Kesadaran
Mengenai Waktu
Mudji Sutrisno ; Guru
Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
|
KORAN
SINDO, 07 Maret 2015
Dalam pandangan Hindu-Buddha, yang ikut masuk ke salah
satu pandangan Nusantara dalam paham Jawa mengenai waktu, dibagikanlah empat
periode.
Simbolismenya adalah yang berharga dalam peradaban saat
ini yaitu emas, perak, perunggu, dan besi. Zaman sejahtera atau emas dinamai
zaman kritea, secara batin penghayatan darma itu utuh dan kesadaran
menghayatinya untuk hidup 100% ke bakti atau darma. Inilah zaman emas.
Zaman tritea adalah saat waktu adalah periode perak di
mana masih dua pertiga atau 70% orang-orang berkesadaran menghayati waktu
sebagai darma bakti, baik untuk dunia maupun sesama. Ketika kesadaran darma
pecah mendua dan 50% ke arah positif serta 50% ke negatif zaman ini disebut
dwaparwa atau dua kecondongan ke kehidupan yang berdarma atau sebaliknya.
Oleh karena itu, daya energi yang dalam bahasa modern
disebut prokehidupan tepat selalu berada dalam lawan energi yang anti
kehidupan atau anti memberikan darma. Inilah periode bersimbol perunggu.
Zaman berikutnya ada masa waktu kacau atau chaos yaitu kaliyuga. Pada masa ini
hanya tinggal sepertiga kesadaran menghayati hidup berdasar darmanya.
Cirinya: orientasi ke darma atau menghayati hidup untuk
memperindahnya, pemuliaan sudah dikalahkan oleh hasrat penghancurannya.
memayu hayuning bawana hanya slogan kosong tanpa laku tindakan. Kaliyuga
sebagai periode disorientasi darma disimbolkan besi yang tidak berharga. Yang
terus diambil oleh pujanggapujangga Jawa sebagai peringatan untuk waspada
dalam hal ini seperti Ronggowarsito yang terkenal dengan tafsir kaliyuga
sebagai masa yang tidak ikut-ikutan edan ora komanan (baca: yang tidak ikut
gila tidak akan kebagian).
Orang-orang kacau arah hidupnya dengan mengejar pemenuhan
hasrathasratnya untuk berkuasa, untuk serakah. Dalam situasi seperti ini,
masih berbahagialah orang yang tetap sadar dan waspada untuk tidak hanyut
dalam gelombang gila ini.
Paham periodisasi waktu di atas menarik untuk dibandingkan
sebagai cermin dengan kesadaran waktu di pandanganpandangan dunia lain.
Ketika seorang Chairil Anwar penyair Indonesia awal pascaperiode
pra-Indonesia berteriak untuk zamannya dengan ”kalau sampai waktuku, kumau
tak seorang pun kan merayu, tidak juga kau” (sajak senja di pelabuhan itu),
maka sang waktu bagi Chairil dipahami sebagai perjalanan aktif manusia subyek
untuk menentukan ziarah hidupnya di dunia ini.
Apalagi sajak terkenalnya sebagai ”aku binatang jalang
dari kumpulan terbuang”, para penafsir sastra meletakkan Chairil Anwar
sebagai eksistensialis, pelaku yang tidak menyerah pada siklus waktu namun
menentukan langkahnya dalam waktu. Apakah empat periodisasi Nusantara
khususnya Jawa di depan merupakan penghayatan waktu sebagai roda berputar di
mana lingkaran hidup dihayati sebagai siklus dari masa emas sampai masa besi
kacau dan berputar lagi ke silih berganti asalkan manusia menyadari siklus
itu dengan waspada sadar?
Sebenarnya sistematisasi ilmu kebudayaan dan filsafatnya
yang berdasar lapangan induktif pengalaman menghayati waktu lalu
mengabstraksikannya dan membuatnya kategori- kategori secara deduksi dengan
akal budi rasional, pandangan waktu yang satu siklus sedang yang kedua
linier. Yang siklus, orang mengikuti jalan putar waktu, menghadapinya dengan
penyesuaian batin, sedang yang linier, manusia menaruh diri sebagai subjek
sadar yang menentukan detik, menit, tahun untuk menentukan langkah hidupnya.
Ketika ilmu sebagai sistematisasi logis, rasional dengan
menegaskan pentingnya kombinasi antara mendekati realitas waktu dari lapangan
nyata dalam fenomena-fenomenanya baik siklis maupun linier dan
merangkumkannya sebagai paradigma teoritik abstrak, maka antara praksis di
lapangan dan teori harus simbiosis, saling memberi daya dorong pengolahan
fenomena-fenomena lapangan menjadi pandangan hidup lalu diterapkan ke
lapangan dan diuji baru untuk paradigma- paradigma baru.
Mengapa kesadaran mengenai waktu di antara kita perlu
ditajamkan dan dijadikan titik tolak menguji banyak perilaku aneh kita?
Pertama, menyadari sang waktu sebagai berharga itu banyak tafsir maknanya.
Ada yang menafsir dan menghayati dari dalam, intrinsik dari batin waspada
sadarnya untuk selalu sadar waktu jangan tergesa-gesa tanpa renungan alias
mendahului saat suci seperti petuah ojo ngece mongso.
Namun, pribadipribadi yang transisional belum mengolah
kesadaran waktunya lalu jalan pintas meloncat ikutikut ke tafsir time is
money atau waktu adalah uang tanpa olahan, akan menerobos tanpa waspada budi
untuk melintasi paksa palang- palang keselamatan pintupintu lintasan kereta
api. Aneh sekali, demi nyawanya sendiri, ia tidak bisa sabar hening menunggu
10-20 menit. Nekat menerobos untuk apa?
Mengejar waktu adalah uang? Terburu-buru? Padahal setelah
menerobos terjadilah kecelakaan. Padahal yang berhasil nekat lalu setelahnya
mengobrol dan bergosip ria alias membuang waktu kualitatif tetapi menghayati
tanpa nilai waktu kuantitatif. Kedua, kitainisebagaibagian sejarah Nusantara
yang menjadi Indonesia hampir 70 tahun, sehingga osmosis kesadaran waktu
dalam kearifan-kearifan lokal kemajemukan tentang waktu harus didialogkan
terus-menerus dengan apresiasi waktu zaman linier, kalender-kalender baru
yang tidak siklis.
Artinya, yang berharga dari misalnya kesadaran manusia
Bali dengan pandangan dunianya yang mengenal kearifan trimatra desa: ruang ;
kala: waktu ; dan rasa intuisi taksu sebagai patra harus bertemu menjadi
proses sintesis kalau itu ada tesis lalu antitesis atau osmosis mengambil
yang baik lalu dikawinkan dengan yang baru.
Dengan kata lain, proses diri sebagai bagian dari semesta
dalam kesadaran waktu siklis memang harus diterima sebagai
bagianpelakuyangsamaketikamasuk ke kesadaran waktu linier di mana subjek itu
penentu waktu. Apakah strukturalis harus terus menerus dialog dengan
subjeksubjek mentalis yang sadar diri? Jawabnya: pasti.
Karena itu, usaha- usaha proses menyadari Nusantara
menjadi Indonesia dalam renung kesadaran mengenai waktu sama dengan perjalanan
locus genius dengan pengendapan kearifan-kearifan lokal dan maju dalam
peradaban pencerahan budi dan jernih nurani untukmerajutkebijaksanaanhidup
universal secara harkat manusia dan global (dalam makna terbatas rasional
ekonomis).
Ketiga, berdasarkan tiga katakata kunci peradaban yang
mencatat kesadaran waktu manusia dalam kata kunci kyrios yang merupakan makna
suci untuk kronos (saat) sebagai puncak waktu peradaban. Lalu kata momentum
(istilah latin untuk menunjuk saat ini nunc= sekarang) dan dikombinasikan
dengan tempat yang di sinilah (=hic), manusia yang sadar waktu dan sadar
ruang dalam mewujudkan keputusannya untuk menandai sejarah dengan karyanya.
Dan yang ketiga, kalimat kata-kata bijak yang disucikan
dengan tes uji pengalaman yang berbunyi: ada waktuuntukmenanam, adawaktu
untuk menuai panen. Ada waktu untuk lahir dan ada waktu untuk berpulang.
Semuanya ada waktunya. Dan semua dibuat indah pada waktunya. Kesalahan kita
semua adalah karena kita menafsirnya sebagai hanya waktu kita, waktu dunia,
waktu kuantitatif angkaangka tanpa diproses hening dengan sang pemilik waktu
yaitu waktu-Nya.
Oleh karena itu, tidak cukup kepintaran dan kepandaian
akal budi untuk menggolong-golongkan apa itu waktu. Bahkan tidak cukup
sistematisasi logis mengenai waktu linier. Mengapa? Karena kedua- duanya
hanyalah ungkapan kesadaran waktu kuantitatif. Yang kita butuhkan adalah
kesadaran waktu kuantitatif yang mendialogkan terus-menerus kerja-kerja
teknologi dan langkah-langkah material pembangunan dengan transformasi
transformasi kualitatif dalam gelombang kesadaran waktu kultural spiritual
hingga semuanya ada waktunya dan waktu-Nya.
Ingin contoh buat bangsa ini? Bacalah dan renungkanlah
saat bangsa menemukan momentum sejarah merdekanya sebagai berdaulat Negara Republik
Indonesia dalam kalimat pernyataan merdekanya: ”Atas berkat rahmat Tuhan Yang
Maha Esa dengan ini kamim enyatakan kemerdekaan ... ”. Kesadaran akan berkah
dari Yang Ilahi untuk momentum sejarah bangsa ini semestinya menjadi oase
kerja- kerja pembangunan dan transformasi kita!. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar