Lampu-lampu
Terang
Y Ari Nurcahyo ; Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
|
KOMPAS,
18 Oktober 2014
JOKOWI membuka harapan. Pertemuannya dengan pemimpin partai Koalisi Merah
Putih otomatis membangkitkan optimisme. Langkah itu segera mencairkan
kebekuan politik di antara dua kubu calon presiden dalam pilpres lalu. Rakyat
melihat demokrasi kembali terang. Publik mengapresiasi langkah Jokowi
melakukan silaturahim politik sebelum dirinya resmi dilantik sebagai
presiden, 20 Oktober. Jokowi telah bertemu dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan,
Ketua DPR Setya Novanto, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua Umum Partai Golkar
Aburizal Bakrie, dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Kekhawatiran publik akan terjadinya krisis politik pun menyusut.
Optimisme pasar mulai menggeliat. Kini saatnya semua komponen bangsa bersatu.
Ke depan semua pihak harus duduk bersama untuk membangun Republik. Siklus
politik pada garis orbitnya tak pernah melanggengkan kawan atau lawan.
Perbedaan dalam politik merupakan hal wajar dan sejatinya justru diperlukan
demi menjaga diskursus dan perimbangan. Menjadi sayang apabila perbedaan itu
menjurus kesesatan kelompok.
Oleh karena itu, keberadaan kelompok partai di Koalisi Merah Putih yang
saat ini ”menguasai” parlemen dan barisan partai di Koalisi Indonesia Hebat
yang ”memegang” pemerintahan harus dilihat sebagai manfaat daripada masalah.
Eksistensi keduanya diyakini akan konstruktif terhadap kematangan
berdemokrasi di Republik. It takes two to tango. Tidak ada tango jika hanya
satu penari. Keduanya harus berpasangan. Keduanya dibutuhkan untuk menjamin
eksistensi masing-masing, sebagai tandem atau memainkan peran oposisi. Relasi
pemerintah dan parlemen yang seperti ini, selain akan lebih mengoptimalkan
fungsi check and balances, fenomena
divided government akan
mengorbitkan eksekutif dan legislatif pada garis edar yang semestinya.
Rakyat menjadi pusat edarnya. Kehendak rakyat adalah matahari. Karena
itu, Indonesia Raya harus dibangun di atas kehendak rakyat. Di sana Republik
didirikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Melipat
sinisme politik
Antara kebaikan dan keburukan dalam politik seperti dua helai benang
yang beradu sisi. Saat memegang yang pertama di salah satu ujung sering kali
kita dikecohkan oleh yang kedua di ujung lain. Oleh karena itu, politik
sering mengecoh dan mengaburkan. Sepertinya dalam politik segala sesuatu
dimaafkan terlebih dulu, dan karena itu secara sinis segala sesuatu lantas
diperbolehkan. Politik tampak seperti medan gravitasi tanpa dosa.
Sinisme ini mengafirmasi semua simpang siur peristiwa politik di
Senayan. Pembahasan tata tertib DPR, pengesahan UU MD3, pengesahan UU Pilkada
lewat DPRD, pemilihan pimpinan DPR, dan pemilihan pimpinan MPR adalah saksi
diam dari sinisme politik atas instrumentasi proses legislasi demi intensi waton sulaya (asal beda). Hal serupa
dilakukan Presiden Yudhoyono dengan menerbitkan perppu untuk membatalkan UU
Pilkada. Politik tiba-tiba memasuki lorong gelap karena meninggalkan kehendak
rakyat.
Politik kehilangan pertanyaan soal nilai dan cita-cita. Namun,
bagaimana politik bisa bernilai dan bercita-cita, sedangkan latihan politik
adalah berpolitik itu sendiri? Jawabannya boleh jadi sederhana: berpolitik adalah tentang
cita-cita bernegara. Bernegara adalah obsesi setiap rakyat untuk tersenyum bahagia
karena tercukupi pangan, sandang, dan papan. Untuk melipat sinisme politik,
dalam berpolitik hendaknya cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.
Politik memang butuh kecerdikan manakala berpolitik menggunakan taktik,
strategi, dan keterampilan teknis. Seperti ular, politik adalah seni
bersiasat. Namun, politik juga butuh ketulusan seperti merpati sebab
berpolitik harus mengedepankan moral demi meraih hikmat kebijaksanaan.
Seperti merpati, politik sejatinya tindakan moral. Dalam risalah politik, Immanuel
Kant menempatkan ketulusan/kebijaksanaan moral di atas kecerdikan siasat.
Jika sudah bisa demikian, politik tak mudah direduksi jadi perkara
siapa dapat apa, di mana, kapan, dan bagaimana. Politik tak melulu dipakai
untuk membahasakan kepentingan. Politik tak lagi merupakan sederet
argumentasi yang disusun sekadar untuk melakukan klaim atau mempertahankan
kepentingan kelompok. Politik kembali sebagai gagasan tentang cita-cita
bernegara. Politik yang berdiri di atas kehendak rakyat.
Apa yang dinyatakan pemimpin Perancis, Charles de Gaulle, ”Politik adalah masalah yang terlalu
serius untuk diserahkan kepada politisi”, pastinya benar. Politik yang
tak meninggikan hikmat kebijaksanaan hanya akan melahirkan politisi cangkokan
dan menjauhkan ladang benih negarawan. Banyak politisi negeri yang berhenti
hanya jadi kunang-kunang. Serangga malam bercahaya ini menarik, tetapi tak
bertahan lama karena selamanya mereka tak pernah jadi lampu. Hanya sedikit
politisi yang bisa jadi lampu terang. Mereka setia menerangi kehendak rakyat
dengan ketulusan bekerja. Mereka lampu-lampu terang pembawa kegembiraan
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar