Pembubaran
MK atau Parpol?
Henrykus Sihaloho ; Dosen pada Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara, Medan; Pernah
menjadi Tenaga Ahli DPR RI dan Staf Ahli DPD RI
|
DETIKNEWS,
13 Oktober 2014
Bukan belakangan ini saja wacana pembubaran Mahkamah Konstitusi (MK)
bergulir. Awal Desember tahun lalu, Rhoma Irama pernah melontarkannya. Saat
menjadi pembicara dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Fraksi PKB MPR RI
di Ruang Nusantara V Gedung MPR, Senayan, Jakarta pada 2 Desember 2013 Rhoma
Irama mengusulkan pembubaran MK.
Hari-hari ini muncul wacana untuk kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 Sebelum Perubahan (Sebelum Amandemen). Bila kita kembali ke UUD 1945
yang ditetapkan 18 Agustus 1945 tersebut, kita tidak hanya secara otomatis
membubarkan MK, tetapi juga mencabut daulat rakyat untuk memilih presiden
langsung.
Tidak hanya itu, bila UUD 1945 sebelum amandemen berlaku, pemakzulan
Presiden akan dilakukan dengan mudah lantaran MK tidak ada lagi, anggaran
pendidikan tidak harus minimal 20% dari APBN dan APBD, DPD bubar dengan
sendirinya, Komisi Yudisial (KY) mati mendadak, pekerjaan KPU, KPUD, Bawaslu,
dan Panwaslu tidak akan bersinggungan lagi dengan pemilihan presiden dan
kepala daerah.
Patut diketahui, MK bukan sekadar penjaga konstitusi saja, tetapi juga
pelindung hak konstitusional warga negara dan pelindung hak asasi manusia
(HAM). Karena itu, jika kita kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen,
partisipasi rakyat, lantaran dianggap bodoh, tidak dianggap penting;
demokrasi hanya bermakna untuk rakyat, sedangkan dari rakyat kurang penting,
dan oleh rakyat tidak perlu sama sekali.
Terutama untuk rakyat kecil dan kaum periferi, akan terjadi hal-hal
yang jauh lebih buruk lagi, antara lain:
1) sebagai dampak dari ketiadaan Pasal 28A-28J UUD 1945 setelah
perubahan, negara tidak wajib lagi memberi jaminan kesehatan dan
kesejahteraan melalui BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan (kedua BPJS ini
akan tinggal nama saja), negara akan membubarkan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komnas Perempuan, dan
lain-lain;
2) sebagai dampak dari pengurangan anggaran pendidikan, negara akan
mencabut tunjangan sertifikasi guru dan dosen, dana bantuan operasional
sekolah tidak akan ada lagi, dan beasiswa kaum duafa mungkin hanya tinggal
cerita;
3) kalaupun KPK masih ada, lembaga anti rasuah ini akan menjadi macan
ompong dan tanpa kuku lantaran sejumlah kewenangannya akan dipreteli,
termasuk kewenangan menyadap karena dianggap melanggar HAM (memang masih
mungkin kewenangan ini tetap ada, tetapi KPK dapat melakukannya setelah
mendapat izin pengadilan).
Namun semua malapetaka yang akan terjadi itu bisa dicegah dengan mudah
apabila rakyat bahu-membahu dengan MK dan pemerintah membubarkan partai
(-partai) yang berniat buruk tersebut. Dengan demikian, rakyat dengan bantuan
MK dan pemerintah harus bertindak lebih dulu, tidak kalah cepat dari mereka.
Rakyat membutuhkan MK dan pemerintah karena MK satu-satunya lembaga
yang berwewenang membubarkan parpol (berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945)
dan pemerintah menjadi satu-satunya lembaga yang berhak mengajukan permohonan
pembubaran parpol (Pasal 68 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 tentang MK).
Pasal 68 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 menyebutkan bahwa MK dapat
membubarkan sebuah parpol bila ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan
parpol yang bersangkutan dianggap bertentangan dengan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya, menurut Pasal 2 huruf b Peraturan MK No.
12 Tahun 2008, MK bisa membubarkan parpol bila kegiatan parpol yang
bersangkutan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Tentu saja, tanpa perlu diperdebatkan lagi, yang dimaksud dengan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut adalah UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Sesudah Perubahan.
Menurut hemat Penulis, pemerintah sebagai pemohon pembubaran sebuah
parpol lebih mudah bila memakai alasan pembubaran berdasarkan Pasal 2 huruf a
Peraturan MK No. 12 Tahun 2008 ketimbang Pasal 2 huruf b Peraturan MK No. 12
Tahun 2008. Dengan memakai Pasal 2 huruf a Peraturan MK No. 12 Tahun 2008
(yang bermakna sama dengan Pasal 68 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang
MK), pemerintah dapat mengajukan pembubaran sebuah parpol dengan hanya
melihat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya.
Pertanyaan besarnya kemudian: bila sebuah parpol dalam anggaran dasarnya
menyebut misinya adalah “mempertahankan kedaulatan dan tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945” apakah partai tersebut bisa dianggap
melanggar Pasal 68 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003?
Kita bisa mengetahui jawabannya dari putusan MK terhadap permohonan
pemerintah tentang pembubaran sebuah parpol yang pada awal berdirinya hingga
kini berasaskan Pancasila dan UUD 1945 Sebelum Perubahan. Membaca misi partai
seperti di atas, bisa dipastikan partai ini tidak menghendaki keberadaan MK,
KY, DPD, dan tegaknya kedaulatan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar