Minggu, 04 Januari 2015

Segerakan UU Pemilu 2019

                                       Segerakan UU Pemilu 2019

Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO,  03 Januari 2015

                                                                                                                       


Meski pada paruh kedua tahun 2014 kita sempat dibuat cemas oleh pertikaian politik yang sangat panas, memasuki 2015 ini ada harapan kehidupan politik menjadi lebih sejuk. Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah mencapai titik temu dan menyadari kekisruhan politik yang bertendensi zero sum game dan saling memboikot hanya akan merugikan semuanya, terutama rakyat. Tahun 2015 memberi harapan untuk normalnya interaksi politik baik antara pemerintah dan DPR maupun antarkoalisi di DPR.

Pemerintah dan DPR dapat melaksanakan tugasnya masingmasing sesuai konstitusi. Di antara banyak hal penting yang harus segera dilakukan oleh DPR dan pemerintah adalah membentuk UU Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden/wakil presiden (pilpres). UU Pemilu 2019 harus segera diselesaikan agar cukup waktu bagi rakyat, pemerintah, dan partai-partai politik untuk melakukan berbagai persiapan.

Ada dua hal terkait dengan ini. Pertama, kita harus melakukan evaluasi atas sistem pemilu dengan urutan suara terbanyak yang ternyata, setelah dua kali kita mengalaminya, menimbulkan banyak masalah. Kedua, pada 2019 pileg dan pilpres harus dilaksanakan serentak. Tidak dapat disangkal Pileg 2014 menimbulkan masalah karena berlangsung brutal dan ditengarai penuh kecurangan.

Jual beli suara, saling bantai antarcaleg dalam satu partai, dan terlemparnya kader-kader penting partai karena dicurangi menjadi isu umum dalam Pileg 2014. Banyak yang mengusulkan agar pileg diubah kembali menjadi sistem proporsional tertutup, bukan dengan urutan suara terbanyak. Hal itu mungkin saja dilakukan dan tidak perlu dipertentangkan dengan putusan MK.

Sebab, pileg dengan suara terbanyak itu sebenarnya bukan perintah putusan MK, melainkan memang merupakan isi UU Nomor 10/2008 yang dibuat oleh DPR bersama Presiden. MK hanya mencoret persyaratannya yang sangat tidak adil. Pileg dengan suara terbanyak atau sistem pemilu pada 2009 itu yang menentukan adalah lembaga legislatif sendiri melalui UU Nomor 10/2008 yang di dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, e. (intinya) mengatur, ”Caleg terpilih di suatu dapil ditetapkan berdasarkan suara terbanyak dari antara mereka yang mendapat suara minimal 30% dari BPP.”

Menurut MK ketentuan ambang 30% itu tidak adil sehingga MK membatalkan frase, ”.. dari antara mereka yang mendapat suara minimal 30% dari BPP.” Menurut MK, kalau lembaga legislatif mau menggunakan sistem proporsional atau sistem distrik itu sama konstitusionalnya dan merupakan opened legal policy yang bisa dipilih yang mana saja yang akan diberlakukan oleh DPR dan pemerintah.

Karena penetapan sistem pemilu itu merupakan ranah pembuatan undang-undang oleh legislatif, maka jika dianggap perlu untuk Pileg 2019 bisa saja UU Pileg itu diubah lagi menjadi sistem proporsional tertutup atau dengan sistem nomor urut. Sepenuhnya hal itu menjadi hak lembaga legislatif.

Pilpres 2019 sangatlah krusial karena berdasarkan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/ 2013 harus dilaksanakan serentak dengan pileg. Putusan MK tersebut dengan sendirinya menuntut dibuatnya undangundang baru yang bisa mencakup mekanisme pemilihan dan penetapan capres/cawapres dan caleg sekaligus.

Untuk pilpres memang masih ada beberapa masalah krusial, apakah memakai presidential threshold ataukah tidak. Ada yang mengusulkan tidak perlu memakai threshold sehingga semua parpol peserta pemilu yang lama atau baru langsung bisa mengajukan capres/cawapres.

Ada yang berpendapat agar pengajuan capres/cawapres oleh parpol tetap menggunakan threshold sebagai bukti bahwa parpol tersebut benar-benar mendapat dukungan sejumlah minimal tertentu dari rakyat. Menurut pendapat kedua ini, yang boleh mengajukan capres/cawapres hanya parpol yang mencapai thereshold pada Pileg 2014 dan mempunyai kursi di DPR RI sekarang.

Kelompok yang menghendaki adanya threshold dalam pilpres ini pun bisa berbeda ke dalam dua pandangan. Pertama, yang menginginkan semua parpol yang sudah mencapai parliamentary threshold dan mempunyai kursi di DPR berdasar Pileg 2014 langsung boleh mengajukan capres/cawapres.

Kedua, yang menginginkan presidential threshold tetap dipatok 20% berdasar hasil Pileg 2014 sehingga capres/ cawapres hanya bisa diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang sekarang sudah mempunyai kursi di DPR. Semua alternatif masih terbuka untuk diperdebatkan dan tergantung alternatif mana yang nanti akan dipilih oleh lembaga legislatif.

Diskusi dan musyawarah untuk pembentukan UU Pemilu ini harus segera dimulai pada 2015 dan sedapat mungkin ditargetkan bisa diundangkan akhir 2016. Dengan demikian, jika ada pengujian ke MK untuk masalah-masalah yang terkait dengan UU Pemilu bisa diproses dan diselesaikan pada 2017 sehingga mulai 2018 semuanya sudah bisa melakukan persiapan dengan undang-undang yang sudah jelas.

Jangan sampai terjadi UU Pemilu baru selesai menjelang pemilu dan pengujiannya ke MK masih dilakukan oleh masyarakat ketika tahapan-tahapan pemilu sudah dimulai. Selain itu, pentingnya penyelesaian segera UU Pemilu 2019 bukan hanya untuk mengatasi kesiapan teknis, melainkan juga untuk menjaga jarak dari kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Jika undang-undang bisa diselesaikan jauh sebelum pemilu maka ketegangan dan manuver politik tidak akan terlalu kental sehingga lebih mudah dihadapi secara wajar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar