City
Branding
Rhenald Kasali ; Akademisi, Praktisi
Bisnis dan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
|
JAWA
POS, 13 Maret 2015
SAYA ajak Anda sejenak ke Banyumas, kabupaten di Jawa Tengah.
Bagi para pemudik Lebaran, nama Banyumas sangat familier. Sebab, saat pulang
mudik, sebagian di antara mereka akan melintasi jalan-jalan di sana. Sebagian
lagi kenal karena daerah tersebut dulu melahirkan banyak tokoh terkenal
seperti jenderal polisi jujur sepanjang sejarah: Hoegeng.
Sekali lagi, hanya melintas. Bukan mampir. Mengapa? Sebab,
nyaris tidak ada yang memikat di Banyumas yang membuat pemudik ingin mampir
–dan tentu membelanjakan uangnya. Banyumas memang belum menjadi salah satu
tujuan wisata. Orang lebih suka berwisata ke Solo. Atau, kalau ingin mencari
udara sejuk, mereka memilih Dieng di Wonosobo.
Kondisi itu membuat Banyumas tidak banyak berkembang. Apalagi
tidak kaya dengan sumber daya alam seperti minyak atau gas seperti Bojonegoro
yang bergeliat di tangan Kang Yoto.
Namun, pekan lalu, saya melihat geliat di kabupaten itu.
Banyumas menggelar sayembara city
branding. Tujuannya, memanfaatkan potensi di sektor pariwisata dan tentu
potensi-potensi lainnya. City branding
–dengan segala event-nya– merupakan
cara untuk memikat orang agar mau datang ke sana. Dan harap dicatat, sebentar
lagi Kediri yang dipimpin tokoh muda, Mas Abu, juga akan memikat kita seperti
Banyuwangi. Insya Allah.
Persaingan
Daerah
Di Indonesia, kini persaingan terjadi bukan hanya antarpebisnis,
tapi juga antardaerah. Ini fenomena yang menggembirakan. Setiap daerah
berlomba-lomba ingin lebih dikenal, lebih disukai investor, lebih mampu
menyediakan lapangan kerja yang berkualitas, dan lebih ramai transaksi
perdagangannya. Itu semua akan membuat uang yang datang dan beredar di daerah
lebih banyak. Dalam konteks itulah city
branding menjadi penting.
Sayangnya, di sisi lain, masih banyak pemimpin daerah yang belum
sadar akan pentingnya city branding.
Apalagi yang kaya sumber daya mineral. Akibatnya, daerahnya kaya, tetapi
masyarakatnya kurang sejahtera.
Lalu, seberapa
penting city branding?
Kalau kita bepergian ke Eropa atau Amerika Serikat, kadang kita
merasa jengkel karena orang-orang di sana mengenal Bali, tetapi tidak tahu
apa-apa tentang Indonesia. Bahkan, yang lebih menjengkelkan, mereka ternyata
lebih tahu tentang Malaysia atau Singapura, tetapi tidak kenal dengan
Indonesia –negara yang jauh lebih besar ketimbang dua negeri jiran tersebut.
Menggemaskan. Tetapi, apa mau dikata, Malaysia dan Singapura
lebih dulu sadar akan pentingnya pencitraan atau branding. Malaysia ke
mana-mana selalu bilang negaranya sebagai Truly
Asia. Cukup ke sana saja, Anda sudah lihat semua ada. Singapura selalu
menjual slogan Uniquely Asia. Kita?
Sejatinya, city branding mencakup aspek yang sangat luas.
Sayangnya, kalau melihat slogan atau tagline
city branding-nya, tampaknya lebih banyak terfokus pada kegiatan
pariwisata. Coba saja Anda amati beberapa contoh.
DKI Jakarta mengusung slogan Enjoy
Jakarta. Lalu, Jogjakarta denganJogja Istimewa. Pekalongan men-branding diri sebagai Kota Batik.
Kendari, menurut saya, agak kurang jelas karena mengusung slogan I Like Kendari. Kota Bandung sejak
lama menyebut diri sebagai Paris van Java. Mungkin yang agak ke luar sedikit
adalah Kota Surabaya yang mem-branding
diri dengan Smart City.
Padahal, bukan hanya pariwisata yang bisa ’’dijual’’ daerah.
Contohnya, Selandia Baru. Mereka membangun citra negaranya dengan produk susu
segar dan agrobisnisnya. Langkah itu ternyata mampu mengundang investor untuk
menanamkan modalnya dalam bisnis peternakan sapi dan pengolahan susu serta
perkebunan kiwi dan apel.
Dukungan Pusat
City branding sama sekali tidak untuk menggantikan strategi
pembangunan daerah. Ia hanya menjadi pelengkap. Meski begitu, city
brandingibarat brand promise. Ia juga janji. Jadi, harus ditepati. Karena
itu, slogan sebuah kota harus menjadi mimpi bersama seluruh warganya.
Itu tidak mudah. Contohnya begini. Kita dengan mudah menemukan
kota yang menyebut dirinya bersih dan beriman. Tetapi, sebentar saja
berkeliling kota, kita dengan mudah menemukan timbunan sampah di berbagai
sudut. Sampah itu basah dan berbau lagi. Artinya, sudah berhari-hari tidak
diangkat.
Apanya yang beriman? Lihat saja, kekerasan yang bernuansa agama
kerap terjadi di kota-kota tersebut. Berbeda sedikit saja tentang keyakinan,
kekerasan mudah tersulut dan dibiarkan pula.
Mungkin ada benarnya syair lagu, ’’...tapi janji, tinggal
janji.’’ Keberhasilancity branding memang sangat ditentukan oleh pengertian
para pemangku kepentingan di kota tersebut.
Malahan, bukan hanya itu. Dalam sejumlah kasus, city branding
juga memerlukan dukungan pemerintah pusat. Celakanya, banyak pula pejabat di
pusat yang tidak seiring sejalan dengan pemerintah daerah.
Dulu, semasa menjadi gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad ingin
membangun daerahnya sebagai provinsi jagung. Karena itu, dia menganjurkan
rakyatnya menanam jagung sampai berlimpah.
Suatu ketika, industri pakan ternak di Jawa mengeluh kekurangan
jagung. Mestinya itu menjadi peluang. Tetapi, apa yang terjadi? Menteri
perdagangan ketika itu malah membuka keran impor jagung.
Akibatnya, harga jagung pun anjlok. Para petani babak belur.
Mereka kapok menanam jagung. Begitulah nasib city branding kalau yang satu maunya ke kanan, yang lain ke kiri.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar