Minggu, 15 Maret 2015

Jangan Intervensi Kedaulatan Hukum Indonesia!

Jangan Intervensi Kedaulatan Hukum Indonesia!

Firmandez ;  Anggota Komisi I Fraksi Partai Golkar DPR RI
KORAN SINDO, 14 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Sikap tegas dan lugas selalu mengandung risiko. Itulah yang dihadapi Indonesia ketika menolak berkompromi dengan sindikat narkotika internasional.

Pemimpin pemerintahan dua negara sahabat, Brasil dan Australia, terang-terangan menghina dan coba mengintervensi proses penegakan hukum. Namun, demi kedaulatan dan martabat bangsa, Indonesia tidak boleh goyah dengan penghinaan itu. Keputusan Pemerintah Indonesia mengeksekusi warga negara asing (WNA) terpidana mati kasus narkoba sudah tepat.

Tidak ada yang salah sebab perang terhadap sindikat narkotika internasional harus dipahami sebagai bagian dari ketahanan nasional. Penetrasi sindikat narkoba internasional telah menimbulkan ekses yang sangat serius terhadap generasi muda di Tanah Air. Tak kurang dari 50 orang tewas setiap hari karena mengonsumsi narkoba. Untuk memperkokoh kekuatannya di negara ini, sindikat narkoba internasional juga telah menyusup ke tubuh birokrasi negara.

Itulah sekilas dari ekses akibat keleluasaan sindikat narkotika internasional membangun bisnis haramnya di negara ini. Maka itu, eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba, dari mana pun asal negara sang terpidana, sudah sangat tepat. Dalam konteks kepentingan nasional, eksekusi mati itu bagian dari perang melawan sindikat kejahatan itu.

Eksekusi terpidana mati itu pun harus dimaknai sebagai pesan bangsa Indonesia kepada semua sindikat kejahatan narkoba di seluruh dunia bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia tak mau lagi berkompromi. Ketegasan sikap itu merupakan pengejawantahan dari UUD 1945. Konstitusi Indonesia memerintahkan negara melindungi segenap warga negara dan tumpah darah Indonesia dari berbagai bentuk ancaman, termasuk ancaman narkoba terhadap generasi muda.

Dengan demikian, tidak satu pun negara lain yang boleh mengintervensi penegakan hukum di Indonesia, apalagi penegakan hukum dalam konteks memerangi kejahatan narkoba. Eksekusi mati terhadap terpidana sering dibenturkan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia (HAM). Pertanyaannya, apakah para gembong narkoba itu masuk kelompok pelanggar HAM?

Jelas bahwa para penjahat narkoba, direncanakan atau tidak, telah merenggut hak hidup orang lain karena produk yang mereka perdagangkan secara ilegal itu memiliki kekuatan untuk menghilangkan nyawa para penggunanya. Sanksi hukuman mati diperlukan untuk menumbuhkan efek jera bagi para pelaku kejahatan narkoba itu.

Memang, sangat wajar jika Presiden Brasil Dilma Rousseff marah karena Indonesia pada17 Januari 2015 telah mengeksekusi Marco Archer, orang Brasil yang terbukti bersalah melakukan perdagangan narkoba di Indonesia. Apalagi, WNA asal Brasil lainnya, Rodrigo Gularte, juga harus menghadapi sanksi serupa karena kesalahan yang sama.

Wajar juga bila Perdana Menteri Australia Tony Abbott bersama Menteri Luar Negeri Julie Bishop berupaya menyelamatkan nyawa dua terpidana mati warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dari sanksi hukuman mati di Indonesia. Sebagai kepala pemerintahan, Abbott memang tidak boleh tinggal diam. Dia wajib melobi Pemerintah Indonesia guna menyelamatkan warganya.

Namun, Rousseff dan Abbott juga harus mau menghormati hukum yang berlaku di Indonesia. Selain itu, keduanya pun harus memahami kepentingan nasional Indonesia. Sindikat narkotika dari berbagai belahan dunia telah menjadikan Indonesia sebagai pasar tujuan paling potensial. Menghadapi kenyataan itu, Indonesia wajib memberi perlawanan maksimal. Salah satu bentuknya adalah hukuman mati bagi gembong-gembong narkoba.

Picu Ketersinggungan

Sistem hukum di Brasil dan Australia barangkali masih memberi toleransi bagi para gembong narkoba. Para gembong narkoba diberi kele-luasaan untuk beroperasi dengan sanksi sangat minimal yang nyaris tanpa efek jera. Rousseff dan Abbott tentu saja tidak bisa memaksa Indonesia menerapkan sanksi yang sama terhadap para gembong narkoba.

Tantangan yang harus dihadapi Indonesia dengan kedua negara itu praktis berbeda. Mengapa? Karena, puluhan juta orang tua, para pendidik, tokoh agama, dan para pemuka masyarakat sudah sepakat memosisikan Indonesia sebagai darurat narkoba. Setiap hari korban tewas terus berjatuhan. Penetrasi sindikat narkoba sudah menyusup ke tubuh birokrasi negara.

Sipir penjara, oknum penegak hukum, hingga oknum pengajar sudah menjadi bagian dari jaringan sindikat narkotika internasional. Menghadapi kenyataan seperti itu, rakyat Indonesia mendesak agar sistem hukum di negara ini menolak berkompromi dengan penjahat narkoba. Bagi Indonesia, memberi toleransi kepada para gembong narkoba internasional adalah sebuah perjudian bodoh karena menjadikan masa depan generasi muda sebagai taruhannya.

Indonesia jelas tidak boleh memainkan perjudian itu. Sebaliknya, rakyat mendesak pemerintah agar merespons kenyataan mengerikan itu dengan sikap sangat tegas dan lugas. Rakyat solid mendukung ketika Presiden Joko Widodo menolak permohonan grasi 11 terpidana mati, termasuk warga Perancis, Brasil, dan dua warga Australia.

Pemerintah sangat siap ketika sikap tegas ini menimbulkan ketegangan diplomatik, khususnya antara Indonesia dan Australia, walau Abbott berulang memohon pembatalan eksekusi mati tersebut. Upaya Australia mengajukan pertukaran tahanan juga kandas karena memang sistem hukum Indonesia tidak mengenal pertukaran tahanan.

Begitu pula ketika Negara Kanguru tersebut akan menanggung semua biaya penahan dua warga negara selama menjalankan hukuman di Indonesia asalkan keduanya tidak dijatuhi hukuman mati. Rupanya, Brasil dan Australia menolak untuk memahami tantangan yang dihadapi Indonesia itu. Presiden Rousseff terang-terangan menghina Indonesia ketika menolak menerima surat kepercayaan Duta Besar Indonesia untuk Brasil Totok Riyanto.

Langkah tegas pemerintah langsung menarik pulang Totok sangat tepat. Abbott juga ikut-ikutan menghina Indonesia ketika dia mengungkit bantuan negaranya untuk korban tsunami Aceh. Tentu saja, dalam konteks diplomasi yang berkeadaban, perilaku Rousseff dan Abbott tak lazim. Abbott tak hanya memicu pertikaian diplomatik dengan Jakarta, tetapi juga menimbulkan ketersinggungan masyarakat di berbagai pelosok daerah.

Dia minta Indonesia balas budi atas bantuan satu miliar dolar dari Australia saat peristiwa tsunami Aceh. Bantuan itu dibarter dengan tidak mengeksekusi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Keduanya adalah anggota kelompok Bali Nine yang dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 17 April 2005. Sukumaran, 33, dan Chan, 31, terbukti berupaya menyelundupkan heroin seberat 8,2 kilogram.

Pernyataan Abbott memancing kemarahan rakyat Indonesia. Masyarakat di berbagai daerah merespons perilaku Abbott dengan gerakan pengumpulan ”Koin untuk Australia” sambil terus mendesak penegak hukum mengeksekusi Sukumaran dan Chan. Sedangkan pada level pemerintah, Kementerian Luar Negeri RI menilai Abbott sebagai diplomat amatiran dan menolak mengomentari pernyataan pemimpin Australia itu.

Sikap Kementerian Luar Negeri RI sejalan dengan pandangan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop yang menilai perilaku Abbott justru tidak membantu menyelesaikan masalah. Abbott boleh saja menyandang jabatan perdana menteri Australia. Namun, sudah beberapa kali dia berbuat kontroversi yang tak perlu.

Sebelum menyinggung bantuan Australia untuk bencana tsunami Aceh, dia sempat membuat masalah dengan Presiden Rusia Vladimir Putin ketika meminta kompensasi atas kematian warga Australia dalam kecelakaan pesawat Malaysia Airlines MH17. Mungkin, Abbott masih akan membuat pernyataanpernyataan yang kontroversial di kemudian hari.

Menghadapi perilaku Abbott seperti itu, Indonesia tidak perlu berlebihan dalam menyikapinya. Di negerinya sendiri, Abbott sering menjadi bahan olok-olok. Karena itu, Pemerintah Indonesia harus konsisten dengan pendirian maupun keputusannya, termasuk untuk kasus eksekusi dua anggota Bali Nine itu.

Indonesia melalui prinsip politik luar negeri bebas dan aktif tentu akan menghargai negara lain untuk memperjuangkan kepentingan warga mereka. Namun, negara lain juga tidak boleh mengintervensi apalagi menghina kedaulatan hukum Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar