Jumat
(Benar-benar) Keramat
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 18 Oktober 2014
Selama ini, kita dikenalkan dengan sebutan “Jumat Keramat” karena
Komisi Pemberantasan Korupsi sering melakukan penahanan pada hari Jumat.
Sebutan itu tak sepenuhnya salah-salah banget, namun pemahaman makna keramat
agak bergeser. Keramat seperti sama maknanya dengan angker, dengan sangar,
dengan menakutkan, mengancam.
Padahal, arti kata keramat tidak senegatif itu. Bahkan, boleh dikatakan
mengandung nilai positif. Keramat itu ada unsur suci dan bertuah. Memberi
efek magis dan psikologis, tentang barang atau sesuatu. Saya mau memaknai
pertemuan presiden terpilih, Jokowi, dengan Prabowo Subianto dengan istilah
itu.
Kedua nama ini sempat membelah masyarakat dalam dua kubu sejak
pemilihan presiden lalu. Kubu Indonesia Hebat dan Kubu Merah Putih, yang
seolah—atau sebenarnya , tak kunjung selesai. Suasana yang panas semakin
bertambah dan gerah karenanya.
Bukan hanya nilai saham dan atau indeks atau kurs dollar yang melemah,
namun pembicaraan resmi atau tak resmi masih penuh otot dan wajah geram.
Seakan permusuhan terus bersambung, jegal-menjegal akan berlangsung. Dan
tiba-tiba saja, Jumat kemarin, Jokowi-Prabowo bertemu, berjabat tangan,
saling memberi hormat dengan gaya militer dan membungkuk. Oh lega. O, ada
kedamaian.
Keduanya saling menghormati, saling mempatriotkan satu sama lain, dalam
artian mementingkan bangsa dan negara. Pandangan dan pilihan tetap berbeda,
namun ujungujungnya masih bisa berpegang pada akar yang sama.
Saya tak begitu paham politik, tapi menyaksikan adegan di layar kaca,
dan terutama di radio karena saat kejadian masih di jalan, dan kemudian ada
di koran-koran, rasanya ada kelegaan. Ada suasana lain yang mencair dan bukan
ketegangan yang demikian keras, seolah tali merenggang dan tinggal putusnya.
Jumat kemarin mengisyaratkan lain. Mengisyaratkan bahwa elite politik, para
pimpinan sebenarnya bisa menunjukkan rasa sayang dan perhatian kepada rakyat.
Bahwa mereka tak sepenuhnya mau meninggalkan rakyat.
Sekurangnya mereka mengetahui cara untuk tidak lebih membuat masyarakat
bingung dan meneruskan permusuhan. Memang masih ada partai yang bermuktamar
di dua tempat berbeda, memang masih ada kelompok yang melakukan ruwatan pada
tokoh politik karena dianggap perlu disehatkan, memang masih ada yang mencoba
meyakinkan diri menjadi penyeimbang dan belum menentukan sikap, memang masih
ada suara sumbang dan lantang, memang terasakan ancaman atau bahkan
peniadaan.
Masih ada. Namun, semua itu tidak menemukan eskalasinya, tidak
menemukan puncak penyatuan. Justru sebaliknya. Pertemuan atau “pelukan”
Jokowi-Prabowo, atau juga sebelumnya Jokowi-ARB, atau akan disusul lagi
dengan tokoh siapa lagi, membuktikan bahwa para pemimpin dan yang dipimpin
belum sepenuhnya harus berseberangan. Jumat Keramat (17/10), bisa menjadi
pertanda, bisa dilirik kembali bahwa sesungguhnya kebersamaan yang bernama
Indonesia tak pernah hilang sama sekali.
Bahwa di atas segala ego, segala nafsu, segala syahwat berkuasa, ada
yang lebih dahsyat, yaitu sejahtera bersama rakyat. Harapan kembali tumbuh,
bahwa pengertian Jumat Keramat bukan hanya karena seorang tokoh ditahan oleh
KPK, melainkan karena hari Jumat membuahkan efek magis dan psikologis. Yang
baik dan benar. Yang dibutuhkan negeri ini. Saya suka istilah ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar