Sabtu, 14 Maret 2015

Drama Kepentingan Minus Hak Rakyat

Drama Kepentingan Minus Hak Rakyat

Laode Ida  ;  Dosen Jurusan Sosiologi UNJ,
Pendiri dan Penggerak Awal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA),
Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
KORAN SINDO, 13 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) versus para politisi di DPRD tampaknya kian meruncing kendati sudah diupayakan adanya mediasi termasuk oleh Mendagri Tjahjo Kumolo.

Sebagian fraksi (yakni Nasdem, PKB dan PAN) di parlemen Jakarta memang sudah mencabut tanda tangan dukungan untuk gunakan hak angket, namun saling melaporkan kasus pidana terus saja terjadi. Belum lagi diproses laporan Ahok ke KPK tentang dugaan dana siluman para anggota DPRD, muncul lagi inisiatif (LBH Pendidikan) untuk melaporkan seorang anggota DPRD karena dianggap telah memaki putra Belitung itu.

Tapi, pihak DPRD pun ingin berbalas dengan sepakat untuk melaporkan Ahok ke Bareskrim Mabes Polri dengan tuduhan penghinaan, fitnah dan pencemaran nama baik terhadap lembaga legislatif dan para politisinya. Itu belum termasuk permintaan kepada BPK untuk segera mengaudit Ahok Center yang diduga memperoleh dana CSR (gratifikasi?) dari para perusahaan pengembang di Jakarta, serta rencana IMM yang menganggap Ahok telah menghina Muhammadiyah.

Sampai kapan berakhir perseteruan itu akan berlangsung? Tak ada yang bisa memastikan. Namun yang niscaya sekarang ini, pihak korbannya adalah rakyat Jakarta yang seharusnya akan memperoleh sentuhan dari anggaran pembangunan tahun 2015, namun karena RAPBD-nya belum juga disetujui maka nasib mereka belum menentu; termasuk di dalamnya para pegawai yang kesejahteraannya terganggu.

Sistem Penganggaran

Memang sulit untuk menyelesaikan konflik jika kedua belah pihak sudah saling melukai dengan kepentingan yang masingmasing terganggu. Ahok sendiri sejak awal memiliki resistensi baik dari kalangan politisi Koalisi Merah Putih (KMP), utamanya setelah secara terbuka mengumumkan dirinya keluar dari Partai Gerindra, di mana kemudian berupaya dihadang oleh kekuatan sebagian elemen masyarakat (kelompok Islam yang tergabung dalam FPI) untuk tidak dilantik jadi Gubernur menggantikan Jokowi.

Tetapi tampaknya Ahok bukan saja tak gentar menghadapi gertakan politik karena berada di jalur konstitusi dan aturan yang berlaku, melainkan juga secara vulgar telah melakukan demoralisasi terhadap para politisi yang posisi politiknya dalam proses-proses pembuatan APBD berseberangan dengan desain kebijakannya.

Maka keluarlah kata-kata yang dianggap kasar ”dana siluman” itu yang membuat kemarahan kolektif. Tentu saja wajar kalau ditanggapi emosional dan marah, soalnya (1) penggunaan istilah yang sudah langsung menohok, seolah-olah para politisi benarbenar penjahat, dan (2) kepentingan para politisi itu untuk memperoleh cipratan dana APBD sudah sulit diwujudkan.

Dalam sistem penganggaran kita, peran DPRD memang tak bisa dihindari karena diberikan kewenangan untuk memutuskannya, dan putusannya bersifat mengikat. Maka, wajar kalau tersinggung dan mempersoalkan RABPD Ahok yang tak mengakomodasi putusan paripurna DPRD.

Namun demikian, perlu dicatat juga bahwa kewenangan parlemen sebenarnya lebih pada arah kebijakan anggaran (dan inilah yang disebut dengan hak bujet), bukan sampai pada item cost-nya karena yang disebut terakhir sudah merupakan urusan teknis pihak eksekutif. Barangkali karena terlalu detail sampai pada memasukkan anggaran-anggaran yang itulah yang kemudian membuat Ahok tak mau menerimanya.

Kalau ini benar, maka sikap Ahok bisa dibenarkan, karena itu bisa dianggap sebagai bagian dari upaya manipulasi anggaran yang memperoleh kesepakatan kolektif secara formal. Tepatnya, Ahok bersikap kritis dantakpatuhpada putusanpolitikDPRD itudantetapkonsisten menggunakan standar kepatutan dalam komponen atau posting anggaran untuk pembangunan di Jakarta. Dalamkonteksini, baikpihak DPRD maupun Ahok tentu masing-masing menganggap diri benar.

Namun sebaliknya, bukan mustahil kedua pihak bisa saja sama-sama keliru. Mengapa? Pertama, terkait konsep kebutuhan prioritas atau layak tidaknya suatu komponen anggaran yang diusulkan. Harusnya indikatornya jelas dan disepakati terlebih dahulu oleh kedua belah pihak dan juga masyarakat.

Hal ini seyogianya jadi materi perdebatan serius dalam proses pembahasan RABPD antara Pemda DKI dengan di DPRD, dan semua harusnya tuntas dalam proses-proses pembahasan anggaran itu. Dalam proses-proses pembahasan anggaran, tentu saja selalu terbuka kompromi untuk mengakomodasi satu sama lain.

Acuan komprominya tak boleh diada-adakan, harus berangkat dari konsep skala prioritas sesuai kebutuhan masyarakat/rakyat dan atau untuk perbaikan pembangunan di Jakarta. Ini semua tak bisa dilepaskan dengan target kerja tahunan dan atau periodik dari pihak eksekutif yang di-break down ke dalam item program dan pembiayaannya. Dan jika konsep ini diimplementasikan secara fair, niscaya tak akan pernah muncul istilah dana siluman.

Kedua, dalam setiap penyusunan anggaran, pemda sebenarnya tak boleh hanya dianggap sebagai ”milik” dua pihak saja, yakni pemda dan DPRD. Dalam anggaran negara/daerah melekat hak publik, karena rakyatlah yang jadi penyumbang terbesarnya. Konsekuensinya, pemanfaatan atau pengalokasiannya pun tak boleh seenaknya hanya diarahkan oleh para elite yang terlibat dalam administrasi dan arena politik.

Soalnya, jika hanya dilakukan para elite itu, di mana proses-proses itulah tampaknya yang terjadi dalam proses penyusunan RAPBD di DKI Jakarta (dan kecenderungannya juga terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia), maka kecuali sebagai pelanggaran atas hak rakyat, juga selalu terbuka peluang terjadinya kompromi elitis berdasarkan kepentingan subyektif masing-masing.

Keterlibatan publik dalam proses penganggaran pada dasarnya merupakan bagian dari transparansi yang jadi syarat mutlak untuk bisa dianggap sebagai pemerintahan yang baik (good governance) dan sekaligus bisa mengarah pada pemerintahan yang bersih (clean government).

Mekanisme dilakukan melalui uji publik, di mana praktiknya dengan melibatkan kelompok LSM dan atau lembaga profesional untuk memastikan bahwa anggaran yang diajukan oleh pemerintah atau DPRD sesuai dengan kebutuhan rakyat sebagai sumber anggaran dan sekaligus subjek yang harus memperoleh sentuhan untuk diperbaiki kesejahteraan dan kualitas hidupnya.

Problemnya memang, pemda maupun DPRD kerap menganggap diri sebagai ”yang berhak dan tahu atau pintar” sementara masyarakat di luarnya diposisikan” tak berhak, tak tahu atau pun bahkan bodoh” sehingga tak perlu dilibatkan. Atau, pihak pemda dan DPRD merasa mau melangkah cepat-cepat saja, sementara kalau libatkan publik akan lambat. Intinya, masyarakat selalu dikhawatiri atau bahkan dicurigai sehingga tak perlu dilibatkan dalam prosesproses penganggaran.

Padahal, di balik sikap skeptis itu sebenarnya terkandung sikap arogan atau juga niat jahat dalam rangka mengambil porsi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya dalam anggaran negara/daerah yang ditetapkan secara elitis itu. Nanti, setelah terjadi kasus seperti antara Ahok versus DPRD seperti sekarang ini, baru kemudian publik tahu, dan Ahok pun minta dukungan rakyat banyak untuk berada di belakangnya. Ini artinya, pengabaian terhadap rakyatlah yang menjadikan konflik politik antara eksekutif dengan legislatif lokal di Jakarta sekarang ini.

Komunikasi Politik

Publik bangsa ini memang niscaya tak meragukan integritas Ahok dalam memimpin dan membangun Jakarta. Namun mengacu pada Pat Williams dan Jim Denney dalam buku Leadership Excellence (2012), seorang pemimpin tak bisa hanya bermodalkan integritas, melainkan juga kemampuan membangun komunikasi yang elegan terutama dengan para politisi mitranya.

”Great leaders are great communicators (pemimpin besar adalah komunikator yang hebat)”, tegas kedua ahli dari Negara Paman Sam itu. Perdebatan saling meyakinkan di dalam lembaga parlemen antara kedua pihak merupakan bagian proses komunikasi politik yang akan sangat menentukan, di mana rakyat secara luas juga dapat mengikuti sehingga mengetahui apa substansi yang jadi objek yang dibahas.

Komunikasi politik memang merupakan seni dan di dalamnya juga terkandung nilai etika dengan derajat kehati-hatian. Maka, Ahok juga tidak bisa hanya menggunakan alasan mau bergerak cepat sehingga mengabaikan mekanisme formal seperti pengabaian pada proses dan putusan paripurna di DPRD DKI Jakarta itu.

Tepatnya, pejabat publik harus tunduk pada mekanisme formal, termasuk dengan pelibatan publik itu namun tetap teguh mempertahankan prinsip untuk suatu agenda kerakyatan dan perbaikan. Para anggota DPRD juga agaknya terlalu mengedepankan kemarahan politiknya untuk segera melengserkan Ahok hanya karena kesalahpahaman terkait administrasi politik anggaran, padahal kemungkinan di balik itu karena ada agenda terselubung untuk memperoleh bagian dari proyek dalam APBD.

Para politisi itu harusnya sadar bahwa di tengah gairah Ahok yang menggebu-gebu untuk bangun Jakarta, di mana rakyat berada di belakangnya, kecurigaan terhadap para politisi yang mengganggu sangat tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar