Belajar
Bernegara
Siswono Yudo Husodo ; Ketua
Yayasan Pembina Pendidikan Universitas Pancasila
|
KOMPAS,
07 Maret 2015
Ingar-bingar terjadi di panggung politik dan hukum
nasional beberapa bulan terakhir ini. Ingar-bingar ini terjadi menyusul penunjukan
calon Kapolri, kisruh KPK-Polri, friksi Gubernur DKI-DPRD DKI, kisruh oknum
partai dengan Presiden yang didukung partai, ketegangan DPR-pemerintah, dan
kisruh beberapa DPP parpol. Ditambah lagi, naiknya harga beras. Jumpa pers
Presiden Jokowi meminta KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri lebih serius
memberantas korupsi, berkoordinasi, dan menyingkirkan ego lembaga.
Semangat para pimpinan KPK yang baru dan calon Kapolri
Badrodin Haiti yang menempatkan penataan hubungan KPK-Polri sebagai prioritas
kita harapkan bisa berjalan. Kestabilan jalannya negara amat penting dan
lembaga-lembaga negara/pemerintah harus aktif membangun stabilitas yang
dinamis, bukan justru jadi sumber instabilitas.
Kita memang sedang membangun sistem yang sehat. Beberapa
lembaga belum terbiasa mempersilakan lembaga penegak hukum memeriksa
penyimpangan yang terjadi di lembaganya; bahkan cenderung menutupi.
Masa transisi
Harga beras bulan April juga akan turun karena panen raya.
Namun, jangan pernah mengira tak akan muncul kekisruhan baru karena kita
memang bangsa yang lagi senang kisruh dan sedang dalam masa transisi menata
perubahan besar sistem politik, ekonomi, dan budaya.
Pertama, transisi dari sistem politik dan pemerintahan
yang otokratik menuju sistem yang demokratis. Dalam konteks ini, reformasi
politik telah melahirkan lembaga-lembaga ad
hoc untuk berbagai aspek kehidupan bernegara, terutama di bidang HAM dan
penegakan hukum untuk mempercepat upaya negara mencapai tujuannya. Satu dari
13 komisi negara independen itu adalah KPK yang spesifik menangani
pemberantasan korupsi untuk melengkapi alat negara, Kepolisian dan Kejaksaan.
Kedua, transisi dari sistem ekonomi bersifat kapitalisme
perkoncoan dan patron-klien (patron-client
and crony capitalist) serta over
regulated menuju sistem ekonomi pasar berdasarkan aturan permainan yang
jelas (rules-based market economy).
Ketiga, sistem budaya masyarakat yang sedang menyesuaikan
diri dengan berbagai perubahan sosial-ekonomi. Dalam masa pancaroba ini, kita
menyaksikan masyarakat Indonesia kian menjadi homo economicus, menempatkan pertimbangan ekonomi sebagai
pertimbangan utama dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Karena
penghormatan masyarakat paling tinggi pada materi, orang dinilai baik jika
banyak memberi uang; tak peduli dari mana uangnya. Koruptor dermawan
cenderung lebih dihormati. Masyarakat kian berorientasi jangka pendek,
pragmatis, dan transaksional oleh komersialisasi berlebihan; hedonis;
individualistis karena persaingan hidup yang berat; berkembang eksklusivisme,
primordialisme, sebagian sangat ekstrem.
Kondisi masyarakat yang demikian berkontribusi pada
kegiatan politik yang tak sehat diwarnai politik uang dan politik
transaksional. Seperti dikatakan O’Donnel, ciri utama masa transisi adalah
munculnya banyak ketidakpastian, baik secara struktural maupun kultural. Tak
ada yang bisa memastikan apakah transisi ini akan berhasil mencapai keadaan
yang diinginkan secara mulus. Dan, tak ada pula yang dapat memastikan berapa
lama waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi sosial politik hukum dan
ekonomi ideal.
Saya memandang, salah satu kelemahan mencolok bangsa kita
saat ini adalah kurangnya integritas banyak individu yang memegang posisi
kunci dalam berbagai bidang dan masyarakat yang permisif terhadap penyimpangan.
Krisis integritas menjadi masalah besar. Mengelola negara dalam masa transisi
tidaklah mudah. Perlu nation building,
character building, social building yang oleh Jokowi dipopulerkan sebagai
revolusi mental. Kita juga perlu system
building, institutional building, economic building. Semuanya itu
diharapkan dapat berjalan secara evolutif dan harmonis, seperti disampaikan
Fritjof Capra, ”Semua sistem kehidupan
berinteraksi satu sama lain dan saling berbagi sumber daya melewati
batas-batasnya.”
Gejolak sejarah
Perjalanan panjang sejarah Indonesia sejak merdeka
diwarnai gejolak yang mungkin tak tertahankan oleh bangsa lain, tetapi kita
dapat tetap bertahan dan maju. Berakhirnya penjajahan Belanda 1942,
digantikan Jepang hingga 1945. Indonesia negara pertama yang merdeka melalui
perjuangan fisik setelah berakhirnya Perang Dunia II yang menginspirasi
puluhan negara terjajah lain di Asia dan Afrika merebut kemerdekaannya.
Negara muda ini harus bertempur dengan bekas penjajah Belanda yang mau
kembali dibantu kekuatan Sekutu yang baru memenangi perang dunia. Pertempuran
10 November 1945 di Surabaya adalah peristiwa heroik yang meyakinkan dunia
bahwa negara Indonesia memang ada.
Upaya penjajah meniadakan negara Republik Indonesia juga
gagal meskipun berhasil memaksa pemerintah mengungsi ke Yogyakarta; kemudian
ketika Belanda menduduki Yogyakarta dan menangkap Bung Karno dan Bung Hatta,
muncul pemerintahan darurat berpusat di Bukit Tinggi dipimpin Syafrudin
Prawiranegara. Di tengah gejolak perjuangan mempertahankan kemerdekaan,
muncul peristiwa Madiun 1948 yang memproklamasikan Negara Soviet Republik
Indonesia di bawah Musso. Pemberontakan ini dapat ditumpas. Tahun 1949,
Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap bertahan dan diakui walaupun hanya
di Jawa dan Sumatera sebagai taktik mempertahankan keutuhan wilayah negara
proklamasi dengan menerima jadi bagian dari Negara Federal Republik Indonesia
Serikat (RIS).
RIS hanya berumur enam bulan, tahun 1950 kita kembali ke
bentuk negara kesatuan dengan UUDS 1950. Di tingkat internasional, ketika
pemerintahan RI jatuh bangun setiap enam bulan, pada April 1955, pada masa
pemerintahan PM Ali Sastroamidjojo, kita berhasil menyelenggarakan Konferensi
Asia-Afrika. Lalu berhasil menyelenggarakan pemilu yang demokratis Desember
1955 untuk memilih anggota DPR dan lembaga konstituante yang bertugas
membentuk UUD.
Di tengah hiruk-pikuk politik, sosial-ekonomi, dan hankam,
pemerintah 13 Desember 1957 mampu melahirkan Deklarasi Djuanda yang membuat
wilayah laut teritorial kita bertambah dari 104.517 kilometer persegi menjadi
3.257.357 kilometer persegi dan akhirnya diakui dunia.
Dengan persenjataan TNI/Polri sangat terbatas, sitaan dari
Jepang dan Belanda eks PD II, pemerintah mampu mengatasi pemberontakan
PRRI/Permesta, RMS, DI/TII, Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. Dengan
bertele-telenya proses politik di konstituante dan diiringi jatuh bangunnya
pemerintahan parlementer yang rata-rata berumur pendek, muncul Dekret
Presiden 5 Juli 1959, kita kembali ke UUD 1945. Ujian selanjutnya dalam sistem demokrasi terpimpin, Indonesia mengalami
kudeta G30S/PKI 1965 yang dapat ditumpas dan disusul pergantian presiden
pertama kali melalui jalan istimewa. Lalu masuk ke era Orde Baru.
Presiden Soeharto memimpin selama 32 tahun dengan pengendalian sosial politik
ketat sehingga terjadi peristiwa Mei 1998. Pak
Harto mengundurkan diri dan tibalah era Reformasi hingga sekarang.
Mengakhiri kegaduhan
Indonesia mengalami banyak peristiwa mengejutkan, benturan
keras, dan kondisi tak ideal, tetapi bersamaan itu mengalami kemajuan di
banyak bidang: peningkatan PDB, usia harapan hidup, pendapatan per kapita;
menurunnya tingkat pertambahan penduduk, angka kematian bayi; meningkatnya
angka literasi dan pendidikan rata-rata penduduk; meningkatnya kelas menengah
dan mobilitas penduduk.
Secara politik, ketenangan terjadi selama 30 tahun
pemerintahan Orde Baru melalui pengendalian ketat. Akibat positifnya,
pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun. Di luar masa tersebut, praktis kita
mengalami kegaduhan politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Jika kekisruhan pada
masa lalu lebih dilatarbelakangi upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan
dan keutuhan wilayah negara serta pertarungan ideologis dalam meletakkan
dasar-dasar negara, kekisruhan kini lebih diwarnai perebutan kekuasaan dan
sumber daya ekonomi, termasuk bancakan anggaran negara di DPR dan DPRD.
Segala riak dan gejolak perjalanan bangsa yang begitu
dahsyat dapat kita lalui dengan baik, ciri suatu negara yang akan menjadi
negara besar. Memang belajar bernegara adalah proses tanpa akhir. Dan,
seperti semua manusia hebat, lahir dari manusia yang mengalami tantangan
berat. Begitu juga negara.
Berbagai
kekisruhan yang sedang terjadi sekarang ini tak perlu mengecilkan hati akan
masa depan negara kita walaupun sesungguhnya kita menyadari negara kita akan
jauh lebih maju dan sejahtera dari sekarang apabila elite politik
berintegritas tinggi dan tak terus-menerus melahirkan kegaduhan politik dan
hukum yang menyedot energi sosial dan
ekonomi masyarakat untuk membangun negara dan bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar