Jangan
Intervensi Kedaulatan Hukum Indonesia!
Firmandez ; Anggota
Komisi I Fraksi Partai Golkar DPR RI
|
KORAN
SINDO, 14 Maret 2015
Sikap tegas dan lugas selalu mengandung risiko. Itulah yang
dihadapi Indonesia ketika menolak berkompromi dengan sindikat narkotika
internasional.
Pemimpin pemerintahan dua negara sahabat, Brasil dan Australia,
terang-terangan menghina dan coba mengintervensi proses penegakan hukum.
Namun, demi kedaulatan dan martabat bangsa, Indonesia tidak boleh goyah
dengan penghinaan itu. Keputusan Pemerintah Indonesia mengeksekusi warga
negara asing (WNA) terpidana mati kasus narkoba sudah tepat.
Tidak ada yang salah sebab perang terhadap sindikat narkotika
internasional harus dipahami sebagai bagian dari ketahanan nasional.
Penetrasi sindikat narkoba internasional telah menimbulkan ekses yang sangat
serius terhadap generasi muda di Tanah Air. Tak kurang dari 50 orang tewas
setiap hari karena mengonsumsi narkoba. Untuk memperkokoh kekuatannya di
negara ini, sindikat narkoba internasional juga telah menyusup ke tubuh
birokrasi negara.
Itulah sekilas dari ekses akibat keleluasaan sindikat narkotika
internasional membangun bisnis haramnya di negara ini. Maka itu, eksekusi
terhadap terpidana mati kasus narkoba, dari mana pun asal negara sang
terpidana, sudah sangat tepat. Dalam konteks kepentingan nasional, eksekusi
mati itu bagian dari perang melawan sindikat kejahatan itu.
Eksekusi terpidana mati itu pun harus dimaknai sebagai pesan
bangsa Indonesia kepada semua sindikat kejahatan narkoba di seluruh dunia
bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia tak mau lagi berkompromi. Ketegasan
sikap itu merupakan pengejawantahan dari UUD 1945. Konstitusi Indonesia
memerintahkan negara melindungi segenap warga negara dan tumpah darah
Indonesia dari berbagai bentuk ancaman, termasuk ancaman narkoba terhadap
generasi muda.
Dengan demikian, tidak satu pun negara lain yang boleh mengintervensi
penegakan hukum di Indonesia, apalagi penegakan hukum dalam konteks memerangi
kejahatan narkoba. Eksekusi mati terhadap terpidana sering dibenturkan dengan
prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia (HAM). Pertanyaannya, apakah para
gembong narkoba itu masuk kelompok pelanggar HAM?
Jelas bahwa para penjahat narkoba, direncanakan atau tidak,
telah merenggut hak hidup orang lain karena produk yang mereka perdagangkan
secara ilegal itu memiliki kekuatan untuk menghilangkan nyawa para
penggunanya. Sanksi hukuman mati diperlukan untuk menumbuhkan efek jera bagi
para pelaku kejahatan narkoba itu.
Memang, sangat wajar jika Presiden Brasil Dilma Rousseff marah
karena Indonesia pada17 Januari 2015 telah mengeksekusi Marco Archer, orang
Brasil yang terbukti bersalah melakukan perdagangan narkoba di Indonesia.
Apalagi, WNA asal Brasil lainnya, Rodrigo Gularte, juga harus menghadapi
sanksi serupa karena kesalahan yang sama.
Wajar juga bila Perdana Menteri Australia Tony Abbott bersama
Menteri Luar Negeri Julie Bishop berupaya menyelamatkan nyawa dua terpidana
mati warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dari sanksi hukuman
mati di Indonesia. Sebagai kepala pemerintahan, Abbott memang tidak boleh
tinggal diam. Dia wajib melobi Pemerintah Indonesia guna menyelamatkan
warganya.
Namun, Rousseff dan Abbott juga harus mau menghormati hukum yang
berlaku di Indonesia. Selain itu, keduanya pun harus memahami kepentingan
nasional Indonesia. Sindikat narkotika dari berbagai belahan dunia telah
menjadikan Indonesia sebagai pasar tujuan paling potensial. Menghadapi
kenyataan itu, Indonesia wajib memberi perlawanan maksimal. Salah satu
bentuknya adalah hukuman mati bagi gembong-gembong narkoba.
Picu
Ketersinggungan
Sistem hukum di Brasil dan Australia barangkali masih memberi
toleransi bagi para gembong narkoba. Para gembong narkoba diberi kele-luasaan
untuk beroperasi dengan sanksi sangat minimal yang nyaris tanpa efek jera.
Rousseff dan Abbott tentu saja tidak bisa memaksa Indonesia menerapkan sanksi
yang sama terhadap para gembong narkoba.
Tantangan yang harus dihadapi Indonesia dengan kedua negara itu
praktis berbeda. Mengapa? Karena, puluhan juta orang tua, para pendidik,
tokoh agama, dan para pemuka masyarakat sudah sepakat memosisikan Indonesia
sebagai darurat narkoba. Setiap hari korban tewas terus berjatuhan. Penetrasi
sindikat narkoba sudah menyusup ke tubuh birokrasi negara.
Sipir penjara, oknum penegak hukum, hingga oknum pengajar sudah
menjadi bagian dari jaringan sindikat narkotika internasional. Menghadapi
kenyataan seperti itu, rakyat Indonesia mendesak agar sistem hukum di negara
ini menolak berkompromi dengan penjahat narkoba. Bagi Indonesia, memberi
toleransi kepada para gembong narkoba internasional adalah sebuah perjudian
bodoh karena menjadikan masa depan generasi muda sebagai taruhannya.
Indonesia jelas tidak boleh memainkan perjudian itu. Sebaliknya,
rakyat mendesak pemerintah agar merespons kenyataan mengerikan itu dengan
sikap sangat tegas dan lugas. Rakyat solid mendukung ketika Presiden Joko
Widodo menolak permohonan grasi 11 terpidana mati, termasuk warga Perancis,
Brasil, dan dua warga Australia.
Pemerintah sangat siap ketika sikap tegas ini menimbulkan
ketegangan diplomatik, khususnya antara Indonesia dan Australia, walau Abbott
berulang memohon pembatalan eksekusi mati tersebut. Upaya Australia
mengajukan pertukaran tahanan juga kandas karena memang sistem hukum
Indonesia tidak mengenal pertukaran tahanan.
Begitu pula ketika Negara Kanguru tersebut akan menanggung semua
biaya penahan dua warga negara selama menjalankan hukuman di Indonesia
asalkan keduanya tidak dijatuhi hukuman mati. Rupanya, Brasil dan Australia
menolak untuk memahami tantangan yang dihadapi Indonesia itu. Presiden
Rousseff terang-terangan menghina Indonesia ketika menolak menerima surat
kepercayaan Duta Besar Indonesia untuk Brasil Totok Riyanto.
Langkah tegas pemerintah langsung menarik pulang Totok sangat
tepat. Abbott juga ikut-ikutan menghina Indonesia ketika dia mengungkit
bantuan negaranya untuk korban tsunami Aceh. Tentu saja, dalam konteks
diplomasi yang berkeadaban, perilaku Rousseff dan Abbott tak lazim. Abbott
tak hanya memicu pertikaian diplomatik dengan Jakarta, tetapi juga
menimbulkan ketersinggungan masyarakat di berbagai pelosok daerah.
Dia minta Indonesia balas budi atas bantuan satu miliar dolar
dari Australia saat peristiwa tsunami Aceh. Bantuan itu dibarter dengan tidak
mengeksekusi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Keduanya adalah anggota
kelompok Bali Nine yang dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 17
April 2005. Sukumaran, 33, dan Chan, 31, terbukti berupaya menyelundupkan
heroin seberat 8,2 kilogram.
Pernyataan Abbott memancing kemarahan rakyat Indonesia.
Masyarakat di berbagai daerah merespons perilaku Abbott dengan gerakan
pengumpulan ”Koin untuk Australia” sambil terus mendesak penegak hukum
mengeksekusi Sukumaran dan Chan. Sedangkan pada level pemerintah, Kementerian
Luar Negeri RI menilai Abbott sebagai diplomat amatiran dan menolak
mengomentari pernyataan pemimpin Australia itu.
Sikap Kementerian Luar Negeri RI sejalan dengan pandangan
Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop yang menilai perilaku Abbott
justru tidak membantu menyelesaikan masalah. Abbott boleh saja menyandang
jabatan perdana menteri Australia. Namun, sudah beberapa kali dia berbuat
kontroversi yang tak perlu.
Sebelum menyinggung bantuan Australia untuk bencana tsunami
Aceh, dia sempat membuat masalah dengan Presiden Rusia Vladimir Putin ketika
meminta kompensasi atas kematian warga Australia dalam kecelakaan pesawat
Malaysia Airlines MH17. Mungkin, Abbott masih akan membuat
pernyataanpernyataan yang kontroversial di kemudian hari.
Menghadapi perilaku Abbott seperti itu, Indonesia tidak perlu
berlebihan dalam menyikapinya. Di negerinya sendiri, Abbott sering menjadi
bahan olok-olok. Karena itu, Pemerintah Indonesia harus konsisten dengan
pendirian maupun keputusannya, termasuk untuk kasus eksekusi dua anggota Bali
Nine itu.
Indonesia melalui prinsip politik luar negeri bebas dan aktif
tentu akan menghargai negara lain untuk memperjuangkan kepentingan warga
mereka. Namun, negara lain juga tidak boleh mengintervensi apalagi menghina
kedaulatan hukum Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar