mengatakan,
bangsa Indonesia jangan lupa kebaikan Australia yang telah mengucurkan dana
miliaran dolar untuk membantu para korban Tsunami di Aceh tahun 2004.
Sontak pernyataan kedua petinggi Negeri Kanguru tersebut
mengejutkan dunia dan membuat rakyat Indonesia meradang dan tersinggung
karena telah merendahkan harga diri bangsa Indonesia. Pernyataan politik
Abbott dan Bishop sebenarnya sesuatu hal yang wajar, tetapi dalam pergaulan
tingkat tinggi, protes seorang kepala pemerintahan yang mengaitkan dengan
bantuan kemanusiaan, sungguh sangat tidak elok, tidak elegan, sangat
menyinggung dan menyakiti bangsa Indonesia.
Dari keteguhan pemerintahan Indonesia untuk mengampuni kedua
narapidana Bali Nine, berkembang menjadi sikap antipati masyarakat Indonesia
kepada Australia. Jika dicermati lebih jauh pernyataan-pernyataan Abbott dan
Bishop, yang mengancam pemboikotan pariwisata ke Pulau Dewata, kiranya
Pemerintah Australia perlu berhitung dengan cermat dengan segala rencana
boikot-boikot mereka terhadap Indonesia.
Sebab jika boikot dilakukan, maka Indonesia dapat saja
menjalankan diplomasi pertahanan terhadap Australia, dengan memblokade jalur
pelayaran kapal-kapal dagang negara tersebut, yang akan berakibat kerugian
lebih besar di pihak Australia. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa Bali
selama ini merupakan tujuan wisata utama warga Australia.
Meskipun demikian, secara persentase, Australia masih menduduki
peringkat ketiga setelah dua negara ASEAN, Singapura dan Malaysia, dari sisi
jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali sepanjang tahun lalu. Artinya, turis
yang berasal dari intern ASEAN masih lebih banyak daripada Australia dari
total 9,3 juta wisatawan ke Bali.
Demikian juga halnya dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
yang dimiliki Indonesia. Dari tiga ALKI milik Indonesia, jalur laut melalui
Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, Selat Lombok atau ALKI-II,
merupakan jalur laut utama yang sering dilayari kapal-kapal dagang Australia.
Sekitar 80% komoditas Negeri Kanguru yang diangkut ke China
melalui ALKI-II yang terletak di antara Pulau Lombok dan Bali. Masih segar
dalam ingatan kita pada tahun 2006 yang lalu ratusan warga Lombok, Nusa
Tenggara Barat (NTB), menyampaikan aspirasi mereka kepada Pemerintah NTB,
agar pemerintah menutup Selat Lombok sebagai jalur utama perdagangan
kapal-kapal Australia.
Tuntutan warga NTB tersebut dipicu oleh campur tangan Australia
terhadap masalah dalam negeri Indonesia. Kebijakan Pemerintah Australia
memberikan visa kepada sejumlah warga Papua merupakan bentuk intervensi
masalah dalam negeri Indonesia, yang tidak berhak dicampuri oleh Australia.
Jika Selat Lombok terlarang bagi kapal-kapal dagang Australia,
maka dipastikan perdagangan negara tersebut akan terganggu. Pada pertengahan
2011 sebuah peternakan sapi kenamaan Australia, Bullo River Stasion, dengan
sangat terpaksa dijual oleh pemiliknya.
Ketiadaan pembeli dan kehilangan pasar untuk menyalurkan
produksi daging peternakan seluas 160.000 hektare itu menjadi penyebabnya.
Kebijakan larangan ekspor sapi ke Indonesia oleh Pemerintah Australia pada
waktu sangat memukul para peternak di Australia dan menimbulkan kesulitan
ekonomi yang masif.
Australia merupakan negara pengekspor hewan ternak terbesar di
dunia, dan Indonesia merupakan pasar terbesar bagi para peternak Australia
yang mampu menghasilkan potensi devisa sebesar 461 juta dolar Australia.
Dapat dibayangkan, betapa besar kerugian yang akan dialami Australia jika
jalur dagang negara tersebut ditutup.
Menurut data yang ada, Indonesia mampu menyerap 60% total
produksi hewan ternak Australia. Indonesia dengan potensi pasar sebesar 245
juta penduduk memang merupakan ”ladang harta karun” yang dapat memakmurkan
bangsa Australia. Jika jalur dagang tertutup, maka akan memunculkan gelombang
protes baru terhadap pemerintahan Abbott yang dapat menjadi faktor kehancuran
pemerintahan Perdana Menteri yang berasal dari Partai Liberal Australia
tersebut.
Mencermati situasi politik nasional yang berkembang saat ini,
selayaknya Indonesia meningkatkan peran diplomasi pertahanan, terutama dalam
konteks hubungan bilateral dengan Australia. Konsep diplomasi pertahanan
sejatinya adalah sebagai alat penting bagi kebijakan pertahanan dan kebijakan
luar negeri sebuah negara.
Bagi negara-negara ASEAN, diplomasi pertahanan merefleksikan
kewaspadaan nasional untuk mengatasi berbagai masalah nasional dalam lingkup
regional. Dalam prosesnya, diplomasi pertahanan melibatkan segenap komponen
negara, baik politisi, pihak militer, pejabat pemerintahan, para pakar,
bahkan LSM.
Dalam menghadapi isu boikot yang dicanangkan Australia ini, TNI
dapat memainkan peran diplomasi pertahanan tersebut. Seperti kejadian tahun
2014, akibat isu penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Presiden SBY.
Merespons pelecehan tersebut, Pemerintah Indonesia menugaskan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) untuk memperketat wilayah perbatasan dengan
menggelar latihan besar-besaran di sekitar Selat Lombok.
Kehadiran TNI dengan kekuatan besar dan persenjataan mutakhir
membuat parlemen Australia khawatir. Karena dari wilayah sekitar Lombok dan
Makassar, Australia bisa dijangkau dengan mudah. Kebijakan aktivasi diplomasi
pertahanan merupakan langkah yang imperatif atau sangat penting diterapkan
Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat yang memiliki kebijakan dalam
negeri independen dan bebas dari intervensi negara mana pun.
Serangkaian kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia kiranya tidak hanya cukup
ditunjukkan dengan keteguhan terhadap pelaksanaan hukuman mati, tetapi perlu
dan penting didukung dengan kebijakan pertahanan yang sinkron dengan keputusan
politik.
Adalah sama pentingnya keteguhan terhadap sebuah keputusan yang
telah dibuat, disertai dengan unjuk kesiapan menghadapi ancaman boikot dari
negara lain. Banyak yang mungkin berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu
gelar kekuatan bersenjata, seakan akan siap perang dengan Australia.
Memang diplomasi pertahanan tidaklah ditujukan untuk kesiapan
berperang karena hakikatnya diplomasi pertahanan merupakan jalan damai yang
diinginkan sebuah negara untuk melindungi kepentingan nasional negara
tersebut. Ada dua keuntungan yang bisa didapat Indonesia dengan menggelar
kekuatan bersenjata di sekitar Selat Lombok.
Pertama, secara diplomatik Indonesia dapat menunjukkan
keunggulan diplomasi dan memberikan keuntungan ekonomi. Pemerintah tidak
perlu mengeluarkan pernyataan blokade jalur pelayaran di Selat Lombok, tetapi
secara halus Indonesia dapat memberitahukan kepada setiap negara pengguna
ALKI-II untuk sementara waktu menghentikan kegiatan dagang mereka me-lalui
jalur tersebut karena sedang dipergunakan untuk latihan militer,
sebagai latihan rutin kesiapan militer Indonesia dalam menjaga
teritori Indonesia. Jika jalur dagang di ALKI-II tidak dapat dilalui, maka
Australia akan mengalami kerugian besar, bahkan Indonesia dapat memainkan
harga ternak yang ingin dijual Australia, jika Negeri Kanguru ini tetap ingin
mengekspor komoditi mereka melalui ALKI-II.
Kedua, pemerintahan Presiden Jokowi dapat meraih kepercayaan dan
sekaligus dukungan rakyat, bahwa pemerintah bersungguh- sungguh mengembangkan
kekuatan dan meningkatkan kemampuan militer Indonesia yang dapat menjaga
integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta martabat bangsa.
Pernyataan yang dikeluarkan Abbott dan Bishop terhadap kebijakan
dalam negeri Indonesia merupakan sebuah refleksi sikap arogansi sebuah negara
lain yang memandang rendah bangsa Indonesia. Pernyataan yang dikeluarkan
Abbott tidak lagi merupakan sebuah ucapan santun dan diplomatis, tetapi lebih
merupakan sebuah bentuk ucapan yang kasar dan tidak mencerminkan ucapan
seorang pemimpin yang menghargai bangsa lain.
Seyogianya Pemerintah Indonesia menyikapi intervensi tersebut
dengan diplomatis, elegan dan taktis tanpa perlu terjebak dengan
manuver-manuver Abbott yang memiliki agenda menghindarkan diri dari cercaan
bangsanya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar