Senin, 20 Oktober 2014

Pekerjaan Rumah Pendidikan Dasar

Pekerjaan Rumah Pendidikan Dasar

Syamsul Rizal  ;   Guru Besar Universitas Syiah Kuala
KOMPAS,  18 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


MEDIA massa elektronik dan cetak sudah berulang kali mempertontonkan bagaimana sebagian murid sekolah dasar dan menengah begitu sulit mencapai sekolah mereka. Ada yang melewati jembatan gantung bergoyang-goyang penuh bahaya. Dalam satu siaran TV, seperti pemain sirkus, anak kecil lelaki dan perempuan berseragam SD berdasi berlambangkan Tut Wuri Handayani itu menyeberangi jembatan gantung. Entah apa yang menyambut anak-anak kecil itu di bawah andai terjatuh. Bisa jadi gundukan batu besar, air dangkal, atau batu kerikil yang segera mematikan mereka yang terjatuh. Bisa pula kayu tajam keras seperti bambu runcing, alat yang dulu pernah dipakai nenek moyang kita yang gagah berani mengusir penjajah.

Dalam suatu foto di Kompas (13 November 2012), kita pernah disajikan bagaimana tiga murid SD yang ingin mencapai sekolah harus melewati sungai yang arusnya deras dan sangat membahayakan. Saya yakin sekali, tak ada seorang pun penyelenggara negara yang ingin anak kandungnya mendapat perlakuan seperti itu. Karena ini menyangkut anak orang lain, persoalan ini jadi tidak penting. Saya berpendapat, beginilah cara sebagian penyelenggara negara kita bersikap: kalau mereka merasa anggota badan mereka, badan istrinya, badan anak kandungnya, atau badan saudara dekatnya terasa sakit karena suatu persoalan, mereka akan berusaha sekuat tenaga menyelesaikan persoalan itu. Kalau menyangkut persoalan anggota badan orang lain, para penyelenggara negara—kalau bisa—akan menghindar menyelesaikan masalah itu.

Bisa jadi, sebagian penyelenggara negara kita akan beranggapan bahwa itu bagian dari lelucon yang harus dinikmati menghadapi kepenatan hidup sehari-hari, atau outlier in statistics yang tak mesti dijadikan pikiran betul. Untuk apa negara Republik Indonesia didirikan? Sudah jelas: untuk memakmurkan lahir dan batin seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Faktanya, pendidikan dasar dan menengah sangat variatif sekali mutunya. Di sini anak yang kebetulan dilahirkan dari rahim ibu yang miskin dan terpencil bernasib naik jembatan gantung atau siap diterjang arus sungai yang deras untuk sekadar menikmati pendidikan ala kadarnya.

Kalau dilahirkan dari rahim ibu yang kaya, apalagi dari rahim istri penyelenggara negara, seorang anak bisa masuk ke sekolah hebat dan unggul atau bahkan bisa menikmati pendidikannya di luar negeri. Asupan gizi dan jaminan kesehatan bagi anak itu pun dijamin akan aman. Bahkan, anak yang lahir dari rahim orang pilihan ini pun bisa dapat tambahan pelajaran secara privat.

Mengadu anak

Setelah itu apa yang kita lakukan? Kita mengadu mereka dalam suatu event bernama ujian nasional. Kita mau tahu: apakah anak yang lahir dari rahim perempuan menderita akan sama atau tidak prestasinya dengan anak yang lahir dari rahim perempuan kaya dan berpunya? Kita mau tahu: apakah kualitas pendidikan dasar (ujian nasionalnya sudah dihapus) dan menengah di daerah terpencil bisa menyaingi kualitas pendidikan dasar dan menengah di kota besar atau tidak?

Tingkat kesulitan soal ujian nasional yang diberikan pun bukan biasa-biasa saja, tetapi sangat tinggi. Anehnya, anak-anak di sekolah terpencil bisa lulus di atas 90 persen, bahkan bisa mencapai 100 persen. Sulit dipercaya.

Namun, akal sehat atau sakit menjadi tidak penting betul. Yang penting adalah anak-anak (baik yang kaya maupun yang menderita) hampir semuanya lulus. Akibatnya, seluruh penyelenggara pendidikan (guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan kabupaten/kota dan provinsi, bupati/wali kota, gubernur, mendikbud, presiden) merasa puas. Demikian juga anak-anak yang dievaluasi, orangtua anak-anak, hampir semua merasa puas. Kalau semua sudah puas, apa lagi yang kita cari? Bukankah hakikat hidup ini pada dasarnya mencari kepuasan?

Ini artinya kita semua sepakat: mutu pendidikan dasar dan menengah di seluruh Indonesia sudah hebat dan stabil. Karena semuanya sudah hebat, apa perlunya kita harus memperbaiki kualitas pendidikan dasar dan menengah di daerah terpencil? Apa perlunya kita harus mempertanyakan infrastruktur pendidikan dasar dan menengah? Apa perlunya kita harus mempertanyakan jembatan gantung dan sungai deras yang siap memangsa anak-anak yang tak berdosa itu? Bukankah anak-anak miskin, terpencil, dan lahir dari rahim ibu yang tak berpunya itu mampu menyejajarkan diri dengan anak-anak dari kota besar?

Kita seperti terhipnosis dan tak serius bertanya lagi: apa betul anak-anak kita lulus hampir 100 persen secara halal? Apa betul mereka bisa menjawab soal-soal yang teramat sulit, bahkan untuk anak-anak pandai di perkotaan sekalipun? Saya tak ingin mengklaim bahwa sudah terjadi kebocoran soal secara terstruktur, sistemik, dan masif. 

Persoalan ini harus diuji dan ditelusuri secara serius. Kalau tidak, kita telah membangun sistem evaluasi pendidikan dasar dan menengah yang sangat berbahaya dan menyesatkan. Kita bisa salah mengantisipasi: kita pikir anak-anak miskin dan terpencil itu sudah pandai sekali dan sanggup menyaingi anak-anak di perkotaan. Padahal, belum tentu. Akibat pikiran seperti inilah saya menduga Kurikulum 2013 dilahirkan. Karena mendikbud merasa semua sekolah dasar dan menengah di seluruh Indonesia sudah sedemikian tinggi mutunya, muncullah ide kreatif mendikbud dan seluruh jajarannya memberlakukan Kurikulum 2013 secara ngotot.

Evaluasi cepat dan murah

Pemerintah baru ke depan harus segera mengevaluasi kembali kualitas pendidikan dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Supaya cepat, murah, efisien, dan tepat sasaran, evaluasinya  cukup hanya mengambil sampel di semua provinsi di seluruh Indonesia. Jika perlu, pengawas yang direkrut adalah pemuda-pemuda tangguh penuh idealisme sehingga saat menuju ke sekolah terpencil, mereka bisa juga melewati jembatan gantung bergoyang-goyang dan arus sungai deras.

Sampel yang diperlukan untuk mengevaluasi SD, SMP, dan SMU di kota dan tempat terpencil ini tak perlu banyak sekali. Asal bisa mewakili populasi. Yang penting, soal yang dievaluasi tidak bocor dan tingkat kesulitan soal didesain sehingga sama tingkat kesulitannya dengan soal ujian nasional yang lalu. Pada saat evaluasi, para pemuda tangguh itu pun mencatat, memotret, dan melaporkan perjalanannya selama di sekolah: bagaimana infrastruktur menuju sekolah, gedung sekolah, perpustakaannya, toiletnya, lapangan olahraganya, dan ketersediaan gurunya.

Operasi dalam rangka evaluasi lengkap ini perlu dilakukan secara diam-diam. Ini diperlukan agar soal yang diujikan tak bocor dan sekolah perlu tampil apa adanya, tanpa lipstik. Dari hasil silent operation ini, presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadikan dasar mengambil kebijakan pada sekolah dasar dan menengah. Kalau dari hasil silent operation ini ternyata sebagian besar sekolah gagal meluluskan muridnya, kita tidak ragu-ragu lagi menolak Kurikulum 2013 dan menolak ujian nasional di semua level.

Setelah itu Jokowi-JK perlu membereskan seluruh persoalan pendidikan dasar dan menengah yang rumit dan penting ini dengan sepenuh hati, seadil dan serasional mungkin. Kalian harus menganggap semua siswa di seluruh penjuru Nusantara seperti anak-anak kandung kalian sendiri. Mereka sangat butuh kasih sayang dan perlindungan kalian berdua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar