Pekerjaan
Rumah Pendidikan Dasar
Syamsul Rizal ; Guru Besar Universitas Syiah Kuala
|
KOMPAS,
18 Oktober 2014
MEDIA massa elektronik dan cetak sudah berulang kali mempertontonkan
bagaimana sebagian murid sekolah dasar dan menengah begitu sulit mencapai
sekolah mereka. Ada yang melewati jembatan gantung bergoyang-goyang penuh
bahaya. Dalam satu siaran TV, seperti pemain sirkus, anak kecil lelaki dan
perempuan berseragam SD berdasi berlambangkan Tut Wuri Handayani itu
menyeberangi jembatan gantung. Entah apa yang menyambut anak-anak kecil itu
di bawah andai terjatuh. Bisa jadi gundukan batu besar, air dangkal, atau
batu kerikil yang segera mematikan mereka yang terjatuh. Bisa pula kayu tajam
keras seperti bambu runcing, alat yang dulu pernah dipakai nenek moyang kita
yang gagah berani mengusir penjajah.
Dalam suatu foto di Kompas (13 November 2012), kita pernah disajikan
bagaimana tiga murid SD yang ingin mencapai sekolah harus melewati sungai
yang arusnya deras dan sangat membahayakan. Saya yakin sekali, tak ada
seorang pun penyelenggara negara yang ingin anak kandungnya mendapat
perlakuan seperti itu. Karena ini menyangkut anak orang lain, persoalan ini
jadi tidak penting. Saya berpendapat, beginilah cara sebagian penyelenggara
negara kita bersikap: kalau mereka merasa anggota badan mereka, badan
istrinya, badan anak kandungnya, atau badan saudara dekatnya terasa sakit
karena suatu persoalan, mereka akan berusaha sekuat tenaga menyelesaikan
persoalan itu. Kalau menyangkut persoalan anggota badan orang lain, para
penyelenggara negara—kalau bisa—akan menghindar menyelesaikan masalah itu.
Bisa jadi, sebagian penyelenggara negara kita akan beranggapan bahwa
itu bagian dari lelucon yang harus dinikmati menghadapi kepenatan hidup
sehari-hari, atau outlier in statistics yang tak mesti dijadikan pikiran
betul. Untuk apa negara Republik Indonesia didirikan? Sudah jelas: untuk
memakmurkan lahir dan batin seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu.
Faktanya, pendidikan dasar dan menengah sangat variatif sekali mutunya. Di
sini anak yang kebetulan dilahirkan dari rahim ibu yang miskin dan terpencil
bernasib naik jembatan gantung atau siap diterjang arus sungai yang deras
untuk sekadar menikmati pendidikan ala kadarnya.
Kalau dilahirkan dari rahim ibu yang kaya, apalagi dari rahim istri
penyelenggara negara, seorang anak bisa masuk ke sekolah hebat dan unggul
atau bahkan bisa menikmati pendidikannya di luar negeri. Asupan gizi dan
jaminan kesehatan bagi anak itu pun dijamin akan aman. Bahkan, anak yang
lahir dari rahim orang pilihan ini pun bisa dapat tambahan pelajaran secara
privat.
Mengadu
anak
Setelah itu apa yang kita lakukan? Kita mengadu mereka dalam suatu
event bernama ujian nasional. Kita mau tahu: apakah anak yang lahir dari
rahim perempuan menderita akan sama atau tidak prestasinya dengan anak yang
lahir dari rahim perempuan kaya dan berpunya? Kita mau tahu: apakah kualitas
pendidikan dasar (ujian nasionalnya sudah dihapus) dan menengah di daerah
terpencil bisa menyaingi kualitas pendidikan dasar dan menengah di kota besar
atau tidak?
Tingkat kesulitan soal ujian nasional yang diberikan pun bukan
biasa-biasa saja, tetapi sangat tinggi. Anehnya, anak-anak di sekolah
terpencil bisa lulus di atas 90 persen, bahkan bisa mencapai 100 persen.
Sulit dipercaya.
Namun, akal sehat atau sakit menjadi tidak penting betul. Yang penting
adalah anak-anak (baik yang kaya maupun yang menderita) hampir semuanya
lulus. Akibatnya, seluruh penyelenggara pendidikan (guru, kepala sekolah,
kepala dinas pendidikan kabupaten/kota dan provinsi, bupati/wali kota,
gubernur, mendikbud, presiden) merasa puas. Demikian juga anak-anak yang
dievaluasi, orangtua anak-anak, hampir semua merasa puas. Kalau semua sudah puas,
apa lagi yang kita cari? Bukankah hakikat hidup ini pada dasarnya mencari
kepuasan?
Ini artinya kita semua sepakat: mutu pendidikan dasar dan menengah di
seluruh Indonesia sudah hebat dan stabil. Karena semuanya sudah hebat, apa
perlunya kita harus memperbaiki kualitas pendidikan dasar dan menengah di
daerah terpencil? Apa perlunya kita harus mempertanyakan infrastruktur
pendidikan dasar dan menengah? Apa perlunya kita harus mempertanyakan
jembatan gantung dan sungai deras yang siap memangsa anak-anak yang tak
berdosa itu? Bukankah anak-anak miskin, terpencil, dan lahir dari rahim ibu
yang tak berpunya itu mampu menyejajarkan diri dengan anak-anak dari kota
besar?
Kita seperti terhipnosis dan tak serius bertanya lagi: apa betul
anak-anak kita lulus hampir 100 persen secara halal? Apa betul mereka bisa
menjawab soal-soal yang teramat sulit, bahkan untuk anak-anak pandai di
perkotaan sekalipun? Saya tak ingin mengklaim bahwa sudah terjadi kebocoran
soal secara terstruktur, sistemik, dan masif.
Persoalan ini harus diuji dan ditelusuri secara serius. Kalau tidak,
kita telah membangun sistem evaluasi pendidikan dasar dan menengah yang
sangat berbahaya dan menyesatkan. Kita bisa salah mengantisipasi: kita pikir
anak-anak miskin dan terpencil itu sudah pandai sekali dan sanggup menyaingi
anak-anak di perkotaan. Padahal, belum tentu. Akibat pikiran seperti inilah
saya menduga Kurikulum 2013 dilahirkan. Karena mendikbud merasa semua sekolah
dasar dan menengah di seluruh Indonesia sudah sedemikian tinggi mutunya,
muncullah ide kreatif mendikbud dan seluruh jajarannya memberlakukan
Kurikulum 2013 secara ngotot.
Evaluasi
cepat dan murah
Pemerintah baru ke depan harus segera mengevaluasi kembali kualitas
pendidikan dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Supaya cepat, murah,
efisien, dan tepat sasaran, evaluasinya
cukup hanya mengambil sampel di semua provinsi di seluruh Indonesia.
Jika perlu, pengawas yang direkrut adalah pemuda-pemuda tangguh penuh
idealisme sehingga saat menuju ke sekolah terpencil, mereka bisa juga
melewati jembatan gantung bergoyang-goyang dan arus sungai deras.
Sampel yang diperlukan untuk mengevaluasi SD, SMP, dan SMU di kota dan
tempat terpencil ini tak perlu banyak sekali. Asal bisa mewakili populasi.
Yang penting, soal yang dievaluasi tidak bocor dan tingkat kesulitan soal
didesain sehingga sama tingkat kesulitannya dengan soal ujian nasional yang
lalu. Pada saat evaluasi, para pemuda tangguh itu pun mencatat, memotret, dan
melaporkan perjalanannya selama di sekolah: bagaimana infrastruktur menuju
sekolah, gedung sekolah, perpustakaannya, toiletnya, lapangan olahraganya,
dan ketersediaan gurunya.
Operasi dalam rangka evaluasi lengkap ini perlu dilakukan secara
diam-diam. Ini diperlukan agar soal yang diujikan tak bocor dan sekolah perlu
tampil apa adanya, tanpa lipstik. Dari hasil silent operation ini, presiden
dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadikan dasar
mengambil kebijakan pada sekolah dasar dan menengah. Kalau dari hasil silent
operation ini ternyata sebagian besar sekolah gagal meluluskan muridnya, kita
tidak ragu-ragu lagi menolak Kurikulum 2013 dan menolak ujian nasional di
semua level.
Setelah itu Jokowi-JK perlu membereskan seluruh persoalan pendidikan
dasar dan menengah yang rumit dan penting ini dengan sepenuh hati, seadil dan
serasional mungkin. Kalian harus menganggap semua siswa di seluruh penjuru
Nusantara seperti anak-anak kandung kalian sendiri. Mereka sangat butuh kasih
sayang dan perlindungan kalian berdua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar