Senin, 20 Oktober 2014

Lampu-lampu Terang

Lampu-lampu Terang

Y Ari Nurcahyo  ;   Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS,  18 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


JOKOWI membuka harapan. Pertemuannya dengan pemimpin partai Koalisi Merah Putih otomatis membangkitkan optimisme. Langkah itu segera mencairkan kebekuan politik di antara dua kubu calon presiden dalam pilpres lalu. Rakyat melihat demokrasi kembali terang. Publik mengapresiasi langkah Jokowi melakukan silaturahim politik sebelum dirinya resmi dilantik sebagai presiden, 20 Oktober. Jokowi telah bertemu dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Setya Novanto, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Kekhawatiran publik akan terjadinya krisis politik pun menyusut. Optimisme pasar mulai menggeliat. Kini saatnya semua komponen bangsa bersatu. Ke depan semua pihak harus duduk bersama untuk membangun Republik. Siklus politik pada garis orbitnya tak pernah melanggengkan kawan atau lawan. Perbedaan dalam politik merupakan hal wajar dan sejatinya justru diperlukan demi menjaga diskursus dan perimbangan. Menjadi sayang apabila perbedaan itu menjurus kesesatan kelompok.

Oleh karena itu, keberadaan kelompok partai di Koalisi Merah Putih yang saat ini ”menguasai” parlemen dan barisan partai di Koalisi Indonesia Hebat yang ”memegang” pemerintahan harus dilihat sebagai manfaat daripada masalah. Eksistensi keduanya diyakini akan konstruktif terhadap kematangan berdemokrasi di Republik. It takes two to tango. Tidak ada tango jika hanya satu penari. Keduanya harus berpasangan. Keduanya dibutuhkan untuk menjamin eksistensi masing-masing, sebagai tandem atau memainkan peran oposisi. Relasi pemerintah dan parlemen yang seperti ini, selain akan lebih mengoptimalkan fungsi check and balances, fenomena divided government akan mengorbitkan eksekutif dan legislatif pada garis edar yang semestinya.

Rakyat menjadi pusat edarnya. Kehendak rakyat adalah matahari. Karena itu, Indonesia Raya harus dibangun di atas kehendak rakyat. Di sana Republik didirikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Melipat sinisme politik

Antara kebaikan dan keburukan dalam politik seperti dua helai benang yang beradu sisi. Saat memegang yang pertama di salah satu ujung sering kali kita dikecohkan oleh yang kedua di ujung lain. Oleh karena itu, politik sering mengecoh dan mengaburkan. Sepertinya dalam politik segala sesuatu dimaafkan terlebih dulu, dan karena itu secara sinis segala sesuatu lantas diperbolehkan. Politik tampak seperti medan gravitasi tanpa dosa.

Sinisme ini mengafirmasi semua simpang siur peristiwa politik di Senayan. Pembahasan tata tertib DPR, pengesahan UU MD3, pengesahan UU Pilkada lewat DPRD, pemilihan pimpinan DPR, dan pemilihan pimpinan MPR adalah saksi diam dari sinisme politik atas instrumentasi proses legislasi demi intensi waton sulaya (asal beda). Hal serupa dilakukan Presiden Yudhoyono dengan menerbitkan perppu untuk membatalkan UU Pilkada. Politik tiba-tiba memasuki lorong gelap karena meninggalkan kehendak rakyat.

Politik kehilangan pertanyaan soal nilai dan cita-cita. Namun, bagaimana politik bisa bernilai dan bercita-cita, sedangkan latihan politik adalah berpolitik itu sendiri? Jawabannya boleh jadi  sederhana: berpolitik adalah tentang cita-cita bernegara. Bernegara adalah obsesi setiap rakyat untuk tersenyum bahagia karena tercukupi pangan, sandang, dan papan. Untuk melipat sinisme politik, dalam berpolitik hendaknya cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Politik memang butuh kecerdikan manakala berpolitik menggunakan taktik, strategi, dan keterampilan teknis. Seperti ular, politik adalah seni bersiasat. Namun, politik juga butuh ketulusan seperti merpati sebab berpolitik harus mengedepankan moral demi meraih hikmat kebijaksanaan. Seperti merpati, politik sejatinya tindakan moral. Dalam risalah politik, Immanuel Kant menempatkan ketulusan/kebijaksanaan moral di atas kecerdikan siasat.

Jika sudah bisa demikian, politik tak mudah direduksi jadi perkara siapa dapat apa, di mana, kapan, dan bagaimana. Politik tak melulu dipakai untuk membahasakan kepentingan. Politik tak lagi merupakan sederet argumentasi yang disusun sekadar untuk melakukan klaim atau mempertahankan kepentingan kelompok. Politik kembali sebagai gagasan tentang cita-cita bernegara. Politik yang berdiri di atas kehendak rakyat.

Apa yang dinyatakan pemimpin Perancis, Charles de Gaulle, ”Politik adalah masalah yang terlalu serius untuk diserahkan kepada politisi”, pastinya benar. Politik yang tak meninggikan hikmat kebijaksanaan hanya akan melahirkan politisi cangkokan dan menjauhkan ladang benih negarawan. Banyak politisi negeri yang berhenti hanya jadi kunang-kunang. Serangga malam bercahaya ini menarik, tetapi tak bertahan lama karena selamanya mereka tak pernah jadi lampu. Hanya sedikit politisi yang bisa jadi lampu terang. Mereka setia menerangi kehendak rakyat dengan ketulusan bekerja. Mereka lampu-lampu terang pembawa kegembiraan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar