Batu
Akik dan Histeria Massa
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah
Perubahan
|
KORAN
SINDO, 12 Maret 2015
Anda mungkin pernah mendengar “nihil sub sole novum“. Itu ungkapan Latin. Kalau memakai bahasa
Inggris, bunyinya kurang lebih begini, “there
is nothing new under the sun“.
Maksudnya, bukan tak ada perubahan, tetapi dalam kefanaan
di dunia ini tidak ada sesuatu yang sama sekali baru. Beda benar dengan
pandangan Heraclitus, panta rei,
yang artinya semua selalu berubah.
Tapi, baiklah, dalam pandangan di atas, ibaratnya seperti malam berganti
pagi, lalu pagi beranjak siang, menuju sore, dan akhirnya kita bertemu
kembali dengan malam.
Begitu seterusnya dunia kita berputar. Berulang-ulang.
Begitu pula dengan kehidupan kita. Selalu saja berulang. Dalam semua hal.
Contohnya, kita pernah terperangkap pada “demam” yang satu, tapi kemudian
masuk dalam demam yang satunya lagi. Sama seperti krisis ekonomi yang akan
datang beberapa tahun sekali. Baiklah supaya tidak berputarputar, saya
langsung saja.
Sebetulnya saya ingin bicara tentang demam batu akik yang
tengah melanda masyarakat kita. Fenomenanya begitu luar biasa. Sangat masif.
Demam ini melanda rakyat jelata sampai pejabat negeri. Mengagumkan meski
dalam banyak hal mungkin ada yang kurang masuk akal. Misalnya saja dari sisi
harga.
Anda tahu batu akik termahal di Indonesia? Kabarnya ia
berasal dari Bengkulu, namanya pictorial agate badar pemandangan. Motifnya
berupa pemandangan pantai. Harganya disebutsebut mencapai Rp2 miliar sama
dengan harga sebuah mobil mewah di Indonesia. Tapi mungkin saja saya luput
dan Anda mendengar ada lagi batu lain yang harganya lebih mahal.
Lalu, dari sisi khasiatnya. Banyak mitos yang mengatakan
batu akik junjung drajat bisa mengangkat wibawa dan status sosial pemakainya.
Ada juga batu akik pancawarna. Pemakai batu akik jenis ini konon akan
memiliki karisma yang kuat dan terlindung dari kejahatan. Bagi yang percaya,
batu akik jenis lain juga mempunyai khasiat yang berbeda-beda. Misalnya, ada
batu akik yang membuat kita menjadi kebal.
Tidak mempan ditusuk atau ditembak. Ada juga batu akik
yang membuat kita menjadi lebih dikasihani atasan atau teman, membuat karier
cepat menanjak, jualan menjadi lebih laku, dan kita tidak mempan disantet.
Kalau Anda memiliki batu akik yang bolong, namanya batu cobong, bisa dipakai
untuk memikat para wanita.
Katanya itu batu pelet. Wow. Silakan kalau Anda mau
percaya, baik soal harga maupun khasiatnya. Namun, bagi saya, fenomena batu
akik ini mengingatkan saya akan lintasan meteor di langit kita. Dahulu,
semasa kecil, saat langit kita masih sangat jernih dan polusi udara belum
menggila, ketika kita menatap langit dengan mata telanjang, sesekali kita
akan melihat meteor yang melintas. Cepat sekali. Lalu, ada kepercayaan kalau
berbarengan dengan lintasan meteor tadi kita mengucapkan apa keinginan kita,
konon bakal terkabul.
Fenomena Meteor
Demam batu akik yang terjadi di masyarakat kita sekarang
ini mengingatkan saya akan meteor yang melintas di langit tadi. Cepat datang,
cepat melintas, dan akhirnya cepat pula menghilang. Fenomenanya saya kira
juga mirip dengan tanaman hias anturium yang juga sempat booming tiga-empat
tahun silam.
Sampai sekarang saya dan mungkin kita semua belum
sepenuhnya paham apanya yang hebat dari tanaman ini sehingga gosip harganya
bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Bahkan konon ada yang
harganya menembus miliaran. Booming batu akik atau anturium dan ikan louhan
di masa lalu adalah cerminan dari masyarakat yang dilanda histeria. Mereka
mendengar gosip menyebar.
Lalu, tanpa sempat berpikir jernih dan menimbang lebih
dalam, mereka memutuskan untuk percaya begitu saja. Mereka ikut arus massa.
Ketika semuabergerakke kanan, dia ikut ke kanan karena takut ketinggalan.
Begitu pula ketika semua bergerak ke kiri. Mereka tanpa sempat berpikir
jernih memborong anturium atau ikan louhan.
Sebagian dengan motif memang ingin menikmati, tapi
sebagian besar justru ingin berspekulasi. Mereka berharap kelak batu akik,
anturiumatauikanlouhannya bisa dijual lagi dengan harga lebih tinggi. Bahkan
untuk anturium, investornya bukan hanya perseorangan.
Di Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Karanganyar
mengeluarkan dana yang lumayan besar untuk menggerakkan masyarakatnya agar
mau menanam anturium. Bupati Karanganyar ketika itu ingin kabupatennya
dinobatkan sebagai kabupaten anturium. Celakanya, seperti meteor tadi,
booming anturium dan ikan louhan ternyata hanya sebentar. Mereka yang
terlanjur menanamkan modalnya pun terpaksa gigit jari. Investasinya
terpangkas habis.
Penyakit Sosial
Dalam bursa efek ada istilah cornering. Bahasa populernya
adalah menggoreng saham. Istilah ini merujuk pada sejumlah pelaku di bursa
efek yang bersepakat untuk memainkan saham perusahaan tertentu agar harganya
naik. Mereka mengembuskan berbagai isu, termasuk melibatkan media massa,
sehingga membuat saham perusahaan tertentu menjadi terlihat prospektif.
Para investor yang kalap, tanpa sempat menimbang kondisi
fundamental dari perusahaan tersebut, akan main tubruk. Siapa yang tak
tergiur melihat harga saham perusahaan tertentu terus bergerak naik. Daripada
ketinggalan, mereka memutuskan ikut memborong saham perusahaan tersebut.
Celakanya setelah kenaikan harganya dirasa cukup, mereka yang bersekongkol
kemudian mulai menjual saham yang dimilikinya.
Alhasil, harga saham perusahaan tadi mulai melorot.
Investor yang kalap tadi pun gigit jari. Mereka pun melakukan cut loss.
Fenomena batu akik, anturium atau ikan louhan adalah fenomena cornering. Ada
banyak pihak yang terlibat dalam mind game lalu memainkan psikologi pasar
dengan mengembusembuskan berbagai isu untuk membuat harga melonjak.
Lalu histeria massa pun tercipta. Setelah harganya
mencapai titik tertentu dan keuntungan yang diperoleh dianggap cukup, mereka
pun perlahan-lahan melepas kendali pasar. Lantas harga pun bergerak turun.
Tinggallah warga biasa yang keasyikan bermain, tinggal dalam impian yang
tiba-tiba hari sudah petang dan harus bangun.
Histeria massa seperti itu erat kaitannya dengan perilaku
irasional. Dalam ilmu ekonomi, perilaku irasional pun terjadi di mana-mana.
Salah satu bentuknya pengulangan-pengulangan tadi. Kita pernah terkena demam
ikan louhan. Lalu kita juga pernah dilanda demam anturium. Kini kita tengah
mengulang kembali demam yang sama, yakni demam batu akik.
Ke depan, mungkin masih akan ada sejumlah demam lain. Bagi
saya, fenomena semacam ini adalah “penyakit sosial”. Ini terjadi di
mana-mana. Ketika akal sehat sudah tak bisa menerima, kita pun masuk dalam
perilaku yang irasional. Itu sebabnya Andrew Normal Wilson, penulis biografi
asal Inggris, menulis begini, “The fact
that logic cannot satisfy us awakens an almost insatiable hunger for the
irrational.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar