Narkoba
dan Bonus Demografi
Yodfiatfinda ; Dosen
Universitas Trilogi;
Direktur Pusat Studi Global Strategic Management
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Maret 2015
KONDISI
darurat narkoba memang semakin jelas terlihat dinegara ini. Semakin hari,
kasus peredaran narkoba yang bisa diungkap Badan Narkotika Nasional (BNN)
semakin mencengangkan. Di antaranya ada kasus ganja seberat 8 ton yang
dikirim melalui darat dan sabu seberat hampir 1 ton yang dikirim dari luar
negeri melalui laut.Lemahnya penegakan hukum telah mendorong negeri ini jadi
surga bagi sindikat narkotika internasional. Ini ancaman serius terhadap
ketahanan bangsa, khususnya terhadap generasi muda.
Selain itu,
dalam banyak kasus penyalahgunaan narkoba, ternyata pelaku yang tertangkap
berasal kalangan generasi muda dengan berbagai profesi, mulai artis, pejabat,
pengusaha, mahasiswa, bahkan hingga pelajar. Umumnya para pengguna berada
dalam usia produktif (15-60 tahun).Penduduk dalam golongan usia tersebut
sebenarnya sangat diharapkan untuk menjadi motor penggerak kemajuan bangsa.
Bonus demografi
Bonus
demografi dicirikan ledakan jumlah penduduk usia kerja 15-60, diiringi
menurunnya jumlah penduduk belum bekerja (0-15 tahun), sedangkan proporsi
penduduk yang sudah pensiun (berumur 60 tahun ke atas) meningkat. Secara
teoretis, setiap negara hanya mengalami bonus demografi satu kali. Dalam
sebuah focus group discussion tentang bonus demografi di Indonesia yang
diselenggarakan Universitas Trilogi baru-baru ini, mantan Kepala BKKBN
Haryono Suyono mengungkapkan bonus demografi di Indonesia ternyata datang
lebih cepat daripada yang diperkirakan. Semula para ahli memprediksi struktur
penduduk Indonesia mengalami bonus demografi antara 2030 dan
2040.Kenyataannya saat ini tanda-tanda adanya bonus demografi sudah terlihat.
Negara harus
mengambil manfaat mak simal dari bonus demografi karena itu merupakan saat
yang tepat untuk mencapai kemajuan di segala bidang. Namun, pertanyaannya,
apakah kemajuan ini otomatis terjadi pada negara yang mengalami bonus demografi?
Jawabannya bisa ya bisa juga tidak, tergantung produktivitas angkatan kerja
yang jumlahnya melimpah tersebut.Jika semua bisa bekerja dan produktif, bonus
demografi akan menjadi rahmat.Sebaliknya, jika banyak yang menganggur, ia
akan menjadi bencana sosial. Jadi permasalahan sebenarnya bukan tentang kapan
bonus demografi itu datang, melainkan bagaimana kualitas dari generasi
pekerja yang menjadi pemeran utama dalam bonus demografi tersebut.
Pengaruh
narkotika dan obat-obatan terlarang bermacam-macam tergantung jenisnya. Akan
tetapi, pengaruh yang jelas tidak hanya terhadap fisik saja, tetapi juga
menyebabkan gangguan mental dan kejiwaan, seperti depresi berat, apatis,
gugup dan gelisah, mengantuk, rasa lelah berlebihan, pemalas, dan yang lebih
berbahaya ialah tekanan pada susunan saraf yang mengakibatkan ketagihan. Bila
sudah sampai pada tahap ketagihan, inilah awal dari malapetaka bagi si
pemakai. Kalau tidak punya uang untuk membeli, pengguna akan melakukan
berbagai cara asal ketagihan bisa dipenuhi termasuk tindakan kriminal.
Beberapa
kasus kecelakaan lalu lintas akhir-akhir ini yang mengakibatkan banyak korban
tewas disebabkan pengendaranya sedang mabuk akibat mengonsumsi narkoba.
Artinya narkoba tidak hanya berbahaya bagi si pemakai, tetapi juga bagi orang-orang
di sekitarnya, keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Merebaknya
pecandu narkoba di kalangan penduduk usia produktif menjadi serangan telak
terhadap kualitas bonus demografi. Berdasarkan laporan statistik, rata-rata
usia penduduk Indonesia adalah 28,2 tahun. Ini median age yang berada dekat
dengan titik tengah selang umur 1560 tahun. Artinya sebagian besar penduduk
Indonesia usia produktif. Karier dan penghasilan kelompok usia tersebut
umumnya sedang menanjak. Jika dicemari pengaruh narkoba, ini kerugian besar
bagi bangsa.Kemampuan berpikir jernih, membangun keluarga yang harmonis, dan
semangat mempertahankan muruah bangsa akan hilang. Kalau generasi muda rapuh,
tidak punya semangat juang, dan ingin hasil instan, Indonesia tidak dapat
memanfaatkan momentum bonus demografi untuk kemajuan bangsa.
Persaingan
bangsa-bangsa di dunia terhadap akses sumber daya alam (SDA) tidak akan
pernah mengendur. Dua kali Perang Dunia dan perang-perang besar lainnya di
belahan dunia, sejatinya, disebabkan perebutan SDA. Bangsa Indonesia harus
bersyukur dikaruniai Tuhan kekayaan alam yang melimpah.
Namun, untuk menjaga
dan mempertahankan SDA tersebut dari `serbuan' bangsa lain yang selalu
berusaha ikut mencicipi dengan segala cara, diperlu kan generasi muda yang
kuat, bersemangat, dan tidak pemalas. Ironisnya, jumlah kasus penyalahgunaan
narkoba di kalangan generasi muda, khususnya pelajar dan mahasiswa, semakin
tinggi. Tidak hanya di kota-kota besar, pengaruh negatif narkoba juga sudah
merebak sampai ke desa-desa.Bahkan di Bangkalan Madura, menurut wakil
bupatinya, 50% kepala desa di sana mengonsumsi narkotika.
Tanggung jawab siapa?
Upaya
menghindarkan generasi muda dari pengaruh narkoba harus dilakukan sejak dini.
Biasanya kecanduan narkoba diawali dengan kebiasaan merokok dan minum minuman
keras. Ketika rokok sudah biasa, pergaulan bebas akan membawa ke arah
mencoba-coba narkotika seperti ganja, ekstasi, sabu, sampai akhirnya menjadi
pencadu. Cara yang paling dapat diandalkan untuk mencegahnya ialah melalui
pendidikan yang melibatkan peran keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tidak
cukup hanya guru di sekolah melarang anak-anak sekolah merokok sementara di
rumah dibiarkan dan masyarakat pun tidak ikut mengawasi. Di negara-negara
maju, seperti di Jepang, kalau ada anak di bawah umur membeli rokok pasti
akan dimarahi penjualnya. Rokok tidak dijual di vending machine tetapi harus di tempat yang dijaga, misalnya
dekat kasir. Sementara itu, di In donesia, penjual rokok dengan senang hati
melayani pembeli termasuk pelajar.
Kesibukan
orangtua modern, materi berlimpah, justru sering tidak menyisakan waktu dan
perhatian bagi keluarga, teru tama anak-anak. Itu sebabnya semua pihak harus
satu suara menjaga generasi muda terutama anak-anak sekolah dan ma hasiswa
agar tidak terjerumus dalam kasus narkoba.
Pemerintah
punya posisi penting dalam menjaga generasi muda agar tidak semakin terpuruk
oleh narkoba. Peran pemerintah dalam hal ini setidaknya ada tiga poin, yaitu
pencegahan, penindakan tegas kepada pengedar, dan rehabilitasi terhadap
pengguna. Selama ini penegakan hukum bagi para pengedar narkoba masih kurang
tegas. Sukar dinalar akal sehat, banyak terpidana narkoba justru lebih
leluasa menjalankan bisnis mereka dari da lam penjara. Beberapa terpidana
mati justru terungkap mengendalikan bisnis narkoba dari balik tembok tahanan.
Lebih parah lagi, ada terpidana narkoba yang malah membuat pabrik sabu dan
ekstasi di dalam penjara Cipinang yang kasusnya terkuak pada 2013. Schapelle
Leigh Corby yang memasuk kan 4,2 kg ganja ke Bali dan dituntut seumur hidup
hanya divonis 20 tahun penjara dan akhirnya dibebaskan se telah menjalani
hanya setengah masa hukuman.
Berbeda dengan
sikap ambivalen pemerintah sebelumnya, Presiden Jokowi meng awali
pemerintahannya dengan mengek sekusi mati enam terpidana narkoba. Eksekusi
gembong narkoba gelombang kedua tidak boleh ditunda lagi. Indonesia negara
berdaulat dan penegakan hukumnya tidak boleh dicampuri negara mana pun. Dalam
beberapa hari mendatang, kita akan melihat bagaimana keberanian seorang
Presiden yang memimpin negara dengan jumlah penduduk keempat terbanyak di
dunia ini dalam perang melawan bandar narkoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar