Senin, 20 Oktober 2014

Jumat (Benar-benar) Keramat

Jumat (Benar-benar) Keramat

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN JAKARTA,  18 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Selama ini, kita dikenalkan dengan sebutan “Jumat Keramat” karena Komisi Pemberantasan Korupsi sering melakukan penahanan pada hari Jumat. Sebutan itu tak sepenuhnya salah-salah banget, namun pemahaman makna keramat agak bergeser. Keramat seperti sama maknanya dengan angker, dengan sangar, dengan menakutkan, mengancam.

Padahal, arti kata keramat tidak senegatif itu. Bahkan, boleh dikatakan mengandung nilai positif. Keramat itu ada unsur suci dan bertuah. Memberi efek magis dan psikologis, tentang barang atau sesuatu. Saya mau memaknai pertemuan presiden terpilih, Jokowi, dengan Prabowo Subianto dengan istilah itu.

Kedua nama ini sempat membelah masyarakat dalam dua kubu sejak pemilihan presiden lalu. Kubu Indonesia Hebat dan Kubu Merah Putih, yang seolah—atau sebenarnya , tak kunjung selesai. Suasana yang panas semakin bertambah dan gerah karenanya.

Bukan hanya nilai saham dan atau indeks atau kurs dollar yang melemah, namun pembicaraan resmi atau tak resmi masih penuh otot dan wajah geram. Seakan permusuhan terus bersambung, jegal-menjegal akan berlangsung. Dan tiba-tiba saja, Jumat kemarin, Jokowi-Prabowo bertemu, berjabat tangan, saling memberi hormat dengan gaya militer dan membungkuk. Oh lega. O, ada kedamaian.

Keduanya saling menghormati, saling mempatriotkan satu sama lain, dalam artian mementingkan bangsa dan negara. Pandangan dan pilihan tetap berbeda, namun ujungujungnya masih bisa berpegang pada akar yang sama.

Saya tak begitu paham politik, tapi menyaksikan adegan di layar kaca, dan terutama di radio karena saat kejadian masih di jalan, dan kemudian ada di koran-koran, rasanya ada kelegaan. Ada suasana lain yang mencair dan bukan ketegangan yang demikian keras, seolah tali merenggang dan tinggal putusnya. Jumat kemarin mengisyaratkan lain. Mengisyaratkan bahwa elite politik, para pimpinan sebenarnya bisa menunjukkan rasa sayang dan perhatian kepada rakyat. Bahwa mereka tak sepenuhnya mau meninggalkan rakyat.

Sekurangnya mereka mengetahui cara untuk tidak lebih membuat masyarakat bingung dan meneruskan permusuhan. Memang masih ada partai yang bermuktamar di dua tempat berbeda, memang masih ada kelompok yang melakukan ruwatan pada tokoh politik karena dianggap perlu disehatkan, memang masih ada yang mencoba meyakinkan diri menjadi penyeimbang dan belum menentukan sikap, memang masih ada suara sumbang dan lantang, memang terasakan ancaman atau bahkan peniadaan.

Masih ada. Namun, semua itu tidak menemukan eskalasinya, tidak menemukan puncak penyatuan. Justru sebaliknya. Pertemuan atau “pelukan” Jokowi-Prabowo, atau juga sebelumnya Jokowi-ARB, atau akan disusul lagi dengan tokoh siapa lagi, membuktikan bahwa para pemimpin dan yang dipimpin belum sepenuhnya harus berseberangan. Jumat Keramat (17/10), bisa menjadi pertanda, bisa dilirik kembali bahwa sesungguhnya kebersamaan yang bernama Indonesia tak pernah hilang sama sekali.

Bahwa di atas segala ego, segala nafsu, segala syahwat berkuasa, ada yang lebih dahsyat, yaitu sejahtera bersama rakyat. Harapan kembali tumbuh, bahwa pengertian Jumat Keramat bukan hanya karena seorang tokoh ditahan oleh KPK, melainkan karena hari Jumat membuahkan efek magis dan psikologis. Yang baik dan benar. Yang dibutuhkan negeri ini. Saya suka istilah ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar