Nasib
Perppu SBY
Refly Harun ; Pengajar dan Praktisi Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
09 Oktober 2014
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa jadi kaget dua kali. Kaget pertama,
reaksi masyarakat terhadap kekalahan opsi pilkada langsung melawan pilkada
oleh DPRD, 26 September 2014, ternyata lebih banyak tertuju kepada Presiden
yang sedang berada di negeri orang sebagai muhibah terakhir kepresidenannya.
Pemicunya,
tidak lain, aksi walk out kapal
besar Fraksi Demokrat dalam Sidang Paripurna DPR. Gara-gara aksi walk out tersebut, opsi pilkada
langsung kalah dan opsi pilkada oleh DPRD menang. Untuk menambal kemarahan
tersebut, dan karena SBY sendiri menurut pengakuannya pro pilkada langsung,
dikeluarkanlah Perppu Nomor 1 Tahun 2014 (Perppu Pilkada).
SBY juga
mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 yang menghapuskan kewenangan DPRD
untuk memilih kepala daerah. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 menghapus UU Nomor 22
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang lahir dari
rahim paripurna DPR tanggal 26 September.
Dengan
lahirnya kedua perppu tersebut, rontok semua upaya untuk mengembalikan
pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Rekrutmen kepala daerah tetap akan
dilakukan secara langsung. Dalam bagian menimbang perppu dinyatakan antara
lain bahwa UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur mekanisme pemilihan kepala
daerah secara tidak langsung melalui DPRD telah mendapatkan penolakan yang
luas oleh rakyat..
Tidak Luas
Setelah
dikeluarkannya perppu, Presiden SBY tampaknya juga kembali terkejut. Perppu
nyatanya tidak mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Beberapa komponen
masyarakat terus saja menyuarakan penolakan RUU Pilkada, padahal sudah
menjadi UU Pilkada (UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota). Ada juga yang menyerukan penolakan UU Pilkada, padahal
sudah tidak berlaku lagi dengan adanya Perppu Pilkada.
Jadi,
apa yang ditolak oleh masyarakat? Macam-macam jawabannya. Bisa jadi yang
ditolak adalah SBY sendiri. Apa pun yang dilakukan SBY saat ini agaknya
selalu menjadi serba salah karena luka besar yang disebabkan 'sandiwara'
Fraksi Demokrat dalam Sidang Paripurna 26 September. Masyarakat menganggap
aksi walk out tersebut atas perintah atau paling tidak sepengetahuan SBY.
Penolakan berikutnya karena perppu masih harus mendapatkan persetujuan DPR.
Bila ditolak, perppu akan gugur dan pilkada oleh DPRD akan hidup kembali.
Untuk
yang terakhir ini, saya pun awalnya berpendapat demikian. Bila Perppu Nomor 1
Tahun 2014 tidak mendapatkan persetujuan DPR maka UU Nomor 22 Tahun 2014 (UU
Pilkada) yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan hidup kembali.
Logikanya sederhana, perppu tersebut mencabut UU Pilkada, maka ketika
pencabutnya dicabut, perppu itu hidup kembali.
Namun,
saya membaca juga pendapat Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Mahfud
MD yang menyatakan bahwa bila Perppu dicabut akan terjadi kekosongan hukum
aturan mengenai pilkada di tingkat undang-undang. Setelah merenung-renung,
saya bisa menerima pendapat Prof. Mahfud tersebut. Alasannya, UU Pilkada
sudah dicabut oleh Perppu Pilkada. Pencabutan tersebut berlaku seketika saat
perppu dikeluarkan.
Kalaupun
perppu kemudian ditolak DPR, tidak berarti apa yang sudah dicabut itu hidup
kembali. Sebab, penolakan tersebut tidak membuat semua tindakan yang terjadi
saat perppu diterbitkan hingga (seandainya) ditolak DPR menjadi batal. Yang
terjadi adalah perppu gagal naik kelas menjadi undang-undang sehingga daya
berlaku aturan tersebut hanya ketika masih menjadi perppu. Sebagai perppu,
aturan tersebut telah berlaku dan pemberlakuannya telah mencabut UU Pilkada.
Mungkin
bahasa yang paling gampang ilustrasi berikut ini, A dibunuh oleh B, lalu B
dibunuh oleh C. Setelah B terbunuh oleh C tidak berarti A lantas hidup
kembali, kecuali bila cerita tentang A, B dan C adalah dongeng tentang
kesaktian seseorang yang akan menghidupkan kembali korbannya seandainya orang
sakti tersebut dibasmi atau dimusnahkan.
Perppu MK
Dalam
konteks ini penting juga dicatat putusan MK yang membatalkan UU Nomor 4 Tahun
2014 di awal tahun ini. UU Nomor 4 Tahun 2014 berasal dari Perppu
Penyelamatan MK yang banyak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat setelah
Ketua MK Akil Mochtar tertangkap pada tanggal 2 Oktober 2013 malam – tanggal
yang sama dikeluarkannya Perppu Pilkada setahun kemudian.
Perppu
Penyelamatan MK mencabut beberapa ketentuan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang MK, yang telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011. Perppu tersebut
lalu disetujui DPR meskipun harus menempuh mekanisme voting terlebih dulu.
Sayangnya, setelah disetujui DPR, perppu tersebut malah dibatalkan MK ketika
sekelompok pengacara mengajukan pengujian ke lembaga pengawal konstitusi
tersebut. Dalam putusannya, selain membatalkan UU Nomor 4 Tahun 2014, MK juga
menghidupkan kembali ketentuan yang telah dicabut Perppu Penyelamatan MK.
Dalam
konteks putusan MK, tidak terjadi kekosongan hukum karena putusan MK secara
eksplisit 'menghidupkan' kembali pasal-pasal yang sudah dicabut oleh perppu.
Hal ini bisa terjadi karena ada putusan pengadilan (MK) yang bersifat otonom,
tidak digantungkan pada kesediaan atau kemauan lembaga lain. Namun, dalam
konteks Perppu Pilkada, DPR tidak bisa serta merta menghidupkan kembali
undang-undang yang dicabut karena hal tersebut harus memerlukan persetujuan
Presiden terlebih dulu selain persetujuan internal DPR sendiri.
Dukung Perppu (?)
Dengan
teori tentang kekosongan hukum tersebut, hikayat pilkada kembali dipilih oleh
DPRD sesungguhnya sudah tamat. Andaipun perppu ditolak, dan memang masih
besar peluangnya untuk ditolak karena koalisi penentang pilkada langsung
masih lebih banyak jumlahnya di DPR periode 2014-2019, UU Pilkada tidak
otomatis hidup kembali. Bisa hidup kembali andai disetujui lagi dalam rapat
paripurna DPR baru. Namun, persetujuan tersebut harus mengikutkan Presiden
sesuai mekanisme Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945.
Caranya,
materi UU Nomor 22 Tahun 2014 diberlakukan sebagai RUU Pilkada, lalu dibahas
seadanya (karena pada dasarnya sudah dibahas DPR periode sebelumnya),
kemudian disetujui bersama DPR baru dan Presiden Jokowi melalui menteri yang
mewakilinya. Kalau mekanisme ini tercapai barulah pilkada tidak langsung itu
hidup lagi. Tapi, apa iya menteri Jokowi mau ikut menyetujui pilkada melalui
DPRD sebagaimana halnya Mendagri Gamawan Fauzi?
Dengan
penjelasan ini, saya berharap kawan-kawan yang berjuang bagi tegaknya
kedaulatan rakyat dalam berpilkada tidak perlu lagi menyuarakan penolakan
bagi RUU Pilkada atau UU Pilkada (oleh DPRD). Sebab, cerita tentang pilkada
oleh DPRD itu sudah mati sebelum berkembang.
Yang
sekarang perlu dilakukan adalah, membuat para wakil rakyat menerima Perppu
Pilkada. Sebab, kalau tidak, akan terjadi kekosongan hukum dalam pelaksanaan
pilkada di seluruh Indonesia. Bagi Presiden Jokowi, kekosongan hukum tersebut
tidak perlu dirisaukan karena bila kepala daerah sudah berakhir masa
jabatannya bisa diisi dengan birokrat-birokrat baik di pusat maupun di
daerah. Birokrat-birokrat tersebut tentu di bawah komando presiden. Jadi,
Presiden Jokowi yang akan diuntungkan.
Nah, mana yang mau dipilih, terima atau tolak Perppu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar