Turbulensi
Politik Partai Golkar
Firdaus Muhammad ; Dosen
Komunikasi Politik UIN Alauddin Makassar;
Direktur Eksekutif The Political Society
|
KORAN
SINDO, 13 Maret 2015
Polemik panjang kisruh internal Partai Golongan Karya (Golkar)
berakhir. Keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly
memenangkan kubu Agung Laksono versi Munas Ancol sebagai ketua umum DPP
Golkar.
Pemerintah menganulir kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB) versi
Munas Bali. Keputusan pemerintah tersebut sejak awal dibaca kecenderungannya
berpihak ke kubu Agung yang propemerintah. Penetapan Agung Laksono sebagai
pimpinan yang sah dalam menakhodai Golkar, sejatinya bukan titik akhir
penyelesaian konflik partai beringin, melainkan menjadi indikasi prahara yang
melahirkan turbulensi politik di internal Golkar.
Sebelumnya, Mahkamah Partai Golkar (MPG) tertanggal 3 Maret 2015
telah memenangkan kubu Agung Laksono. Keputusan MPG menjadi rujukan Kemenkumham
dalam menetapkan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol secara
selektif di bawah kepemimpinan Agung Laksono. Dalam hal ini, surat
Kemenkumham diterbitkan berdasarkan Pasal 32 ayat 5 UU No 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik, dinyatakan bahwa keputusan Mahkamah Partai bersifat
final dan mengikat secara internal dalam perselisihan kepengurusan.
Kemudian, pemerintah meminta DPP di bawah kepemimpinan Agung
Laksono untuk segera membentuk kepengurusan partai secara selektif dengan
kewajiban mengakomodasi kader-kader Golkar yang memenuhi kriteria, prestasi,
dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela. Keputusan pemerintah tersebut
berpotensi tafsirkan sebagai intervensi terhadap Golkar.
Hal itu sulit dielakkan dengan menilik latar belakang kepentingan
politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung
pemerintahan Jokowi-JK dan Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai kelompok
oposisi. Secara politik, pemerintahan Jokowi berkepentingan terhadap dukungan
Partai Golkar sebagai salah satu kekuatan penentu di KMP.
Artinya, kemenangan kubu Agung Laksono yang propemerintah
berpotensi menjadikan soliditas KMP makin rapuh. Intervensi pemerintah lebih
awal terendus dari manuver Agung cs sebelum Munas Bali digelar, ditandai
intensitasnya melakukan komunikasi politik dengan Jusuf Kalla (JK) selaku
wapres yang juga tokoh senior Golkar yang masih berpengaruh.
Klimaksnya, setelah kubu ARB berhasil menggelar Munas Bali,
menyusul Munas Ancol yang ditengarai berada bayangbayang kuasa JK. Hasilnya,
Golkar terbelah hingga MPG harus turun tangan yang melapangkan jalan Agung cs
menyusul pemerintah memberikan ketetapan hukum. Dengan demikian, aura
intervensi pemerintah berjalan sistematis meski hal itu ditampik Kemenkumham.
Turbulensi
Golkar
Dalam konstelasi politik ini, Golkar kini terjebak dalam
fragmentasi yang akut ditandai perpecahan para elitenya. Sulit diingkari,
politik Golkar mengalami turbulen hingga terdisorientasi arah politiknya
menyongsong pemilu mendatang. Kekuatan kader potensial yang tergabung dalam
kubu ARB kini dieliminasi.
Akibatnya, Golkar berpotensi lumpuh termasuk dalam kemampuan
koordinasi ke daerah yang kini justru fokus menghadapi pilkada di sejumlah
daerah di Tanah Air. Setidaknya, Golkar butuh waktu untuk memulihkan situasi
politik internal yang kini terbelah. Kekuatan Golkar secara politik melemah
setelah tumbangnya rezim ARB yang selama ini mengendalikan partai.
Fragmentasi internal Golkar tidak terlepas dari kisruh para
elitenya saat Pilpres 2014 lalu, hingga berujung pada Munas Bali dan Ancol
yang menjadi ”tradisi baru” konflik Golkar. Dualisme kepemimpinan Golkar
versi kedua munas tersebut menguras energi Golkar hingga butuh waktu untuk
memulihkannya. Kini Golkar mengalami stagnasi bahkan kemunduran berpolitik,
jika menilik tradisi politiknya pasca-Orde Baru.
Fragmentasi politik Golkar senantiasa mewarnai dinamika politik
partai yang lahir dari rahim Orde Baru tersebut. Sepanjang reformasi, Golkar
acap dilanda polemik yang mengilhami lahirnya partai baru yang lahir dari
”rahim politik Golkar”. Sejumlah partai yang lahir dari konflik internal
Golkar yang mengharuskan kader terbaiknya hengkang dan memilih membuat rumah
politik baru,
di antaranya Wiranto mendirikan Partai Hanura, Edi Sudrajat
mendirikan PKPI, Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, dan Surya Paloh
mendirikan Partai Nasdem. Bukan mustahil, kubu ARB jika tidak ada ruang
rekonsiliasi politik, juga berpotensi mendirikan partai baru.
Tradisi Kekuasaan
Turbulensi politik akibat fragmentasi para elite Golkar
diakibatkan lemahnya ideologi partai sebagai visi para kader menentukan arah
politik Golkar, namun lebih bersifat pra-gmatis. Potensi konflik yang selalu
mewarnai dinamika politik Golkar adalah penegas meredupnya militansi kader
dalam mengawal Partai Golkar.
Orientasi kekuasaan Golkar juga condong lebih pragmatis,
misalnya kubu Agung memilih merapat pada kekuasaan yang berhasil menelikung
ARB cs yang menandai petaka politik Golkar akibat syahwat politik yang tak
terkendali. Pemerintahan dan kekuasaan menjadi identik dengan tradisi politik
Golkar. Posisi oposisi bagi Golkar menjadi pilihan sulit, betapa tradisi
Golkar selama ini merupakan partai yang tidak lepas dari kekuasaan hingga
kini.
Keberadaan JK dalam pemerintahan Jokowi menjadi indikatornya.
Tetapi di parlemen, Golkar berusaha berseberangan dengan pemerintah, namun
mungkin akhirnya merapat pascakemenangan kubu Agung yang propemerintah.
Golkar sebagai salah satu penyangga KMP seharusnya mengambil posisi
berlawanan dengan pemerintah.
Golkar harusnya mampu membangun karakter diri sebagai oposisi di
parlemen. Oposisi tersebut bukan dalam kalkulasi politis pragmatis belaka,
tetapi menjadi oposisi yang konsisten mengawal kemungkinan terjadinya
penyimpangan pemerintahan Jokowi-JK. Elite Golkar harus sadar bahwa
fragmentasi elite merugikan masa depan partai.
Harus lahir kesadaran bersama untuk menyelamatkan Golkar menjadi
partai mandiri dengan jati dirinya sendiri, tanpa intervensi pihak luar.
Dengan pilihan itu, beringin akan kembali rindang memberikan warna dominan
dalam konstelasi politik nasional tanpa jebakan fragmentasi elite.
Mungkinkah? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar