Sabtu, 04 Oktober 2014

Kritik Kurban Aisyah

Kritik Kurban Aisyah

Mahmudi Asyari  ;   Peneliti dari International Conference on Islamic Scholar
 (ICIS) Jakarta
SUARA MERDEKA,  03 Oktober 2014




MEMBACA isi spanduk di sebuah tempat, di satu sisi saya melihat kreativitas pengurus lembaga yang selama ini menjadi pengumpul zakat untuk mendorong muslim antusias berkurban terkait dengan Idul Adha.

Teks spanduk tersebut memberi kesan bahwa bila berkurban (menyembelih hewan kurban) maka muslim bisa langsung mendapat ’’kendaraan’’ untuk masuk surga, lengkap dengan pemvisualisasiannya. Ajakan semacam itu berlebihan bila tak ingin dikatakan memanipulasi ajaran berkurban.

Andai benar, apa bedanya dari ajaran penebusan dosa yang selama ini dianggap tak masuk akal. Terlebih menurut seorang kawan yang aktif dalam politik kurban lewat lembaga tertentu, ketika disebarkan ke masyarakat yang disebutkan sangat membutuhkan, pendistribusian daging kurban dilabeli bendera partai politik. Berkurban memang ajaran mulia.

Tak salah banyak penjual hewan kurban mengutip hadis riwayat Aisyah ra yang menekankan keutamaan berkurban. Namun mereka dan kita juga perlu mengutip pendapat Aisyah ketika Beliau melihat ibadah itu telah beralih rupa jadi ’’lomba’’ pamer dan berbangga-bangga diri (al-tabahy) di sebagian kalangan muslim. Pada masa itu, Ummul Mukminin itu lebih suka bersedekah karena upaya tersebut lebih dibutuhkan sejumlah muslim.

Tak perlu bersusah-payah mencari pembenaran kritik Aisyah. Lihat saja kebiasaan sebagian penerima jatah daging hewan kurban? Sebagian besar, terutama di DKI Jakarta, tak ada yang langsung memasaknya karena para ’’penadah’’ sudah menunggu tak jauh dari tempat antrean daging hewan kurban.

Tapi boleh saja kita menentang pendapat Aisyah atau gagasan Prof Dr H Moh Atho’ Mudzhar tentang berkurban dengan uang, meskipun dalam realitasnya ada istilah kurban kalengan (daging yang tersaji dalam kemasan kaleng) yang bisa dikatakan mendekati gagasan guru besar tersebut. Namun lontaran pendapat Aisyah seharusnya membuat semua pihak mulai berpikir bahwa bagaimana seharusnya mereka yang saat ini antre jatah daging kurban kelak bisa juga berkurban.

Bagi mereka yang ’’biasa’’ berkurban, mari renungkan ungkapan kaidah fikih almutaíaadi afdhal min al-qashir, yang artinya sesuatu yang mempunyai spektrum lebih luas menjadi lebih utama ketimbang yang memiliki spektrum lebih terbatas. Artinya, kita perlu melihat bahwa hukum ibadah kurban adalah sunah, lalu kita bandingkan andai seseorang memberikan beasiswa kepada anak dari sejumlah keluarga tidak mampu.

Tindakan memberikan beasiswa kepada sejumlah orang tentu mempunyai spektrum lebih luas ketimbang membagikan ’’hanya’’ sekerat daging hewan kurban. Bahkan menurut salah seorang sahabat Nabi saw, bila hanya akan membagikan daging kenapa tidak membeli di pasar, lalu mengiris-irisnya dan membagi-bagikannya.

Dengan kata lain, Aisyah sebenarnya menghendaki supaya ajaran berkurban bisa bertransformasi jadi sebuah langkah pemberdayaan umat. Artinya, juga jangan sampai melenceng menjadi semata-mata praktik yang mempertontonkan kesenjangan antara kaya dan miskin, yang demi mewujudkan amaliah itu segala cara dilakukan, termasuk melalui arisan sekalipun.

Praktik seperti itu tentu bukan hikmah yang diharapkan dari ibadah kurban, karena hikmah yang sejatinya bermutasi berhenti di tataran semacam itu tentunya hanya akan melanggengkan pemandangan berbasis kesenjangan. Memang, sejumlah literalis menegaskan kurban harus dilakukan tiap saat mengingat perbuatan itu adalah syiíarkendati itu bisa saja menjadi dalih.

Dua Opsi

Lebih punya syi’ar yang mana opsi yang membiarkan antrean orang menunggu pembagian daging hewan kurban terus bertambah panjang tiap tahun atau opsi menguranginya tapi ke depan lebih banyak anggota masyarakat yang bisa menerima dampak positif dari transformasi amal ibadah itu.

Andai hikmah yang ingin dicapai sama dengan keinginan Aisyah maka muslim pasti memilih opsi kedua karena selain lebih baik, pilihan itu mempunyai spektrum lebih luas.

Maka dari itu, jangan jadikan ibadah yang bertujuan sangat mulia itu sekadar menjadi ’’hobi’’ mengingat hal itu tidak dikehendai oleh Aisyah. Sehubungan dengan itu pula, tidak terlalu sering berkurban tidaklah menjadikan seseorang kehilangan ’’tiket’’ masuk surga. Pasalnya, sesuai dengan ranahnya yang sunah, ada yang bisa dikatakan lebih sunah sebagaimana ditegaskan lewat hadis Nabi yang menegaskan, ’’tidaklah bisa dikatakan beriman apabila seseorang berkecukupan, sementara di sekitarnya ada orang yang masih berkesusahan.’’

Ada baiknya kita meresapi hikmah dari ibadah kurban supaya antusiasme yang sudah terbangun saat ini di samping tidak berubah menjadi praktik yang tidak disukai Aisyah, juga tidak dimanfaatkan oleh segolongan orang untuk memanipulasi citra kedermawan kelompok tertentu, atau bahkan demi kepentingan politik. Mari laksanakanlah kurban sembari berniat ’’tidak menambah jumlah kendaraan ke surga’’ tapi justru mentransformasikan hikmah ibadah itu supaya membuahkan amal yang berdampak sosial lebih luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar