Rabu, 04 Maret 2015

Teater Amatir Indonesia

Teater Amatir Indonesia

Radhar Panca Dahana  ;  Budayawan
KOMPAS, 03 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

Sering kali selesai dari sebuah diskusi, seminar atau acara bincang-bincang di televisi, saya merasa getun, kagum, sekaligus sedih. Dalam ruang di mana perdebatan yang baru saja usai, para pembicara atau narasumber-bisa pejabat publik, pemimpin partai, anggota parlemen, atau tokoh masyarakat-beradu pendapat begitu keras, bertikai bahkan hingga emosional; mengeluarkan kata kasar sampai tingkat "pelecehan". Debat khas elite kita.

Namun, maaf, jangan Anda terpukau dulu. Semua itu bukanlah "kejadian" sebenarnya. Sungguh mati, semua itu hanya sandiwara; teater kata orang-orang kota zaman kini. Sebab setiba di luar, mereka segera bersalaman dan berpelukan, cipika-cipiki, bahkan tertawa guyon bersama dan-boleh jadi-lalu ngopi bersama.

Tak perlu pihak yang sensi(tif) tersinggung karena mungkin sebagian dari ilustrasi di atas mirip dengan apa yang pernah ia lakukan. Bagi yang tidak pernah sama sekali, syukurlah, karena ilustrasi di atas memang hanya ilustrasi dari berbagai kejadian yang sering kali oleh sebagian kalangan kemudian disebutnya sebagai "fenomena".

Apa yang menjadi maksud dari lukisan kenyataan di atas adalah fakta bahwa negeri ini kerap menampilkan dirinya sebagai panggung pertunjukan atau teater yang-dalam kategori saya kebetulan sudah lebih dari 35 tahun bergelut dalam dunia itu-amatir. Model pemanggungan yang dilakukan, mulai dari pengambilan peran, akting, gestur hingga business act, terlalu mudah dibaca sebagai kepura-puraan. Dalam istilah lain: artifisial!

Bagi yang bermata tajam, panggung teater amatir ini sering kita saksikan. Hampir setiap hari, baik dalam bentuk tontonan langsung maupun via media massa. Banyak kasus yang dikuak, baik oleh lembaga hukum formal maupun media sosial informal, bagaimana misalnya teater amatir terjadi di kalangan para penyusun dan pelaksana anggaran, di mana uang rakyat digelembungkan sedemikian tinggi untuk sebagian besarnya dibagi sesuai dengan porsi tanggung jawab atau jabatan aktor-aktor amatir yang bermain di dalamnya.

Kita mafhum semua. Kita pun mafhum ketika semua perangkat hukum, baik yang lunak maupun keras hanya dijadikan properti atau figuran yang dapat dipermainkan bahkan dimanipulasi secara kasar. Seolah-olah teater itu dapat menipu mata fisik ataupun batin masyarakat. Seolah-olah waktu dan ruang tak bertelinga, tak bermata, tak menjadi sejarah yang nyata.

Teater mutakhir kita

Belakangan ini kita kembali menyaksikan panggung teater amatir dalam skala yang cukup, ah tidak, tetapi sangat besar. Sebab, ia melibatkan begitu banyak elite atau petinggi negeri ini.

Tak perlu berbasa-basi atau berlagak santun. Kita sama mengerti, teater amatir besar-besaran yang mengisi hampir semua kepala berita media massa, sosial, hingga warung kopi kaum pinggiran, berkaitan dengan kontroversi pelantikan Kepala Polri baru menggantikan yang lama, Jenderal (Pol) Sutarman.

Saya tidak perlu mengulangi adegan-adegan dari teater amatir ini, yang hampir semua pelahap berita menghafalnya jauh lebih baik daripada hafalan isi konstitusi atau kitab agama masing- masing. Sejak awal, kita sudah tahu teater itu berlangsung saat sebuah nama, dalam hal ini Komjen Budi Gunawan dinominasikan sebagai calon Kepala Polri baru. Penunjukan nama itu sebagai calon tunggal oleh Presiden mungkin jadi pintu masuk atau adegan pertama.

Adegan kedua jadi sedikit menimbulkan ketegangan ketika mendadak sang calon tunggal dijadikan tersangka oleh KPK. Dramatika seperti tersutradarai dengan baik karena ketegangan muncul. Namun, keamatiran itu terjadi begitu banal dan verbal ketika sang "tersangka" malah direstui atau disetujui secara aklamatif oleh DPR. Ketegangan yang biasanya jadi bumbu drama tragedi kini menawarkan sedikit komedi (politik) di kalangan elite, yang notabene menciptakan kerancuan bahkan kehancuran acuan atau standar normatif, moral, dan etik di masyarakat luas.

Adegan-adegan berikutnya, kita sama jadi saksi bahkan mungkin pemain figuran dengan bayaran murah atau mungkin gratisan dari teater tingkat nasional yang membuat giris ini. Hingga akhirnya ia berpuncak pada monolog dari seorang hakim (yang bagus sekali menjadi ide sebuah drama, seni yang sesungguhnya), saat mengumumkan sebuah keputusan yang dianggap banyak kalangan hukum sebagai tak sah, tidak valid, bahkan merusak tatanan hukum itu sendiri.

Akan tetapi, itu semua terjadi di negeri yang (konon) menempatkan hukum dalam posisi tertinggi, bahkan di atas hukum adat, hukum agama, apalagi hukum preman jalanan. Dia terjadi ketika rakyat ini-katanya-memiliki a new hope dengan Presiden baru yang benar-benar dipilih oleh hati dan nurani rakyat. Dia terjadi ketika kita sebagai bangsa membutuhkan kekuatan (persatuan) hebat semua elemen masyarakat menghadapi ancaman serius dan tantangan kehidupan global di jangka dekat ini.

Namun, semua itu harus kita alami dalam sebuah pertunjukan teatrikal murahan dalam negara yang kita cintai ini. Kita bertepuk tangan untuk komedi tragik ala Aristophanes yang (sebenarnya cuma di panggung tapi) kini berlangsung nyata di depan kita.

"The show must goes on"

Bagaimana pertunjukan ini harus berakhir? Bagaimana sutradara atau penulis naskah akan menciptakan akhir cerita? Akhir cerita sedih seperti kebanyakan drama-drama terkenal dari wilayah totaliter, seperti Rusia, Tiongkok, atau Eropa Timur, di masa lalu, atau akhir cerita yang membahagiakan bergaya Hollywood? Indonesia, negeri yang dalam takdir dan nasibnya sudah jadi bagian bukan hanya dalam genetika, melainkan juga primordialitas kesejarahan kita ini, harus berani menciptakan skenarionya sendiri, penutup pertunjukannya sendiri.

Tak ada pihak yang lebih pantas melakukan itu, kecuali sutradara yang tertera dalam poster atau katalog pertunjukan: Presiden Republik Indonesia. Bukan sutradara-sutradara bayangan, yang hanya mencari nama, nebeng ngetop, mencari keuntungan dari sukses, atau mengintervensi dengan skenario kepentingannya sendiri. Bagi sutradara sejati, the show must goes on, rakyat dan bangsa ini-pertunjukan dan teater profesional yang sesungguhnya-harus terus berlanjut, harus dipertahankan, apa pun taruhannya. Bukan hanya gengsi, nama, bahkan jabatan dan nyawa jadi taruhannya. Lebih baik mati di kalangan, mati dalam kesejatian di atas panggung, ketimbang meregang nyawa di jalanan sebagai pesakitan moral, konstitusi dan cita-cita bangsa dan para pendahulunya.

Kita tak perlu lagi disuguhi kepura-puraan manipulatif ini, tak bisa lagi menerima pembangkangan pada etika, hukum dan kesantunan budaya yang telah menegakkan negara ini selama 70 tahun. Kita tak bisa menolerir perilaku segelintir pihak menciptakan "negara dalam negara", negara bohongan dari komplotan yang mendestruksi negara sejati yang (pernah) kita bela dengan darah dan nyawa.

Kini bukan kesejatian seorang pemimpin lagi dibutuhkan, bersama iman, keberanian dan "menjalankan yang benar bukan berpikir benar", sebagaimana adagium sakti untuk seorang pemimpin besar. Kita tidak hanya meminta pemimpin yang berani mengatasnamakan dirinya sebagai "pilihan rakyat" untuk berpihak pada mereka yang telah memilihnya. Namun, kita juga mendesak dan menuntut agar sang sutradara sesungguhnya menyelamatkan bangsa dan negara bagi anak cucu pada masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar