Demokrasi
Jalan Korupsi
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 14 Maret 2015
Lama tak berkomunikasi, beberapa waktu yang lalu tiba-tiba Ahmad
Khoirul Umam berkirim e-mail yang meminta saya membuat pengantar untuk buku
yang akan diterbitkannya.
Mantan wartawan yang dulu sering meliput aktivitas saya ini,
sekarang sudah menjadi kandidat doktor di University of Queensland, Brisbane,
Australia. Di sela-sela keseriusan menyiapkan disertasi doktornya, Umam
sempat menulis buku Pergulatan Demokrasi dan Politik Antikorupsi di
Indonesia.
Buku itu berisi kegundahan dan kemarahan akademisnya, karena
ternyata demokrasi di Indonesia gagal menjadi sistem dan mekanisme yang mampu
secara efektif memerangi korupsi. Umam meminta saya membuat pengantar atas
buku yang berisi kekecewaan atas perkembangan politik di negara yang
dicintainya, Indonesia.
Saya agak
terperangah ketika membaca statement
di dalam draf buku itu bahwa teori-teori yang menjelaskan bahwa demokrasi
merupakan sistem atau jalan politik yang tepat untuk memberantas korupsi
ternyata tak berlaku atau gagal diberlakukan di Indonesia. Indonesia telah gagal menjadikan demokrasi sebagai sistem dan
alat politik yang legal untuk memberantas korupsi.
Pandangan-pandangan Sandholtz dan Kotzle (2000), Blake dan
Martin (2006), atau Hellman (2008) yang meneorikan bahwa semakin demokratis
suatu negara akan semakin efektif pemberantasan korupsinya, ternyata tak
berlaku di Indonesia. Indonesia telah melakukan reformasi untuk membangun
sistem politik yang demokratis karena keyakinan bahwa pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) serta penegakan hukum pada umumnya akan bisa
dilaksanakan secara efektif melalui demokrasi.
Ternyata kita kecele. Demokrasi untuk mengatasi berbagai krisis
yang kita bangun, ternyata kalah dalam perang melawan korupsi. Reformasi yang
dibayar sangat mahal dengan melakukan amendemen atas UUD 1945 agar
elemen-elemen penting demokrasi lebih mendapat tempat yang kuat di dalam
konstitusi, ternyata tak membuat korupsi berkurang.
Alih-alih berkurang, korupsi semakin menggurita dan merajalela.
Banyak yang kemudian mengejek demokratisasi yang dulu kita bangga-banggakan.
Ada yang mengatakan bahwa reformasi kita telah jauh kebablasan membangun
demokrasi yang justru tak efektif dan keok melawan korupsi. William Liddle
mengatakan bahwa demokrasi telah menjadi alat korupsi karena korupsi justru
dilakukan melalui mekanisme demokrasi.
Sementara Saiful Mujani dalam buku
Kuasa Rakyat (2012) mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia bukan lagi sistem
politik yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, melainkan sudah
menjadi dari rakyat, oleh elite, dan untuk elite. Tetapi benarkah kita telah gagal memerangi korupsi melalui
demokrasi yang kita bangun dengan susah payah? Inilah yang harus didiagnosa.
Bahwa setelah reformasi berjalan sekitar 17 tahun Indonesia
tidak berhasil memerangi korupsi secara efektif, adalah fakta tak
terbantahkan. Tetapi untuk mengatakan bahwa demokrasi tidak bisa dijadikan
sistem, sekaligus alat untuk memberantaskorupsi, mungkin tidak sepenuhnya
tepat untuk menjelaskan Indonesia. Persoalannya, demokratisasi di Indonesia
hanya berjalan pada periode pertama pemerintahan hasil Pemilu 1999. Pemilu
1999 adalah pemilu yang paling demokratis setelah Pemilu 1955.
Itulah sebabnya pada periode tersebut kita memiliki anggota-anggota
DPR yang cukup bagus, mengeluarkan banyak UU yang cukup berkualitas, sesuai
dengan aspirasi masyarakat. Bahkan pada periode pertama reformasi, kita
melahirkan lembaga-lembaga penegak hukum yang, pada mulanya sangat
membanggakan, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Mahkamah
Konstitusi.
Pada era ini, konsolidasi demokrasi tampak berhasil dan memberi
harapan akan efektivitasnya memerangi korupsi. Namun lama-kelamaan, tepatnya
setelah Pemilu 2004, sistem yang demokratis mulai bergeser menjadi oligarkis.
Demokrasi menjadi pasar jual-beli untuk jabatan-jabatan politik. Demokrasi
menjadi tidak substansial, tetapi lebih prosedural semata sehingga ia pun
secara praktis mudah dijadikan alat untuk korupsi.
Bukan rahasia lagi bahwa pemilihan-pemilihan pejabat publik,
baik yang langsung dilakukan oleh rakyat maupun melalui DPR, marak dengan isu
politik uang dan koncoisme. Pemilu legislatif menjadi ajang bebas untuk
saling bantai melalui kekuatan uang dan kecurangan, begitu juga pemilihan
kepala daerah dipenuhi oleh penyalahgunaan jabatan dan permainan uang. Banyak
parpol yang kemudian bukan menjadi organisasi politik yang demokratis,
melainkan oligarkis sehingga keputusan-keputusan penting hanya ditentukan
oleh beberapa gelintir orang. Keputusan yang bersifat oligarkis itu kemudian diteruskan
melalui rekayasa secara struktural sehingga yang di bawah, mau tidak mau,
harus selalu menerima.
Selain diidentifikasi sebagai sistem yang oligarkis, kepolitikan
kita dapat juga disebut sebagai sistem yang poliarkis, yakni sistem yang
dalam pengambilan keputusan publiknya hanya ditentukan oleh elite-elite
berbagai organisasi politik, pejabat negara, ormas, pebisnis, dan berbagai
organisasi profesi yang menonjol. Apapun identifikasi kepolitikan yang lebih
tepat, apakah oligarkis atau poliarkis, untuk Indonesia saat ini yang jelas
bukanlah sistem demokrasi yang substantif.
Menjadi niscaya, sistem yang muncul tak berjaya menghadapi korupsi
karena isinya memang bukan demokrasi. Keadaan seperti ini, kalau dibiarkan
terus-menerus, sungguh membahayakan kelangsungan kebernegaraan kita. Sebab
berdasarkan dalil dan fakta historis, jika suatu negara membiarkan berlakunya
sistem yang tidak mampu menegakkan ketidakadilan maka tinggal menunggu
keruntuhannya. Diperlukan
kesadaran kolektif para pemimpin untuk membelokkan situasi ini ke jalan
demokrasi yang benar. Bukan demokrasi yang bisa diperalat untuk korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar