Politik
Sipil vs Konservatisme Politik
Rahmatul Ummah Assaury ; Komisioner KPU Metro,
Pegiat Majelis Kamisan Cangkir
|
SATU
HARAPAN, 08 Oktober 2014
Sebuah
negeri bisa menciptakan demokrasi politik dalam tempo 6 bulan, dan bisa membangun ekonomi pasar selama 6 tahun.
Tetapi tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat di Eropa Timur butuh waktu 60
tahun.
Kalimat
Ralf Dahrendorf di atas mengingatkan kita, bahwa demokrasi dan tumbuhnya masyarakat
sipil yang kuat pada hakikatnya membutuhkan proses dan juga waktu. Ia tak
bisa lahir simsalabim.
Pilkada
langsung di Indonesia baru dimulai pertengahan tahun 2005. Hajat demokrasi di tingkat lokal ini dalam
perjalanannya selalu menjadi perbincangan publik dan mendapatkan evaluasi.
Muai dari biaya penyelenggaraanya yang
dianggap mahal, hingga praktik politik uang yang menyertainya. Solusi pun
mengalir dari penelitian-penelitian, forum-forum diskusi sera berbagai ikhtiar serius senantiasa
dilakukan untuk mencari formula terbaik untuk masa depan demokrasi. Apa muara
dari semua itu tentu saja agar proses demokrasi yang salah satunya ditandai
dengan Pilkada langsung dapat berkontribusi pada penguatan demokrasi lokal.
Tak ada
yang membantah, bahwa Pilkada langsung memiliki berbagai soal yang harus
diperbaiki. Meski demikian, optimisme
untuk menemukan jalan keluar dari karut-marut persoalan Pilkada langsung
senantiasa ditujuan untuk memperkuat hak politik rakyat sipil, bukan justru
sebaliknya Singkatnya, kita butuh
waktu dan proses untuk membangun masyarakat sipil yang kuat dan berdaya.
Salah
satu jalan keluar yang diupayakan adalah pemberdayaan politik sipil. Upaya
pemberdayaan politik sejatinya ditujukan untuk mendorong transformasi politik
yang lebih humanistik, dengan masyarakat sebagai orientasinya. Pada
gilirannya pemberdayaan politik bukan lagi sekadar konsep yang didiskusikan.
melainkan berubah menjadi gerakan
kritis dan emansipatoris yang berpusat pada civil society.
Penulis
meyakini bahwa politik sipil bakal berubah secara linier, yaitu perubahan
yang selaras, serasi dan seimbang dari unsur masyarakat paling kecil sampai
ke perubahan masyarakat keseluruhan; dari tradisisonal menuju modern. Sebagaimana dikemukakan oleh Korten (1988),
paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagai obyek, melainkan
sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan
mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya.
Konsekuensi
pola pikir ini senantiasa mendorong politik yang berpusat pada rakyat dan
memberi tempat pada berbagai inisisatif lokal serta menumbuhkan inisiatif
komunitas‑komunitas yang mandiri. Model politik ini memiliki perbedaan
fundamental di dalam karakteristik dasarnya dibandingkan dengan strategi
politik konservatif, yang menjadikan elite sebagai pengendali utama politik
dan menempatkan rakyat sebagai obyek.
Dasar
interpretasi politik yang berpusat pada rakyat adalah asumsi bahwa manusia
adalah sasaran pokok dan strategis. Karena itu, politik juga
meliputi usaha terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensi manusia
serta mengerahkan minat mereka untuk ikut serta dalam proses pembuatan
keputusan tentang berbagai hal yang memiliki dampak bagi mereka. Politik
semacam ini mencoba mempromosikan kekuatan manusia, bukan mengabadikan ketergantungan yang
menciptakan hubungan antara birokrasi negara dengan masyarakat.
Proposisi
di atas mengindikasikan bahwa inti
dari politik yag berpusat pada rakyat adalah pemberdayaan (empowerment) yang mengarah pada
kemandirian masyarakat. Dalam konteks Pilkada langsung, dimensi partisipasi
masyarakat menjadi sangat penting. Melalui partisipasi, perjuangan dan
kemampuan masyarakat untuk membangkitkan partisipasi politik secara kolektif
akan semakin menguat. Tentu saja, partisipasi yang penulis maksudkan di sini
tidak hanya terbatas pada keterlibatan masyarakat dalam pemungutan suara di
TPS. Lebih jauh dari itu, partisipasi yang diharapkan adalah keterlibatan
masyarakat dalam pembuatan keputusan dan proses perencanaan pembangunan.
Dengan demikian pada giliranya masyarakat ditempatkan sebagai subyek utama
yang juga ikut mempengaruhi pembangunan paska Pemilu.
Konservatisme Politik
Berbeda
dengan pemberdayaan politik sipil, konservatisme adalah paham yang
menyatakan, bahwa yang terbaik yang bisa dilakukan seseorang adalah berpegang
pada tradisi yang telah terbukti berhasil di masa lalu. Tradisi tersebut bisa berupa tradisi agama, budaya, hingga
tradisi politik, yang dijadikan pedoman hidup. Pada alam pikir semacam ini,
perubahan tentu dimungkinkan sepanjang perubahan tersebut tidak bergerak
terlalu jauh dari tradisi yang ada.
Konservatisme
lebih dekat pada pemujaan nir sikap kritis pada tradisi yang ada. Pemikiran
utuh tentang konservatisme ini bisa dilacak dari tokoh-tokohnya, seperti
Richard Hooker, Edmund Burke dan Thomas Charlyle. Di dalam salah satu
perdebatan dua filsuf terkemuka Jerman abad 20, yakni Jurgen Habermas dan
Gadamer, lahirlah perbedaan tajam di dalam memahami tradisi. Bagi Gadamer yag
notabene seorang pakar hermeneutik, tradisi mengandung ajaran-ajaran
kebijaksanaan yang berguna untuk membimbing kita di masa sekarang. Sementara,
bagi Habermas, tradisi tidak hanya mengandung ajaran-ajaran kebijaksanaan,
tetapi juga penindasan tersembunyi terhadap kelompok yang lebih lemah,
seperti kaum perempuan dan kelompok minoritas. Maka, tradisi senantiasa harus
dipahami secara kritis.
Dalam
konteks politik Indonesia, politik konservatif menjadi menarik kembali untuk
diperbincangkan. Anis Matta , salah seorang pimpinan pertain yang tergabung
dalam Koalisi Merah Putih (KMP) mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok
konservatif. Sebaliknya ia menyebut
kelompok lawan koalisinya dengan sebutan liberal. “Kita menyaksikan
satu pembelahan ideologi politik, pembelahan ini antara konservatif dan
liberal. Kita ini Koalisi Merah Putih mewakili kaum konservatif, dan sebelah
sana kubu liberal,” begitulah penggalan pidato Anis Matta dalam acara
pembekalan anggota DPR terpilih (26/9) yang dihadiri pimpinan parpol KMP
paska pengesahan RUU Pilkada.
Entah
apa yang mendasari Anis Matta menegaskan identitas kelompok KMP dengan
ideologi konservatif? Namun, para penganut konservatisme harus belajar dari
dialektika yang dibangun oleh penggagas konservatisme dan para pengkritiknya,
bahwa tradisi selalu mengandung dua muka yang tidak selalu berjalan bersama,
yakni muka kebijaksanaan dan muka penindasan. Kesetiaan mutlak pada tradisi,
tanpa mengindahkan aspek-aspek penindasan di dalamnya sesungguhya aadalah
akar dari konservatisme.
Penulis
khahwatir politik keservatisme yang dikembangkan pada gilirannya bertujuan
untuk meminggirkan politik sipil dan kesadaran kritis warga yang tengah
bertumbuh. Politik konservatif bisa
berkembang menjadi kekerasan kultural, yakni kekerasan yang tertanam di dalam
cara pandang suatu kelompok tertentu kepada kelompok lainnya di masyarakat.
Tanpa sikap kritis, tradisi bisa berubah menjadi kebencian yang ditanamkan,
dan bahkan diturunkan, dari satu generasi ke generasi berikutnya di suatu
kelompok tertentu. Konservatisme bisa berkembang pula menjadi konflik massal
yang menghancurkan hidup banyak orang.
Berpegang
pada tradisi memang perlu. Akan tetapi, kita harus sadar, bahwa dunia dan
manusia senantiasa terus berubah. Tradisi juga harus terus dibaca dengan
cara-cara baru, sejalan dengan perubahan yang ada. Jika tidak, tradisi bisa
saja berubah menjadi alat legitimasi bagi upaya menjajah dan menindas
kehidupan manusia. Kesetiaan kaum konservatif pada tradisi mereka harus
memberi ruang kritis, sehingga tradisi bisa terus dijaga disatu sisi dan tetap berwajah manusiawi disisi
lainnya.
Rakyat tentu saja tidak
menginginkan UU Pilkada lahir karena dendam dan kebencian yang terus menerus
diwariskan. Di sisi lain sulit juga
untuk mempercayai bahwa setiap orang mengaku sedang memperjuangkan demokrasi
tapi pada saat yang sama ia meminggirkan bahkan menegasikan rakyat. Ke depan, apakah KMP sedang mempertegas
kebangkitan politik konservatif yang menindas? Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar