Rabu, 04 Maret 2015

Lagi, Ahok versus DPRD DKI

Lagi, Ahok versus DPRD DKI

Refly Harun  ;  Ahli Hukum Tatanegara
DETIKNEWS, 03 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

Takdir Ahok dan DPRD DKI, agaknya, terus berseteru. Mereka tak akan pernah bertemu. Episode terbaru perseteruan adalah penggunaan hak angket oleh DPRD DKI, yang telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPRD DKI, Kamis, 26 Februari 2015.

Hak angket diajukan karena Ahok, panggilan akrab Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, dianggap melakukan pelanggaran serius, yaitu menyerahkan kepada Menteri Dalam Negeri Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD DKI 2015 tanpa persetujuan DPRD. Paling tidak, begitulah klaim DPRD DKI.

Dari pihak Ahok lain lagi. Menurut Ahok, tidak benar ia menyampaikan RAPBD yang tidak disepakati. “Yang benar, DPRD tidak berhasil memaksa kami memasukkan anggaran yang tidak masuk akal. Lalu mereka membuat sendiri APBD tanpa SKPD (satuan kerja pemerintah daerah) kami.” Konfirmasi Ahok kepada saya kemarin (1/3/15).

Ahok menyatakan bahwa yang ia sampaikan adalah RAPBD yang telah disetujui DPRD, sedangkan yang diklaim sebagai versi resmi DPRD tersebut adalah buatan DPRD DKI sendiri tanpa kehadiran SKPD. Versi DPRD inilah yang dituding memunculkan dana siluman hingga Rp 12,1 triliun, angka yang tentu saja sangat tidak kecil.

Siapa yang benar, siapa yang berbohong? Harus diakui, sentimen publik saat ini lebih mempercayai Ahok. Gerakan “save Ahok” menjadi trending topic dan geliat masyarakat, terutama warga DKI. Mirip seperti perseteruan KPK-Polri, sentimen publik selalu berada di sisi KPK.

Ahok dan KPK adalah soal kepercayaan (trust). Tidak dipaksakan, apalagi digerakkan. Hal ini membuktikan bahwa rasionalitas publik selalu menginginkan pemimpin yang bersih dan antikorupsi.

Terlepas ‘cuap-cuap’ ala Ahok yang sering memerahkan telinga, mantan Bupati Belitung Timur itu masih menjadi harapan bagi warga Jakarta. Sama seperti KPK yang menjadi harapan bagi pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Seberapa penting hak angket yang dilancarkan DPRD DKI di tengah sentimen dukungan kepada Ahok? Hak angket adalah hak legislatif untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah daerah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa angket diarahkan kepada kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas, yang diduga bertentangan dengan undang-undang. Bila definisi ini diterapkan pada objek perkara Ahok-DPRD DKI, rasanya terlalu prematur untuk melancarkan hak angket.

Menyampaikan dokumen RAPBD yang berbeda kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi, kalau benar, harusnya tak perlu berbuah angket. Tinggal diklarifikasi mana dokumen yang resmi mana yang bukan. Semudah itu. Dengan catatan, semua memiliki niat baik dalam mewujudkan anggaran untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Bila kepentingannya berbeda, satu untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat, sedangkan yang lain menjadikan APBD sebagai bancakan, sebagai proyek, tentu saja tidak bisa ketemu. Harus ada forum yang transparan dan kredibel untuk mengungkap semua ini.

Panitia angket yang dibentuk DPRD DKI, yang akan bekerja dan melaporkan hasilnya dalam jangka waktu paling lama 60 hari, tidak cukup kredibel untuk menjadi forum tersebut. Sebabnya, DPRD DKI berada pada wilayah benturan kepentingan (conflict of interest).
Bila benar tuduhan Ahok, bahwa DPRD DKI mengubah sendiri anggaran tanpa kehadiran dan kesepakatan dengan eksekutif, bahkan sampai mencangkokkan dana simsalabim sebesar Rp 12,1 triliun, potensi pelanggaran hukum serius justru ada pada DPRD DKI sendiri. Mereka yang melakukannya bisa dituding punya niat jahat untuk mencari keuntungan dari persetujuan RAPBD. Jelas ini percobaan korupsi.

 Mungkin tidak semua anggota DPRD DKI yang terlibat. Bisa jadi hanya oknum-okunum tertentu. Mereka itu yang mungkin selama ini memiliki pengaruh di DRPD dan selalu mencari keuntungan (rente) dari kekuasaan politik. Mirip dengan apa yang terjadi di tingkat pusat (DPR).

Bila hal ini yang terjadi, panitia angket tidak bisa menjadi pencari fakta yang netral. Panitia angket tidak bisa menjadi alat untuk mencari siapa yang salah, siapa yang benar secara independen. Dalam balutan konflik kepentingan, siapa pun tidak akan objektif. Seseorang tidak bisa menjadi hakim bagi dirinya sendiri.

Angket, bisa jadi, hanya membuang-buang energi, sementara hasilnya belum tentu dapat dipercaya, apalagi diterima. Kecuali sasaran angket untuk menjatuhkan Ahok. Tidak bisa dimungkiri, imajinasi ini bersemi di benak sebagian anggota DPRD sejak Ahok mengontrol pemerintahan DKI. Mereka selalu mencari kesempatan agar Ahok terpeleset dan ada kesempatan untuk melengserkannya.

Kompromi kebaikan

Kalau bisa dikompromikan, kedua belah pihak mestinya bisa duduk satu meja untuk mengurai benang yang sesungguhnya tidak kusut-kusut amat. Bila tidak, warga DKI yang akan rugi. Pelambatan persetujuan APBD akan berdampak pada pembangunan dan pemberesan Jakarta.

Di tangan Ahok, masyarakat Jakarta membuncah harapan akan kehidupan yang lebih manusiawi di Ibukota. Tidak hanya pemberesan soal macet, banjir, dan kebersihan lingkungan, melainkan juga pelayanan birokrasi yang tidak lagi berteman pungli.

Dalam kondisi normal, wakil rakyat baik di pusat maupun daerah harusnya menjadi pengingat yang paling kritis akan harapan warga tersebut. Sayang, terlalu sering realitas berkata sebaliknya: wakil rakyat justru menjadi begal bagi hak-hak rakyat.

Wakil rakyat dan rakyat tidak selalu berada pada gelombang yang sama. Malah sebaliknya, lebih sering bersilang sikap dan kata.

Problem utama negara ini, ada wakil rakyat, tetapi tidak dipercaya. Wakil rakyat bahkan sering menjadi musuh orang baik, menjadi penentang aktor-aktor antikorupsi. Wakil-wakil rakyat, yang berasal dari partai-partai politik, justru sering menjadi beban bagi bangsa ini. Tidak heran lelucon sinis sering kita dengar. Kalau ada satu bus rombongan wakil rakyat terjungkal ke jurang, berapa orang yang bakal selamat. Jawabnya: ratusan juta rakyat Indonesia!

Ahok versus DPRD DKI, akankah berakhir dengan tumbangnya aktor baik, sebagaimana hampir tumbangnya KPK karena kealpaan negara untuk melindungi. Doa kita semua, semoga kebenaran yang menang, keserakahan tumbang dan menjadi pecundang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar