Drama
Kepentingan Minus Hak Rakyat
Laode Ida ; Dosen Jurusan
Sosiologi UNJ,
Pendiri dan Penggerak Awal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(FITRA),
Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
|
KORAN
SINDO, 13 Maret 2015
Perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) versus para politisi di DPRD tampaknya kian meruncing kendati sudah
diupayakan adanya mediasi termasuk oleh Mendagri Tjahjo Kumolo.
Sebagian fraksi (yakni Nasdem, PKB dan PAN) di parlemen Jakarta
memang sudah mencabut tanda tangan dukungan untuk gunakan hak angket, namun
saling melaporkan kasus pidana terus saja terjadi. Belum lagi diproses
laporan Ahok ke KPK tentang dugaan dana siluman para anggota DPRD, muncul
lagi inisiatif (LBH Pendidikan) untuk melaporkan seorang anggota DPRD karena
dianggap telah memaki putra Belitung itu.
Tapi, pihak DPRD pun ingin berbalas dengan sepakat untuk
melaporkan Ahok ke Bareskrim Mabes Polri dengan tuduhan penghinaan, fitnah
dan pencemaran nama baik terhadap lembaga legislatif dan para politisinya.
Itu belum termasuk permintaan kepada BPK untuk segera mengaudit Ahok Center
yang diduga memperoleh dana CSR (gratifikasi?) dari para perusahaan
pengembang di Jakarta, serta rencana IMM yang menganggap Ahok telah menghina
Muhammadiyah.
Sampai kapan berakhir perseteruan itu akan berlangsung? Tak ada
yang bisa memastikan. Namun yang niscaya sekarang ini, pihak korbannya adalah
rakyat Jakarta yang seharusnya akan memperoleh sentuhan dari anggaran
pembangunan tahun 2015, namun karena RAPBD-nya belum juga disetujui maka
nasib mereka belum menentu; termasuk di dalamnya para pegawai yang
kesejahteraannya terganggu.
Sistem
Penganggaran
Memang sulit untuk menyelesaikan konflik jika kedua belah pihak
sudah saling melukai dengan kepentingan yang masingmasing terganggu. Ahok
sendiri sejak awal memiliki resistensi baik dari kalangan politisi Koalisi
Merah Putih (KMP), utamanya setelah secara terbuka mengumumkan dirinya keluar
dari Partai Gerindra, di mana kemudian berupaya dihadang oleh kekuatan
sebagian elemen masyarakat (kelompok Islam yang tergabung dalam FPI) untuk
tidak dilantik jadi Gubernur menggantikan Jokowi.
Tetapi tampaknya Ahok bukan saja tak gentar menghadapi gertakan
politik karena berada di jalur konstitusi dan aturan yang berlaku, melainkan
juga secara vulgar telah melakukan demoralisasi terhadap para politisi yang
posisi politiknya dalam proses-proses pembuatan APBD berseberangan dengan
desain kebijakannya.
Maka keluarlah kata-kata yang dianggap kasar ”dana siluman” itu
yang membuat kemarahan kolektif. Tentu saja wajar kalau ditanggapi emosional
dan marah, soalnya (1) penggunaan istilah yang sudah langsung menohok,
seolah-olah para politisi benarbenar penjahat, dan (2) kepentingan para
politisi itu untuk memperoleh cipratan dana APBD sudah sulit diwujudkan.
Dalam sistem penganggaran kita, peran DPRD memang tak bisa
dihindari karena diberikan kewenangan untuk memutuskannya, dan putusannya
bersifat mengikat. Maka, wajar kalau tersinggung dan mempersoalkan RABPD Ahok
yang tak mengakomodasi putusan paripurna DPRD.
Namun demikian, perlu dicatat juga bahwa kewenangan parlemen
sebenarnya lebih pada arah kebijakan anggaran (dan inilah yang disebut dengan
hak bujet), bukan sampai pada item cost-nya
karena yang disebut terakhir sudah merupakan urusan teknis pihak eksekutif.
Barangkali karena terlalu detail sampai pada memasukkan anggaran-anggaran
yang itulah yang kemudian membuat Ahok tak mau menerimanya.
Kalau ini benar, maka sikap Ahok bisa dibenarkan, karena itu
bisa dianggap sebagai bagian dari upaya manipulasi anggaran yang memperoleh
kesepakatan kolektif secara formal. Tepatnya, Ahok bersikap kritis
dantakpatuhpada putusanpolitikDPRD itudantetapkonsisten menggunakan standar
kepatutan dalam komponen atau posting anggaran untuk pembangunan di Jakarta.
Dalamkonteksini, baikpihak DPRD maupun Ahok tentu masing-masing menganggap
diri benar.
Namun sebaliknya, bukan mustahil kedua pihak bisa saja sama-sama
keliru. Mengapa? Pertama, terkait konsep kebutuhan prioritas atau layak
tidaknya suatu komponen anggaran yang diusulkan. Harusnya indikatornya jelas
dan disepakati terlebih dahulu oleh kedua belah pihak dan juga masyarakat.
Hal ini seyogianya jadi materi perdebatan serius dalam proses
pembahasan RABPD antara Pemda DKI dengan di DPRD, dan semua harusnya tuntas
dalam proses-proses pembahasan anggaran itu. Dalam proses-proses pembahasan
anggaran, tentu saja selalu terbuka kompromi untuk mengakomodasi satu sama
lain.
Acuan komprominya tak boleh diada-adakan, harus berangkat dari
konsep skala prioritas sesuai kebutuhan masyarakat/rakyat dan atau untuk
perbaikan pembangunan di Jakarta. Ini semua tak bisa dilepaskan dengan target
kerja tahunan dan atau periodik dari pihak eksekutif yang di-break down ke dalam item program dan
pembiayaannya. Dan jika konsep ini diimplementasikan secara fair, niscaya tak
akan pernah muncul istilah dana siluman.
Kedua, dalam setiap penyusunan anggaran, pemda sebenarnya tak
boleh hanya dianggap sebagai ”milik” dua pihak saja, yakni pemda dan DPRD.
Dalam anggaran negara/daerah melekat hak publik, karena rakyatlah yang jadi
penyumbang terbesarnya. Konsekuensinya, pemanfaatan atau pengalokasiannya pun
tak boleh seenaknya hanya diarahkan oleh para elite yang terlibat dalam
administrasi dan arena politik.
Soalnya, jika hanya dilakukan para elite itu, di mana
proses-proses itulah tampaknya yang terjadi dalam proses penyusunan RAPBD di
DKI Jakarta (dan kecenderungannya juga terjadi di berbagai daerah lain di
Indonesia), maka kecuali sebagai pelanggaran atas hak rakyat, juga selalu
terbuka peluang terjadinya kompromi elitis berdasarkan kepentingan subyektif
masing-masing.
Keterlibatan publik dalam proses penganggaran pada dasarnya
merupakan bagian dari transparansi yang jadi syarat mutlak untuk bisa
dianggap sebagai pemerintahan yang baik (good
governance) dan sekaligus bisa mengarah pada pemerintahan yang bersih (clean government).
Mekanisme dilakukan melalui uji publik, di mana praktiknya
dengan melibatkan kelompok LSM dan atau lembaga profesional untuk memastikan
bahwa anggaran yang diajukan oleh pemerintah atau DPRD sesuai dengan
kebutuhan rakyat sebagai sumber anggaran dan sekaligus subjek yang harus
memperoleh sentuhan untuk diperbaiki kesejahteraan dan kualitas hidupnya.
Problemnya memang, pemda maupun DPRD kerap menganggap diri
sebagai ”yang berhak dan tahu atau pintar” sementara masyarakat di luarnya
diposisikan” tak berhak, tak tahu atau pun bahkan bodoh” sehingga tak perlu
dilibatkan. Atau, pihak pemda dan DPRD merasa mau melangkah cepat-cepat saja,
sementara kalau libatkan publik akan lambat. Intinya, masyarakat selalu
dikhawatiri atau bahkan dicurigai sehingga tak perlu dilibatkan dalam
prosesproses penganggaran.
Padahal, di balik sikap skeptis itu sebenarnya terkandung sikap
arogan atau juga niat jahat dalam rangka mengambil porsi untuk kepentingan
pribadi dan kelompoknya dalam anggaran negara/daerah yang ditetapkan secara
elitis itu. Nanti, setelah terjadi kasus seperti antara Ahok versus DPRD
seperti sekarang ini, baru kemudian publik tahu, dan Ahok pun minta dukungan
rakyat banyak untuk berada di belakangnya. Ini artinya, pengabaian terhadap
rakyatlah yang menjadikan konflik politik antara eksekutif dengan legislatif
lokal di Jakarta sekarang ini.
Komunikasi Politik
Publik bangsa ini memang niscaya tak meragukan integritas Ahok
dalam memimpin dan membangun Jakarta. Namun mengacu pada Pat Williams dan Jim
Denney dalam buku Leadership Excellence
(2012), seorang pemimpin tak bisa hanya bermodalkan integritas, melainkan
juga kemampuan membangun komunikasi yang elegan terutama dengan para politisi
mitranya.
”Great leaders are great
communicators (pemimpin besar adalah
komunikator yang hebat)”, tegas kedua ahli dari Negara Paman Sam itu.
Perdebatan saling meyakinkan di dalam lembaga parlemen antara kedua pihak
merupakan bagian proses komunikasi politik yang akan sangat menentukan, di
mana rakyat secara luas juga dapat mengikuti sehingga mengetahui apa
substansi yang jadi objek yang dibahas.
Komunikasi politik memang merupakan seni dan di dalamnya juga
terkandung nilai etika dengan derajat kehati-hatian. Maka, Ahok juga tidak
bisa hanya menggunakan alasan mau bergerak cepat sehingga mengabaikan
mekanisme formal seperti pengabaian pada proses dan putusan paripurna di DPRD
DKI Jakarta itu.
Tepatnya, pejabat publik harus tunduk pada mekanisme formal,
termasuk dengan pelibatan publik itu namun tetap teguh mempertahankan prinsip
untuk suatu agenda kerakyatan dan perbaikan. Para anggota DPRD juga agaknya
terlalu mengedepankan kemarahan politiknya untuk segera melengserkan Ahok
hanya karena kesalahpahaman terkait administrasi politik anggaran, padahal
kemungkinan di balik itu karena ada agenda terselubung untuk memperoleh
bagian dari proyek dalam APBD.
Para politisi itu harusnya sadar bahwa di tengah gairah Ahok
yang menggebu-gebu untuk bangun Jakarta, di mana rakyat berada di
belakangnya, kecurigaan terhadap para politisi yang mengganggu sangat tinggi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar