Selasa, 07 Oktober 2014

Sejarah Telah Mencatat

Sejarah Telah Mencatat

M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  04 Oktober 2014




Dan kita di sini bertanya:
Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?
Kita ini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat
pembebasan, ataukah menjadi alat penindasan?

(WS Rendra di UI, 1977, penggalan ”Sajak Pertemuan Mahasiswa”)


KETIKA rakyat Norwegia berjuang melawan invasi Jerman pada era 1940-an, politikus Partai Nasjonal Samling, Vidkun Abraham Lauritz Jonssøn Quisling (1887-1945), justru memalingkan wajah. Quisling malah merebut tampuk kekuasaan negeri itu (1942-1945) sebagai menteri presiden dengan cara memilih menjadi kolaborator Nazi. Namun, pasca Perang Dunia II, Quisling diadili. Dia dinyatakan bersalah. Pada 24 Oktober 1945, di loji Akershus, Oslo, Quisling dieksekusi. Sejak itu, kata quisling bermakna ’pengkhianatan’. Itulah warisan (legacy) terburuk seorang politikus. Sejarah telah mencatatnya.

Dan, ketika rakyat Indonesia menginginkan pemilihan kepala daerah langsung, politikus di DPR juga berpaling. Mereka menutup telinga, enggan mendengar suara rakyat. Mereka lebih mengikuti bisikan hati mereka sendiri yang haus kuasa dan dendam. Itulah legacy anggota DPR periode 2009-2014, yang meninggalkan utang legislasi yang tak pernah mencapai target. Dalih atas nama rakyat sulit dipahami karena rakyat justru menginginkan pilkada langsung. Contoh, survei Lingkaran Survei Indonesia (5-7 September 2014) menunjukkan, 81,25 persen rakyat masih setuju pilkada langsung. Hanya 10,71 persen rakyat yang setuju pilkada oleh DPRD.

Bahkan, kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia juga turun ke jalan menolak pilkada di DPRD. Rakyat berkehendak, tetapi wakil rakyat menelikungnya. ”Maksud baik saudara untuk siapa? Saudara berdiri di pihak yang mana?” teriak Rendra, ”Si Burung Merak”. Sungguh menyakitkan!

Rakyat pun tahu partai-partai yang merampas kedaulatan rakyat: Gerindra, Golkar, PKS, PAN, dan PPP, yang tergabung dalam koalisi pendukung Prabowo-Hatta yang kalah dalam pemilihan langsung pilpres Juli 2014. Dan, Demokrat bikin gaduh setelah memilih walk out dari ruang sidang paripurna, Jumat (26/9) dini hari lalu. Kalau gara-gara 10 syarat Demokrat tak diakomodasi dalam RUU Pilkada, rasanya tidak sampai hatilah mengorbankan rakyat. Saat dibutuhkan rakyat, Demokrat malah kabur dari arena pertempuran (tinggal glanggang colong playu).

Padahal, sebelumnya, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, yang sekaligus presiden dan kepala negara, memberi sinyal jelas akan berpihak kepada rakyat. Bahkan, hal itu diikuti pernyataan Ketua Harian Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan bahwa Demokrat setuju pilkada langsung. Namun, seperti lantunan penyanyi lawas Hetty Koes Endang, ”tapi janji tinggal janji di bibirmu”. Kata anak muda sekarang, PHP (pemberi harapan palsu).

Untunglah ada enam politikus Demokrat yang memilih bertahan di ruang sidang paripurna. Begitu juga 11 politikus Golkar yang melawan partainya. Dan, tiga partai: PDI-P, PKB, dan Hanura, yang tergabung dalam koalisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tetap berkomitmen mempertahankan pilkada langsung. Selebihnya adalah para politikus yang bisa jadi akan selalu diingat sebagai perampas kedaulatan rakyat.

Kontan saja SBY yang tengah berkunjung ke luar negeri ”diadili”, terutama di media sosial. SBY kecewa dan berjanji akan berjuang sekuat tenaga bersama rakyat. Mengapa kesempatan di depan mata pada Jumat dini hari itu tak digunakan? Memang, dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), SBY ingin meninggalkan legacy sebagai penyelamat demokrasi langsung. Namun, itu mungkin sesaat. Perppu akan menjadi ”bom waktu” bagi pemerintahan Jokowi-JK yang dilantik pada 20 Oktober 2014. Perppu bisa menjadi bulan-bulanan di DPR nanti karena saat ini parlemen dikuasai koalisi anti pilkada langsung. Itu legacy lain.

Apakah pilkada langsung terlalu boros sehingga banyak kepala daerah terjerat korupsi? Tidak selalu demikian. Ingat, selama ini, dana politik lebih banyak untuk kepentingan calon demi merebut kekuasaan, bukan untuk publik, seperti fasilitas umum atau fasilitas sosial. Kerap kali terdengar kisah satire bahwa begitu kalah dalam pilkada, apa yang telah diberikan justru diambil kembali. Tentu saja demokrasi membutuhkan biaya. Yang salah adalah memanfaatkan demokrasi dengan cara mengeruk uang rakyat untuk diri sendiri guna memburu kekuasaan.

Simak saja perdebatan soal peran rakyat dalam demokrasi antara jurnalis Walter Lippmann (1889-1974) dan filsuf John Dewey (1859-1952) pada dekade 1920-an. Lippmann sangat pesimistis. Demokrasi dinilai cacat, bisa terdistorsi, dan tak lengkap. Ini karena demokrasi diperantarai media. Rakyat tak bisa memahami demokrasi. Namun, Dewey mendebat: tujuan demokrasi bukan mengatur urusan publik secara efisien. Tujuan demokrasi adalah mengembangkan potensi rakyat, kebebasan manusia. Demokrasi adalah cara, bukan hasil. Berdemokrasi bukanlah menyerah pada kekurangan, melainkan berikhtiar untuk memperbaiki kekurangannya. ”Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan, ataukah menjadi alat penindasan?” kata Rendra.

Kegaduhan politik di negeri ini sepertinya akan terus melelahkan. Di Senayan, baru hari pertama saja anggota baru DPR periode 2014-2019 diambil sumpah, ricuhnya bukan main. Benar kata Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), DPR kayak TK. Komunikasi politik para politikus payah. Terlebih lagi jika aspek transaksional yang menjadi basis komunikasi itu. Ternyata rivalitas pilpres belum selesai juga. Saat pimpinan baru DPR terpilih, rakyat pun kembali geram. Sebab, ada nama yang selama ini berurusan dengan KPK.

Adalah bencana jika reformasi dan demokrasi yang dibangun susah payah oleh rakyat ini dikuasai politikus berwatak homo homini lupus (bak serigala yang memakan kawan sendiri), menyingkirkan politikus berwatak homo homini socius (menganggap semua manusia sebagai kawan). Tak salah untuk mengingatkan lagi pesan Khalifah Ali bin Abi Thalib (600-661) yang saya kutip dalam kolom pada Januari lalu: ”Pengkhianatan terbesar adalah pengkhianatan terhadap umat (rakyat), dan penipuan paling kejam dilakukan para pemimpin”. Maka, jangan salahkan rakyat mencari caranya sendiri. Sebab, satu-satunya ”kemewahan” yang dimiliki langsung rakyat, itu pun digunakan lima tahun sekali, engkau rampas pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar