Warga
Negara Salah Didik
Saifur Rohman ; Guru
Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
|
KOMPAS,
07 Maret 2015
Seorang warga negara yang diduga pelaku begal motor
dibakar massa hingga tewas di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Selasa
(24/2/2015). Konteksnya, pada Februari 2015, warga Jakarta diresahkan oleh
tindak kejahatan begal motor dalam tingkat frekuensi yang tinggi.
Pihak kepolisian menjelaskan, modus operandinya mengancam
korban dengan senjata tajam, kemudian menguasai motor yang sedang dikendarai.
Lokasi pembegalan sering kali di jalanan yang sepi. Ketika pembegalan gagal,
warga tidak menyerahkan kepada polisi, tetapi dijadikan sasaran kegeraman.
Pada saat hampir bersamaan, seorang warga negara bernama
Labora Sitorus menolak eksekusi oleh pemerintah atas vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Sorong memvonis yang bersangkutan 2 tahun
penjara dan denda Rp 50 juta atas pelanggaran Undang-Undang Migas dan
Kehutanan.
Dia dianggap menimbun bahan bakar minyak dan melakukan
pembalakan liar. Pengadilan tidak meloloskan dakwaan tentang pencucian uang.
Upaya banding ke pengadilan tinggi justru memperberat hukuman atas Labora
Sitorus menjadi 8 tahun. Terakhir, Mahkamah Agung pada 17 September 2014
menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar, subsider 1 tahun
kurungan.
Sebagai aparat negara dengan pangkat yang tidak tinggi,
memiliki rekening sebesar Rp 1,5 triliun jelas dipertanyakan. Fakta bahwa
ketika institusi hukum secara jelas telah menjatuhkan vonis tiga kali
berturut-turut, saat itu pula dia menolak dengan rupa-rupa alasan sehingga
mengikutsertakan sejumlah institusi lain dalam penyelesaian eksekusi.
Sebagai warga negara, koruptor yang menolak eksekusi vonis
pengadilan dan warga pelaku pembakaran adalah sama-sama warga negara yang
seharusnya tunduk dan berlindung di bawah rambu-rambu hukum dan
kepemerintahan Indonesia. Namun, apa yang sesungguhnya terjadi? Perlawanan,
keberanian, atau ketidakpercayaan terhadap pemerintah? Apabila itu hanya
permodelan fakta, bagaimana konstruksi interaksi antara warga dan negara
dalam konteks membangun nilai-nilai kebangsaan yang akan datang?
Perlawanan warga negara
Dua kasus itu memberikan pelajaran tentang kuatnya
perlawanan warga negara terhadap hukum dan pemerintahan akhir- akhir ini.
Kasus pertama memberikan ilustrasi, atas nama sejumlah warga, mereka secara
bersama-sama berani menghabisi nyawa warga negara lain dengan cara yang
sangat sadis. Rasionalitas yang digunakan adalah "tontonan rasa
jera" bagi setiap kejahatan.
Sementara itu, kasus kedua membuktikan bahwa berbekal
jaringan dan modal yang memadai, seorang warga negara berani melawan putusan
hukuman yang telah dijatuhkan oleh lembaga negara. Rasionalitasnya didasarkan
pada surat bebas yang dikeluarkan lembaga pemasyarakatan tempat yang
bersangkutan ditahan.
Di atas rasionalitas yang disusun warga negara, perlawanan
seorang atau lebih terhadap hukum dan kepemerintahan ini didasari oleh fakta
tentang lemahnya respons pemerintah. Hal itu berbanding terbalik dengan sikap
warga negara bertindak "rasional" untuk menghindari konsensus yang
telah dibangun sebelumnya. Jika dikonstruksi dalam perspektif sosiologi
hukum, perlawanan tersebut setidaknya merupakan ekses dari pola-pola
pendekatan yang dipraktikkan pemerintah selama ini.
Apabila merujuk pada kesepakatan-kesepakatan dalam
hubungannya dengan sikap warga bangsa, bentuk interaksi antarwarga, juga
antara warga dan negara, secara ideal telah disusun dalam sebuah kenyataan
yang disebut dengan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia". Dalam konteks masyarakat partisipatif, "keadilan
sosial" menuntut kesetaraan dalam praktik hukum dan pemerintahan,
kesempatan yang sama bagi setiap usaha warga negara, dan kekuatan pemerintah
untuk melaksanakan konsensus-konsensus yang telah dibangun sebelumnya. Jika
direfleksikan pada fakta yang dihadapi saat ini, tidak sulit untuk menyatakan
bahwa kita sedang mengalami krisis pemahaman tentang kesetaraan, keadilan,
dan kedaulatan.
Pendidikan menuju Ideologi
Krisis itu dapat diidentifikasi dalam tiga faktor dasar.
Pertama, konstruksi kewarganegaraan selama ini didominasi oleh kepentingan
melanggengkan kekuasaan. Barangkali itulah yang menjadi pikiran Freddy Kiran
Kalidjernih (2005) saat menyimpulkan penelitian disertasinya berjudul Post-Colonial
Citizenship Education: A Critical Study of the Production and Reproduction of
the Indonesian Civic Ideal. Kalidjernih menduga terjadi "krisis
pendidikan" manakala pemahaman kewarganegaraan cukup didasarkan pada
tafsir tekstual. Ideologi kebangsaan diajarkan sesuai dengan
kepentingan-kepentingan pemerintah.
Sebagai bukti, kurikulum pendidikan tahun 2004 dijabarkan
dalam pernyataan- pernyataan yang tidak bisa dipraktikkan dalam interaksi
sosial. Hal itu, menurut dia, merupakan kelanjutan dari dominasi penguasa
terhadap pendidikan kewarganegaraan sejak reformasi 1998.
Kedua, pola pengembangan pendidikan kewarganegaraan
cenderung berorientasi pada pendekatan positivis. Buktinya, Peraturan
Mendikbud No 160/2014, sebagai legitimasi dua kurikulum, terjerumus pada
metodologi empiris yang menekankan pada pengamatan, pertanyaan, percobaan,
penyusunan, dan diskusi. Rasionalitas yang disusun telah berada dalam
kerangka pemahaman makna kewarganegaraan didasari oleh kebutuhan-kebutuhan
aktual tanpa mempertimbangkan kelestarian nilai kebangsaan dalam jangka
panjang. Hasil pendidikan itu bisa dipersingkat: interaksi antara warga dan
negara berakhir pada akal-akalan atau tipu muslihat. Sementara itu, interaksi
antarwarga didasari oleh materialisme pragmatis yang dikendalikan oleh uang
dan kepentingan.
Ketiga, ruang-ruang penafsiran bagi warga negara
dipersempit sedemikian rupa dalam kerangka "metode ilmiah" sehingga
menghapus makna lain dengan "metode kemanusiaan" seperti
hermeneutik, semiotik budaya, cultural studies, historisisme baru atau
dekonstruksi. Penafsiran-penafsiran baru yang selaras dengan cita-cita
kebangsaan tidak mendapatkan tempat yang memadai. Sebab, secara praktis,
warga negara diminta untuk memberikan solusi yang efektif dan efisien terkait
dengan masalah kejahatan, hukum, kepemerintahan, serta masalah-masalah
sehari-hari.
Apabila analisis di atas bisa disetujui, kita sebetulnya
berada pada ambang batas runtuhnya pendidikan kewarganegaraan. Tak ubahnya
macan kertas, kita hanya menghafalkan kebajikan sebagaimana dicantumkan dalam
Pancasila, tetapi tidak pernah menemui bukti dalam praktik kehidupan
berbangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar