Rabu, 04 Maret 2015

Angket bagi Gubernur DKI

Angket bagi Gubernur DKI

Refly Harun  ;  Ahli Hukum Tata Negara; Mengajar di Program Pascasarjana UGM
KOMPAS, 03 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

Politik tak pernah berhenti. Aktor-aktor politik tak pernah mati. Belum habis sisa konflik Komisi Pemberantasan Korupsi-Kepolisian Negara Republik Indonesia, kini muncul perseteruan antara Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI.

Tak tanggung-tanggung, DPRD DKI langsung melancarkan penggunaan hak angket. Semua anggota DPRD yang berjumlah 106 orang setuju membubuhkan tanda tangan bagi penggunaan hak penyelidikan legislatif tersebut. Dalam versi DPRD DKI sebelum penyelidikan dimulai: Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama telah melanggar hukum.

Bisa dipastikan, seperti itu pulalah bakal kesimpulan panitia angket. Kesimpulan agaknya telah mendahului penyelidikan. Basuki kini di tubir jurang kejatuhan. Ayat-ayat pemakzulan mulai berkumandang. 

Terus diincar

Selama memerintah DKI, Basuki akan senantiasa berada pada orbit predatorisme. Basuki adalah mangsa yang selalu diincar pemangsa. Sebagian pimpinan dan anggota biasa DPRD DKI selalu berimajinasi untuk mengakhiri masa jabatan sang gubernur. Dendam politik, serangan balik koruptor (corruptors fight back), soal-soal yang terkait dengan hubungan mayoritas-minoritas berkelindan menjadi satu. Semua itu semakin diperburuk dengan gaya komunikasi Basuki yang selalu keras, to the point, dan tanpa tedeng aling-aling, khas orang tanah seberang.

Kini, kesulitan Basuki bertambah karena kerumunan penentang menjadi mutlak di DPRD DKI. Tak ada yang mendukung. Semua menjadi oposisi. Harapan Basuki tinggal pada warga DKI yang masih mengedepankan hati nurani, ingin melihat DKI bersih tanpa pungli, serta yang terpenting tidak macet dan tak banjir lagi. Level kepercayaan warga Ibu Kota terhadap Gubernur Basuki masih tinggi.

Setidaknya ada empat soal yang terkait dengan memanasnya kembali hubungan antara DPRD DKI dan Basuki. Keempatnya adalah soal yang terkait dengan komunikasi politik dua arah, hal-hal yang bersifat teknis-prosedural, hal-hal yang berhubungan dengan substansi, dan terakhir soal niat baik.

Ada pula soal yang kelima, yang masih berupa spekulasi. Ketika bicara soal pemakzulan, selalu muncul pertanyaan konspiratif: siapa yang diuntungkan? Regulasi terbaru yang disahkan DPR sebelum reses Februari lalu mengubah kembali ketentuan tentang pengganti gubernur yang berhenti atau diberhentikan. Wakil gubernur otomatis naik menjadi gubernur. Sebelumnya, sang pengganti ditentukan oleh pemilihan di DPRD.   

Apakah hal tersebut yang menyebabkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DKI juga ikut-ikutan mendorong Basuki pada bibir jurang pemakzulan? Spekulasi ini sah-sah saja dimunculkan. Sama sahnya meletakkan pertanyaan tersebut dalam skala kepemimpinan nasional ketika banyak pihak membicarakan pemberhentian presiden.

Pemerintahan terbelah

Komunikasi Basuki-DPRD DKI tak pernah baik sejak Basuki mengontrol pemerintahan DKI, baik secara de facto (ketika Joko Widodo sudah sibuk dengan prosesi Pemilu Presiden 2014) maupun de jure (ketika Basuki dilantik secara resmi menggantikan Jokowi). Pemicu komunikasi yang buruk, antara lain,  tindakan Basuki keluar dari Partai Gerindra dan memilih merapat pada kekuatan KIH. Padahal, Gerindra adalah pemimpin Koalisi Merah Putih (KMP) di DKI yang notabene menguasai kursi mayoritas.

Jika di tingkat pusat ada fenomena pemerintahan terbelah (divided government), yaitu pendukung pemerintah di legislatif hanya minoritas, hal yang sama terjadi pula di DKI.  Menghadapi pemerintahan terbelah, kepiawaian komunikasi politik menjadi penting. Negosiasi kepada legislatif menjadi prioritas agar agenda pemerintah disetujui.

Di tingkat pusat, "kelambanan" Presiden Jokowi menentukan Kapolri definitif bisa jadi terkait dengan persetujuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Semua maklum, tanpa APBN-P 2015 disetujui, gerak pemerintahan Jokowi terkunci. Proyek-proyek pembangunan akan terlambat, bahkan terhambat. Janji-janji kesejahteraan selama masa kampanye tak mudah direalisasikan. Kementerian pun tidak bisa bergerak karena banyaknya perubahan yang sudah dilakukan, yang harus ditopang dengan persetujuan anggaran.

Untungnya, negosiasi politik berhasil. APBN-P 2015 dapat disetujui sebelum masa reses DPR pertengahan Februari lalu. Alhasil, meski tetap dikepung dengan berbagai kekuatan, bahkan dijepit pendukung sendiri, Jokowi mantap untuk tidak melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan dan mengajukan Badrodin Haiti sebagai calon baru Kapolri. Anggaran selamat, eskalasi politik melambat.

Politik gaya Jokowi ternyata sama sekali tidak dipakai Basuki. Tidak ada rumus negosiasi bagi mantan Bupati Belitung Timur itu. Ketika ada perbedaan pendapat soal Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI, yang ditengarai ada dana siluman Rp 12,1 triliun, Basuki memilih ke Komisi Pemberantasan Korupsi ketimbang negosiasi. Langkah ini tentu saja semakin melancarkan penggunaan hak angket oleh DPRD DKI.

Gaya politik yang keras ini bisa berhasil tidak hanya karena dukungan masyarakat. Basuki juga harus memperhatikan tiga hal berikut: prosedur, substansi, dan niat baik. Secara prosedur, Basuki tidak boleh keliru. Jika benar tuduhan DPRD DKI bahwa Basuki menyampaikan dokumen Rancangan Anggaran dan Pendapatan Daerah (RAPBD) yang tidak disetujui, yang sebagian angkanya dikoreksi Basuki sendiri, ini soal teknis-prosedural yang tidak kecil. Hal ini menyangkut tata pemerintahan di daerah, menyangkut kewenangan institusi lain yang didasarkan pada konstitusi.

Soal teknis-prosedural ini tidak akan menjadi dominan jika Basuki mampu menjelaskan bahwa secara substantif angka-angka dalam RAPBD versi DPRD DKI tersebut tidak pernah diajukan dan tak pernah dibahas bersama dengan eksekutif. Bagaimanapun, dalam hal APBD, ada kewenangan bersama (joint power) antara eksekutif dan legislatif.

Inisiatif APBD selalu berasal dari eksekutif. Asumsinya, eksekutif dinilai lebih tahu dalam pengalokasian anggaran dan eksekutif pula yang akan melaksanakannya. Namun, karena uang yang dikelola tersebut adalah uang rakyat, perlu persetujuan wakil-wakil rakyat. Hak anggaran DPRD sesungguhnya lebih bertitik tekan pada persetujuan (pasif), bukan kewenangan aktif untuk "mengacak-acak" anggaran. DPRD harus lebih berperan sebagai watchdog, memastikan bahwa anggaran pro rakyat, bukan jadi kerumunan pemburu rente yang menjadikan ABPD sebagai bancakan.

Niat baik akhirnya menjadi kata kunci. Dalam memanasnya hubungan Basuki-DPRD DKI, publik akan dapat menilai siapa sesungguhnya yang berniat baik untuk menyelamatkan dana rakyat. Dari sisi Basuki, yang berhadapan dengan 106 anggota DPRD DKI, niat baik bisa jadi menyelamatkannya dari ranjau pemakzulan.

Andai hasil panitia angket nanti berkembang menjadi penggunaan hak menyatakan pendapat, Mahkamah Agung (MA) yang akan menilai. Penilaian tersebut setidaknya akan mencakup dua hal. Pertama, apakah benar Basuki telah melakukan pelanggaran hukum yang bisa jadi diamini semua anggota DPRD DKI. Kedua, kalau memang terjadi pelanggaran hukum, apakah hal tersebut cukup jadi alasan untuk sampai pada vonis pemakzulan.

Obyektivitas dan pedang keadilan MA sangat diharapkan. Mekanisme pemakzulan di Indonesia, baik pada level nasional maupun lokal, memang memadukan pembenaran politik dan kebenaran hukum. Secara politik, benar atau salah tidak menjadi penting. Sepanjang mayoritas menghendaki, jurus-jurus pemakzulan tetap bisa dimainkan. Suara mayoritas ini akan diuji dengan kebenaran hukum. Di Mahkamah Konstitusi dalam konteks nasional, di MA dalam konteks lokal. Subyektivitas politik mayoritas akan berbuah pemberhentian jika diamini institusi hukum yang berwenang mengujinya.

Mudah-mudahan kebenaran selalu dibenarkan dan dimenangkan. Jangan sampai pada era pemerintahan Jokowi justru kita menyaksikan tumbangnya orang-orang baik (a few good men), mulai dari Bambang Widjojanto, Abraham Samad, hingga Basuki Tjahaja Purnama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar