Sejarah
Telah Mencatat
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
04 Oktober 2014
Dan kita
di sini bertanya:
Maksud
baik saudara untuk siapa?
Saudara
berdiri di pihak yang mana?
Kita ini
dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu
yang diajarkan di sini akan menjadi alat
pembebasan,
ataukah menjadi alat penindasan?
(WS Rendra di
UI, 1977, penggalan ”Sajak Pertemuan
Mahasiswa”)
KETIKA rakyat Norwegia berjuang melawan invasi Jerman pada era 1940-an,
politikus Partai Nasjonal Samling, Vidkun Abraham Lauritz Jonssøn Quisling
(1887-1945), justru memalingkan wajah. Quisling malah merebut tampuk
kekuasaan negeri itu (1942-1945) sebagai menteri presiden dengan cara memilih
menjadi kolaborator Nazi. Namun, pasca Perang Dunia II, Quisling diadili. Dia
dinyatakan bersalah. Pada 24 Oktober 1945, di loji Akershus, Oslo, Quisling
dieksekusi. Sejak itu, kata quisling bermakna ’pengkhianatan’. Itulah warisan
(legacy) terburuk seorang
politikus. Sejarah telah mencatatnya.
Dan, ketika rakyat Indonesia menginginkan pemilihan kepala daerah
langsung, politikus di DPR juga berpaling. Mereka menutup telinga, enggan
mendengar suara rakyat. Mereka lebih mengikuti bisikan hati mereka sendiri
yang haus kuasa dan dendam. Itulah legacy anggota DPR periode 2009-2014, yang
meninggalkan utang legislasi yang tak pernah mencapai target. Dalih atas nama
rakyat sulit dipahami karena rakyat justru menginginkan pilkada langsung.
Contoh, survei Lingkaran Survei Indonesia (5-7 September 2014) menunjukkan,
81,25 persen rakyat masih setuju pilkada langsung. Hanya 10,71 persen rakyat
yang setuju pilkada oleh DPRD.
Bahkan, kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kota
Seluruh Indonesia dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia juga
turun ke jalan menolak pilkada di DPRD. Rakyat berkehendak, tetapi wakil
rakyat menelikungnya. ”Maksud baik saudara untuk siapa? Saudara berdiri di
pihak yang mana?” teriak Rendra, ”Si Burung Merak”. Sungguh menyakitkan!
Rakyat pun tahu partai-partai yang merampas kedaulatan rakyat:
Gerindra, Golkar, PKS, PAN, dan PPP, yang tergabung dalam koalisi pendukung
Prabowo-Hatta yang kalah dalam pemilihan langsung pilpres Juli 2014. Dan,
Demokrat bikin gaduh setelah memilih walk
out dari ruang sidang paripurna, Jumat (26/9) dini hari lalu. Kalau
gara-gara 10 syarat Demokrat tak diakomodasi dalam RUU Pilkada, rasanya tidak
sampai hatilah mengorbankan rakyat. Saat dibutuhkan rakyat, Demokrat malah
kabur dari arena pertempuran (tinggal
glanggang colong playu).
Padahal, sebelumnya, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang
Yudhoyono, yang sekaligus presiden dan kepala negara, memberi sinyal jelas
akan berpihak kepada rakyat. Bahkan, hal itu diikuti pernyataan Ketua Harian
Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan bahwa Demokrat setuju pilkada langsung.
Namun, seperti lantunan penyanyi lawas Hetty Koes Endang, ”tapi janji tinggal janji di bibirmu”.
Kata anak muda sekarang, PHP (pemberi
harapan palsu).
Untunglah ada enam politikus Demokrat yang memilih bertahan di ruang
sidang paripurna. Begitu juga 11 politikus Golkar yang melawan partainya.
Dan, tiga partai: PDI-P, PKB, dan Hanura, yang tergabung dalam koalisi
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tetap berkomitmen mempertahankan pilkada
langsung. Selebihnya adalah para politikus yang bisa jadi akan selalu diingat
sebagai perampas kedaulatan rakyat.
Kontan saja SBY yang tengah berkunjung ke luar negeri ”diadili”,
terutama di media sosial. SBY kecewa dan berjanji akan berjuang sekuat tenaga
bersama rakyat. Mengapa kesempatan di depan mata pada Jumat dini hari itu tak
digunakan? Memang, dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu), SBY ingin meninggalkan legacy sebagai penyelamat demokrasi
langsung. Namun, itu mungkin sesaat. Perppu akan menjadi ”bom waktu” bagi
pemerintahan Jokowi-JK yang dilantik pada 20 Oktober 2014. Perppu bisa
menjadi bulan-bulanan di DPR nanti karena saat ini parlemen dikuasai koalisi
anti pilkada langsung. Itu legacy lain.
Apakah pilkada langsung terlalu boros sehingga banyak kepala daerah
terjerat korupsi? Tidak selalu demikian. Ingat, selama ini, dana politik
lebih banyak untuk kepentingan calon demi merebut kekuasaan, bukan untuk
publik, seperti fasilitas umum atau fasilitas sosial. Kerap kali terdengar kisah
satire bahwa begitu kalah dalam pilkada, apa yang telah diberikan justru
diambil kembali. Tentu saja demokrasi membutuhkan biaya. Yang salah adalah
memanfaatkan demokrasi dengan cara mengeruk uang rakyat untuk diri sendiri
guna memburu kekuasaan.
Simak saja perdebatan soal peran rakyat dalam demokrasi antara jurnalis
Walter Lippmann (1889-1974) dan filsuf John Dewey (1859-1952) pada dekade
1920-an. Lippmann sangat pesimistis. Demokrasi dinilai cacat, bisa
terdistorsi, dan tak lengkap. Ini karena demokrasi diperantarai media. Rakyat
tak bisa memahami demokrasi. Namun, Dewey mendebat: tujuan demokrasi bukan
mengatur urusan publik secara efisien. Tujuan demokrasi adalah mengembangkan
potensi rakyat, kebebasan manusia. Demokrasi adalah cara, bukan hasil.
Berdemokrasi bukanlah menyerah pada kekurangan, melainkan berikhtiar untuk
memperbaiki kekurangannya. ”Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi
alat pembebasan, ataukah menjadi alat penindasan?” kata Rendra.
Kegaduhan politik di negeri ini sepertinya akan terus melelahkan. Di
Senayan, baru hari pertama saja anggota baru DPR periode 2014-2019 diambil
sumpah, ricuhnya bukan main. Benar kata Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
DPR kayak TK. Komunikasi politik para politikus payah. Terlebih lagi jika aspek
transaksional yang menjadi basis komunikasi itu. Ternyata rivalitas pilpres
belum selesai juga. Saat pimpinan baru DPR terpilih, rakyat pun kembali
geram. Sebab, ada nama yang selama ini berurusan dengan KPK.
Adalah bencana jika reformasi dan demokrasi yang dibangun susah payah
oleh rakyat ini dikuasai politikus berwatak homo homini lupus (bak serigala yang memakan kawan sendiri),
menyingkirkan politikus berwatak homo
homini socius (menganggap semua manusia sebagai kawan). Tak salah untuk
mengingatkan lagi pesan Khalifah Ali bin Abi Thalib (600-661) yang saya kutip
dalam kolom pada Januari lalu: ”Pengkhianatan
terbesar adalah pengkhianatan terhadap umat (rakyat), dan penipuan paling
kejam dilakukan para pemimpin”. Maka, jangan salahkan rakyat mencari caranya
sendiri. Sebab, satu-satunya ”kemewahan”
yang dimiliki langsung rakyat, itu pun digunakan lima tahun sekali, engkau
rampas pula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar