Lagi,
Ahok versus DPRD DKI
Refly Harun ; Ahli Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
03 Maret 2015
Takdir Ahok dan DPRD DKI, agaknya, terus berseteru. Mereka tak
akan pernah bertemu. Episode terbaru perseteruan adalah penggunaan hak angket
oleh DPRD DKI, yang telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPRD DKI, Kamis, 26
Februari 2015.
Hak angket diajukan karena Ahok, panggilan akrab Gubernur DKI
Basuki Tjahaja Purnama, dianggap melakukan pelanggaran serius, yaitu
menyerahkan kepada Menteri Dalam Negeri Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
APBD DKI 2015 tanpa persetujuan DPRD. Paling tidak, begitulah klaim DPRD DKI.
Dari pihak Ahok lain lagi. Menurut Ahok, tidak benar ia
menyampaikan RAPBD yang tidak disepakati. “Yang benar, DPRD tidak berhasil
memaksa kami memasukkan anggaran yang tidak masuk akal. Lalu mereka membuat
sendiri APBD tanpa SKPD (satuan kerja pemerintah daerah) kami.” Konfirmasi
Ahok kepada saya kemarin (1/3/15).
Ahok menyatakan bahwa yang ia sampaikan adalah RAPBD yang telah
disetujui DPRD, sedangkan yang diklaim sebagai versi resmi DPRD tersebut
adalah buatan DPRD DKI sendiri tanpa kehadiran SKPD. Versi DPRD inilah yang
dituding memunculkan dana siluman hingga Rp 12,1 triliun, angka yang tentu
saja sangat tidak kecil.
Siapa yang benar, siapa yang berbohong? Harus diakui, sentimen
publik saat ini lebih mempercayai Ahok. Gerakan “save Ahok” menjadi trending topic dan geliat masyarakat,
terutama warga DKI. Mirip seperti perseteruan KPK-Polri, sentimen publik
selalu berada di sisi KPK.
Ahok dan KPK adalah soal kepercayaan (trust). Tidak dipaksakan, apalagi digerakkan. Hal ini membuktikan
bahwa rasionalitas publik selalu menginginkan pemimpin yang bersih dan
antikorupsi.
Terlepas ‘cuap-cuap’ ala Ahok yang sering memerahkan telinga,
mantan Bupati Belitung Timur itu masih menjadi harapan bagi warga Jakarta.
Sama seperti KPK yang menjadi harapan bagi pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Seberapa penting hak angket yang dilancarkan DPRD DKI di tengah
sentimen dukungan kepada Ahok? Hak angket adalah hak legislatif untuk
melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah daerah provinsi yang
penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah,
dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa angket diarahkan
kepada kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas, yang diduga
bertentangan dengan undang-undang. Bila definisi ini diterapkan pada objek
perkara Ahok-DPRD DKI, rasanya terlalu prematur untuk melancarkan hak angket.
Menyampaikan dokumen RAPBD yang berbeda kepada Menteri Dalam
Negeri untuk dievaluasi, kalau benar, harusnya tak perlu berbuah angket.
Tinggal diklarifikasi mana dokumen yang resmi mana yang bukan. Semudah itu.
Dengan catatan, semua memiliki niat baik dalam mewujudkan anggaran untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Bila kepentingannya berbeda, satu untuk kebaikan dan
kesejahteraan rakyat, sedangkan yang lain menjadikan APBD sebagai bancakan,
sebagai proyek, tentu saja tidak bisa ketemu. Harus ada forum yang transparan
dan kredibel untuk mengungkap semua ini.
Panitia angket yang dibentuk DPRD DKI, yang akan bekerja dan
melaporkan hasilnya dalam jangka waktu paling lama 60 hari, tidak cukup
kredibel untuk menjadi forum tersebut. Sebabnya, DPRD DKI berada pada wilayah
benturan kepentingan (conflict of
interest).
Bila benar tuduhan Ahok, bahwa DPRD DKI mengubah sendiri
anggaran tanpa kehadiran dan kesepakatan dengan eksekutif, bahkan sampai
mencangkokkan dana simsalabim sebesar Rp 12,1 triliun, potensi pelanggaran
hukum serius justru ada pada DPRD DKI sendiri. Mereka yang melakukannya bisa
dituding punya niat jahat untuk mencari keuntungan dari persetujuan RAPBD.
Jelas ini percobaan korupsi.
Mungkin tidak semua
anggota DPRD DKI yang terlibat. Bisa jadi hanya oknum-okunum tertentu. Mereka
itu yang mungkin selama ini memiliki pengaruh di DRPD dan selalu mencari
keuntungan (rente) dari kekuasaan politik. Mirip dengan apa yang terjadi di
tingkat pusat (DPR).
Bila hal ini yang terjadi, panitia angket tidak bisa menjadi
pencari fakta yang netral. Panitia angket tidak bisa menjadi alat untuk
mencari siapa yang salah, siapa yang benar secara independen. Dalam balutan
konflik kepentingan, siapa pun tidak akan objektif. Seseorang tidak bisa
menjadi hakim bagi dirinya sendiri.
Angket, bisa jadi, hanya membuang-buang energi, sementara
hasilnya belum tentu dapat dipercaya, apalagi diterima. Kecuali sasaran
angket untuk menjatuhkan Ahok. Tidak bisa dimungkiri, imajinasi ini bersemi
di benak sebagian anggota DPRD sejak Ahok mengontrol pemerintahan DKI. Mereka
selalu mencari kesempatan agar Ahok terpeleset dan ada kesempatan untuk
melengserkannya.
Kompromi kebaikan
Kalau bisa dikompromikan, kedua belah pihak mestinya bisa duduk
satu meja untuk mengurai benang yang sesungguhnya tidak kusut-kusut amat.
Bila tidak, warga DKI yang akan rugi. Pelambatan persetujuan APBD akan
berdampak pada pembangunan dan pemberesan Jakarta.
Di tangan Ahok, masyarakat Jakarta membuncah harapan akan
kehidupan yang lebih manusiawi di Ibukota. Tidak hanya pemberesan soal macet,
banjir, dan kebersihan lingkungan, melainkan juga pelayanan birokrasi yang
tidak lagi berteman pungli.
Dalam kondisi normal, wakil rakyat baik di pusat maupun daerah
harusnya menjadi pengingat yang paling kritis akan harapan warga tersebut.
Sayang, terlalu sering realitas berkata sebaliknya: wakil rakyat justru
menjadi begal bagi hak-hak rakyat.
Wakil rakyat dan rakyat tidak selalu berada pada gelombang yang
sama. Malah sebaliknya, lebih sering bersilang sikap dan kata.
Problem utama negara ini, ada wakil rakyat, tetapi tidak
dipercaya. Wakil rakyat bahkan sering menjadi musuh orang baik, menjadi
penentang aktor-aktor antikorupsi. Wakil-wakil rakyat, yang berasal dari
partai-partai politik, justru sering menjadi beban bagi bangsa ini. Tidak
heran lelucon sinis sering kita dengar. Kalau ada satu bus rombongan wakil
rakyat terjungkal ke jurang, berapa orang yang bakal selamat. Jawabnya:
ratusan juta rakyat Indonesia!
Ahok versus DPRD DKI, akankah berakhir dengan tumbangnya aktor
baik, sebagaimana hampir tumbangnya KPK karena kealpaan negara untuk
melindungi. Doa kita semua, semoga kebenaran yang menang, keserakahan tumbang
dan menjadi pecundang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar