Birokrat
Ikan Lele
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar
Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 13 Maret 2015
Saya punya teman lama seorang pejabat BUMN, sebut saja Alex
namanya. Setelah lebih dari 15 tahun tidak pernah bertemu, tanpa sengaja
pekan lalu berjumpa dalam sebuah acara sosial.
Badannya terlihat sehat, wajahnya ceria, sehingga tampak lebih
muda dari usianya. Saya bertanya ringan, apa resepnya kok terlihat tetap
segar dan ceria? Jawabannya sungguh membuat aku terbelalak. Aku sudah lama
keluar dari dunia birokrasi. Aku bukan sejenis ikan lele yang bisa hidup dan
berkembang di air kotor dengan makanan yang juga kotor, jawabnya singkat,
santai, namun tajam.
Saya langsung saja menimpali, mungkin Anda masuk kelompok ikan
emas yang airnya mesti jernih, makanannya pun tidak sembarangan. Dalam
perjalanan pulang masih terngiang-ngiang ungkapan “birokrat ikan lele” sampai-sampai
saya sampaikan pada Anda obrolan singkat tadi. Benarkah jajaran birokrat kita
sudah separah itu?
Benarkah dunia birokrasi kita bagaikan kolam lumpur yang hanya
cocok untuk ikan lele dan sejenisnya yang sudah terbiasa dengan lingkungan yang
serbakotor dan bau? Bagi mereka yang sudah lama berkiprah di dunia birokrasi
dan politik tentu nuraninya lebih bisa dan lebih bijak menjawab. Sungguh
suatu kesalahan besar membuat generalisasi birokrat kita busuk dan kotor.
Namun juga sebuah kebohongan dan kepura-puraan untuk mengatakan
jajaran birokrat kita bersih, dedikatif, dan profesional. Indikatornya mudah
sekali ditemukan. Pertama, berapa banyak berkas-berkas pidana korupsi yang
menumpuk dilembaga KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Berdasarkan informasi dari
Kantor PPATK, berapa banyak kejanggalan aliran dana yang masuk pada pejabat
negara yang besaran jumlahnya sulit dicerna oleh nalar sehat, padahal
pemiliknya adalah PNS?
Indikator lain adalah pengalaman sehari-hari ketika kita
berurusan dengan birokrasi dan aparat pemerintah, selalu saja ada pungutan
biaya di luar aturan resmi. Saya sendiri sering memberi ceramah dan bertemu
kalangan pengusaha, ada-ada saja cerita bagaimana pejabat pemberi izin
mempersulit prosedur semata karena ingin mendapatkan uang pelicin, yang bagi
saya angkanya fantastis.
Jika kondisi ini berkelanjutan, sudah pasti memasuki pasar bebas
ASEAN (MEA) nanti Indonesia tak akan mampu bersaing. Harga produk mahal, mutu
rendah, karena ongkos produksinya sangat tinggi gara-gara dananya tersedot
sebagai uang pelicin. Beberapa tahun lalu saya pernah ikut suatu penelitian
dalam bidang pengadaan barang dan pembangunan infrastruktur.
Temuannya sudah dapat diduga bahwa realisasi anggaran untuk
pengadaan barang dan pembangunan itu berkisar 60%. Beberapa kasus bahkan ada
yang 40%. Dari segi mutu, mestinya berkisar pada 85%. Makanya pantas kalau
berbagai bangunan proyek tidak sanggup bertahan lama karena memang
kualitasnya di bawah standar. Dengan kebijakan desentralisasi anggaran, tingkat
kebocoran semakin merata ke berbagai pemerintah tingkat dua seantero
Indonesia.
Terjadijurus kongkalikong antara pemerintah dan lembaga DPRD.
Kalangan birokrat sendiri sesungguhnya tahu ada penyimpangan dan pembusukan
yang terjadi di lingkungannya. Tetapi, enggan berbicara, alih-alih
mengungkapkan ke publik dan lembaga pemberantasan korupsi. Baru setelah
pensiun mereka sering keluar pengakuannya.
Itupun secara rahasia dan terbatas pada lingkungan kecil.
Misalnya saja, setiap pengesahan undang-undang atau penetapan anggaran mesti
memerlukan tambahan biaya rapat dengan kalangan DPR/DPRD dengan angka yang
tidak kecil dan sumbernya tertutup. Jadi, birokrat yang tadinya masuk jenis
“ikan emas” terkondisikan untuk berubah menjadi “ikan lele” yang sanggup bertahan
hidup bahkan menikmati (?) air kotor?
Ketika terjadi perseteruan antara Gubernur DKI Ahok dan DPRD,
lagi-lagi, masalah intinya adalah terjadi permainan anggaran yang tidak logis
dan tidak transparan. Ujungnya rakyat yang jadi korban akibat pemerintah
tidak bisa bekerja melayani rakyat dengan semestinya. Saya kira kasus serupa
terjadi di berbagai pemerintah di daerah-daerah lain.
Hanya, itu tidak mengemuka karena tertutup rapat-rapat. Apakah
semua birokrat bagaikan ikan lele? Sudah pasti tidak. Tetapi, persentasenya
berapa dan berapa jumlah kerugian negara serta rakyat yang ditimbulkan, saya
tidak punya jawaban yang akurat. Adalah tugas parpol, di era demokrasi ini,
yang mesti tampil ke depan membersihkan lingkungan dirinya agar nanti
kader-kader yang duduk di lembaga DPR dan pemerintah tidak masuk kategori
ikan lele yang menikmati air keruh dan bau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar