Spekulasi
Pelantikan Jokowi
Refly Harun ; Pengajar dan Praktisi Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
13 Oktober 2014
Tinggal berbilang hari, Joko Widodo (Jokowi) akan menjadi Presiden RI.
Bersama Jufuf Kalla (JK), Jokowi akan menjadi presiden ‘kita’. Konvensi
ketatanegaraan yang telah dimulai sejak era pelantikan Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) menahbiskan satu tanggal (20 Oktober) sebagai tanggal pelantikan
Presiden RI.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik sebagai Presiden RI
ke-6 pada tanggal 20 Oktober 2004 setelah menang dalam Pilpres 2004, lalu
dilantik lagi untuk kedua kalinya pada tanggal 20 Oktober 2009 setelah menang
dalam Pilpres 2009. Hanya Presiden Megawati yang tidak dilantik pada tanggal
tersebut lantaran kepresidenan Mega didapat setelah Gus Dur jatuh. Mega
dilantik sebagai Presiden RI ke-5 pada tanggal 23 Juli 2001.
Sekadar perbandingan, pelantikan Presiden Amerika Serikat (AS) sejak
1937 dilakukan pada tanggal 20 Januari. Hal ini didasarkan pada amandemen
ke-20 Konstitusi AS yang mengubah masa bakti presiden dan wakil presiden
sehingga dimulai pada tengah hari tanggal 20 Januari (“The terms of the
President and Vice President shall end at noon on the 20th day of
January,…”). Sebelumnya, pelantikan dilakukan pada tanggal 4 Maret, yang
dilakukan mulai 1789 hingga 1937.
Presiden yang pertama kali dilantik pada tanggal 20 Januari adalah
Frankin D Roosevelt pada pelantikan keduanya pada tahun 1937. Roosevelt
menjadi presiden AS dalam kurun 1933-1945 dan tercatat dalam sejarah sebagai
satu-satunya presiden yang terpilih empat kali berturut-turut. Roosevelt
merupakan presiden AS ke-32. Pembatasan masa jabatan presiden di AS berlaku
setelah Roosevelt tidak lagi menjabat melalui amandemen ke-22 Konstitusi AS
tahun 1947.
Kini Jokowilah yang akan dilantik pada tanggal keramat 20 Oktober.
Berbagai persiapan telah dilakukan untuk menyambut tanggal pelantikan tersebut.
Institusi-institusi yang terlibat, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah berkoordinasi.
Massa yang dikoordinasi Abdee Slank juga telah menyiapkan pesta rakyat
di Monumen Nasional (Monas) pada hari yang sama. Direncanakan Jokowi akan
hadir di Monas setelah pelantikan di MPR. Ketua-ketua lembaga negara yang
baru: Ketua MPR Zulkifli Hassan, Ketua DPR Setya Novanto, dan Ketua DPD Irman
Gusman telah bertemu dengan Jokowi pada hari Jumat (10/10/2014), dan siap
untuk menyukseskan pelantikan. Komitmen ini sekaligus meredakan spekulasi
yang menyebutkan ada skenario untuk menghambat pelantikan Jokowi.
Panglima TNI Jenderal Moeldoko pun menjamin pelantikan Jokowi akan
berlangsung aman dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan (detik.com,
12/10/2014). Semoga pelantikan berlangsung secara mulus bagi sang Presiden
ke-7 dalam sejarah republik ini.
Cukup
Satu-satu
Kendati semuanya tampak akan berjalan normal, tidak ada salahnya
bersiap bagi situasi yang terburuk (ready for the worst situation) agar kita
tidak kaget begitu ada kejadian-kejadian luar biasa yang menghambat
pelantikan Jokowi-JK.
Pasal 9 Ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945 menyatakan, “Sebelum
memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama,
atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat…” Lalu, Pasal 9 Ayat (2) memberikan
pengecualian bahwa “Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah
menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan
Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah
Agung.”
Dari ketentuan tersebut jelaslah bahwa langkah pertama adalah
pengucapan sumpah atau janji di hadapan MPR. Sidang MPR tersebut haruslah
tidak mensyaratkan kuorum karena sidang tidak mengambil keputusan. Jika MPR
tidak dapat bersidang, misalnya karena semua anggota DPD memboikot
persidangan, pelantikan dapat dilakukan di hadapan DPR. Sidang DPR pun
seharusnya tidak mensyaratkan kuorum karena memang tidak mengambil keputusan.
Namun, bisa saja DPR pun tidak mampu bersidang, misalnya karena gedung
DPR diduduki oleh massa sehingga sidang tidak dapat digelar. Dalam kondisi
yang demikian, Pasal 9 Ayat (2) yang merupakan hasil Perubahan Pertama UUD
1945 menegaskan cukup sumpah atau janji tersebut diucapkan di depan pimpinan
MPR dengan disaksikan oleh pimpinan MA.
Munculnya ketentuan Pasal 9 Ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945
dilatarbelakangi oleh pengunduran diri Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei
1998. Pidato pengunduran diri tersebut diucapkan Presiden Soeharto di Istana
Negara secara sepihak (deklaratif). Setelah Presiden Soeharto mengundurkan
diri, Wakil Presiden Habibie kemudian dilantik menjadi Presiden RI ke-3
sesuai dengan mekanisme konstitusional bahwa, “Jika Presiden mangkat,
berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia
digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa waktunya.” (Pasal 8 UUD 1945
sebelum amandemen).
Pengunduran diri Presiden Soeharto secara sepihak dan dilantiknya
Habibie sebagai Presiden di Istana Negara sempat mengundang pro dan kontra
terhadap keabsahan tindakan ketatanegaraan tersebut. Sebab, UUD 1945 tidak
mengatur tentang pengucapan sumpah Presiden tidak di sidang MPR atau sidang
DPR. Kondisi itulah yang kemudian mengilhami adanya ketentuan Pasal 9 Ayat
(2) Perubahan Pertama UUD 1945 yang menyatakan pengucapan sumpah bisa
dilakukan di depan pimpinan MPR dengan disaksikan pimpinan MA.
Konstitusi telah mengatur skenario pelantikan presiden terpilih hingga
tiga lapis. Pertanyaan menggodanya lagi, bila harus sampai pada lapis ketiga,
berapa sebenarnya jumlah pimpinan MPR yang disyaratkan hadir. Misalnya, saat
ini karena pimpinan MPR dikuasai oleh KMP, mayoritas mereka tidak hadir atau
memboikot pelantikan Jokowi. Dalam kondisi yang demikian saya menyatakan
bahwa satu pimpinan MPR pun hadir maka pelantikan tetap sah. Yang paling
penting adalah Jokowi mengucapkan sumpah karena sumpah itulah yang menjadi
penanda dimulainya masa jabatan kepresidenan Jokowi.
Perlu digarisbawahi, melantik presiden terpilih adalah tugas atau
kewajiban konstitusional MPR. Anggota atau pimpinan MPR yang tidak hadir
dalam pelantikan sesungguhnya telah melalaikan tugas atau kewajiban
konstitusional mereka. Ketidakhadiran mereka itu tidak boleh menyebabkan
batalnya pelantikan sepanjang masih ada pimpinan MPR yang hadir.
Kalau akhirnya ternyata tidak ada satu pun pimpinan hadir dalam
pelantikan presiden terpilih, maka sesungguhnya negara sudah dalam keadaan
darurat. Kondisi seperti ini rawan dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan
bersenjata untuk tergoda merebut kekuasaan. Mudah-mudahan skenario terburuk
ini tidak terjadi dan pelantikan Jokowi-JK berjalan lancar. Masih banyak
pekerjaan rumah bangsa ini dari sekadar mengganggu pelantikan Jokowi-JK.
Hanya orang yang kurang kerjaan dan tidak bertanggung jawab yang mau
melakukan hal memalukan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar