Sabtu, 14 Maret 2015

Birokrat Ikan Lele

Birokrat Ikan Lele

Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 13 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Saya punya teman lama seorang pejabat BUMN, sebut saja Alex namanya. Setelah lebih dari 15 tahun tidak pernah bertemu, tanpa sengaja pekan lalu berjumpa dalam sebuah acara sosial.

Badannya terlihat sehat, wajahnya ceria, sehingga tampak lebih muda dari usianya. Saya bertanya ringan, apa resepnya kok terlihat tetap segar dan ceria? Jawabannya sungguh membuat aku terbelalak. Aku sudah lama keluar dari dunia birokrasi. Aku bukan sejenis ikan lele yang bisa hidup dan berkembang di air kotor dengan makanan yang juga kotor, jawabnya singkat, santai, namun tajam.

Saya langsung saja menimpali, mungkin Anda masuk kelompok ikan emas yang airnya mesti jernih, makanannya pun tidak sembarangan. Dalam perjalanan pulang masih terngiang-ngiang ungkapan “birokrat ikan lele” sampai-sampai saya sampaikan pada Anda obrolan singkat tadi. Benarkah jajaran birokrat kita sudah separah itu?

Benarkah dunia birokrasi kita bagaikan kolam lumpur yang hanya cocok untuk ikan lele dan sejenisnya yang sudah terbiasa dengan lingkungan yang serbakotor dan bau? Bagi mereka yang sudah lama berkiprah di dunia birokrasi dan politik tentu nuraninya lebih bisa dan lebih bijak menjawab. Sungguh suatu kesalahan besar membuat generalisasi birokrat kita busuk dan kotor.

Namun juga sebuah kebohongan dan kepura-puraan untuk mengatakan jajaran birokrat kita bersih, dedikatif, dan profesional. Indikatornya mudah sekali ditemukan. Pertama, berapa banyak berkas-berkas pidana korupsi yang menumpuk dilembaga KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Berdasarkan informasi dari Kantor PPATK, berapa banyak kejanggalan aliran dana yang masuk pada pejabat negara yang besaran jumlahnya sulit dicerna oleh nalar sehat, padahal pemiliknya adalah PNS?

Indikator lain adalah pengalaman sehari-hari ketika kita berurusan dengan birokrasi dan aparat pemerintah, selalu saja ada pungutan biaya di luar aturan resmi. Saya sendiri sering memberi ceramah dan bertemu kalangan pengusaha, ada-ada saja cerita bagaimana pejabat pemberi izin mempersulit prosedur semata karena ingin mendapatkan uang pelicin, yang bagi saya angkanya fantastis.

Jika kondisi ini berkelanjutan, sudah pasti memasuki pasar bebas ASEAN (MEA) nanti Indonesia tak akan mampu bersaing. Harga produk mahal, mutu rendah, karena ongkos produksinya sangat tinggi gara-gara dananya tersedot sebagai uang pelicin. Beberapa tahun lalu saya pernah ikut suatu penelitian dalam bidang pengadaan barang dan pembangunan infrastruktur.

Temuannya sudah dapat diduga bahwa realisasi anggaran untuk pengadaan barang dan pembangunan itu berkisar 60%. Beberapa kasus bahkan ada yang 40%. Dari segi mutu, mestinya berkisar pada 85%. Makanya pantas kalau berbagai bangunan proyek tidak sanggup bertahan lama karena memang kualitasnya di bawah standar. Dengan kebijakan desentralisasi anggaran, tingkat kebocoran semakin merata ke berbagai pemerintah tingkat dua seantero Indonesia.

Terjadijurus kongkalikong antara pemerintah dan lembaga DPRD. Kalangan birokrat sendiri sesungguhnya tahu ada penyimpangan dan pembusukan yang terjadi di lingkungannya. Tetapi, enggan berbicara, alih-alih mengungkapkan ke publik dan lembaga pemberantasan korupsi. Baru setelah pensiun mereka sering keluar pengakuannya.

Itupun secara rahasia dan terbatas pada lingkungan kecil. Misalnya saja, setiap pengesahan undang-undang atau penetapan anggaran mesti memerlukan tambahan biaya rapat dengan kalangan DPR/DPRD dengan angka yang tidak kecil dan sumbernya tertutup. Jadi, birokrat yang tadinya masuk jenis “ikan emas” terkondisikan untuk berubah menjadi “ikan lele” yang sanggup bertahan hidup bahkan menikmati (?) air kotor?

Ketika terjadi perseteruan antara Gubernur DKI Ahok dan DPRD, lagi-lagi, masalah intinya adalah terjadi permainan anggaran yang tidak logis dan tidak transparan. Ujungnya rakyat yang jadi korban akibat pemerintah tidak bisa bekerja melayani rakyat dengan semestinya. Saya kira kasus serupa terjadi di berbagai pemerintah di daerah-daerah lain.

Hanya, itu tidak mengemuka karena tertutup rapat-rapat. Apakah semua birokrat bagaikan ikan lele? Sudah pasti tidak. Tetapi, persentasenya berapa dan berapa jumlah kerugian negara serta rakyat yang ditimbulkan, saya tidak punya jawaban yang akurat. Adalah tugas parpol, di era demokrasi ini, yang mesti tampil ke depan membersihkan lingkungan dirinya agar nanti kader-kader yang duduk di lembaga DPR dan pemerintah tidak masuk kategori ikan lele yang menikmati air keruh dan bau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar