Kritik
Kurban Aisyah
Mahmudi Asyari ; Peneliti dari International Conference on
Islamic Scholar
(ICIS) Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 03 Oktober 2014
MEMBACA isi spanduk di sebuah tempat, di satu sisi saya melihat
kreativitas pengurus lembaga yang selama ini menjadi pengumpul zakat untuk
mendorong muslim antusias berkurban terkait dengan Idul Adha.
Teks spanduk tersebut memberi kesan bahwa bila berkurban (menyembelih
hewan kurban) maka muslim bisa langsung mendapat ’’kendaraan’’ untuk masuk
surga, lengkap dengan pemvisualisasiannya. Ajakan semacam itu berlebihan bila
tak ingin dikatakan memanipulasi ajaran berkurban.
Andai benar, apa bedanya dari ajaran penebusan dosa yang selama ini
dianggap tak masuk akal. Terlebih menurut seorang kawan yang aktif dalam
politik kurban lewat lembaga tertentu, ketika disebarkan ke masyarakat yang
disebutkan sangat membutuhkan, pendistribusian daging kurban dilabeli bendera
partai politik. Berkurban memang ajaran mulia.
Tak salah banyak penjual hewan kurban mengutip hadis riwayat Aisyah ra
yang menekankan keutamaan berkurban. Namun mereka dan kita juga perlu
mengutip pendapat Aisyah ketika Beliau melihat ibadah itu telah beralih rupa
jadi ’’lomba’’ pamer dan berbangga-bangga diri (al-tabahy) di sebagian
kalangan muslim. Pada masa itu, Ummul Mukminin itu lebih suka bersedekah
karena upaya tersebut lebih dibutuhkan sejumlah muslim.
Tak perlu bersusah-payah mencari pembenaran kritik Aisyah. Lihat saja
kebiasaan sebagian penerima jatah daging hewan kurban? Sebagian besar,
terutama di DKI Jakarta, tak ada yang langsung memasaknya karena para
’’penadah’’ sudah menunggu tak jauh dari tempat antrean daging hewan kurban.
Tapi boleh saja kita menentang pendapat Aisyah atau gagasan Prof Dr H
Moh Atho’ Mudzhar tentang berkurban dengan uang, meskipun dalam realitasnya
ada istilah kurban kalengan (daging yang tersaji dalam kemasan kaleng) yang
bisa dikatakan mendekati gagasan guru besar tersebut. Namun lontaran pendapat
Aisyah seharusnya membuat semua pihak mulai berpikir bahwa bagaimana
seharusnya mereka yang saat ini antre jatah daging kurban kelak bisa juga
berkurban.
Bagi mereka yang ’’biasa’’ berkurban, mari renungkan ungkapan kaidah
fikih almutaíaadi afdhal min al-qashir, yang artinya sesuatu yang mempunyai
spektrum lebih luas menjadi lebih utama ketimbang yang memiliki spektrum
lebih terbatas. Artinya, kita perlu melihat bahwa hukum ibadah kurban adalah
sunah, lalu kita bandingkan andai seseorang memberikan beasiswa kepada anak
dari sejumlah keluarga tidak mampu.
Tindakan memberikan beasiswa kepada sejumlah orang tentu mempunyai
spektrum lebih luas ketimbang membagikan ’’hanya’’ sekerat daging hewan
kurban. Bahkan menurut salah seorang sahabat Nabi saw, bila hanya akan
membagikan daging kenapa tidak membeli di pasar, lalu mengiris-irisnya dan
membagi-bagikannya.
Dengan kata lain, Aisyah sebenarnya menghendaki supaya ajaran berkurban
bisa bertransformasi jadi sebuah langkah pemberdayaan umat. Artinya, juga
jangan sampai melenceng menjadi semata-mata praktik yang mempertontonkan
kesenjangan antara kaya dan miskin, yang demi mewujudkan amaliah itu segala
cara dilakukan, termasuk melalui arisan sekalipun.
Praktik seperti itu tentu bukan hikmah yang diharapkan dari ibadah
kurban, karena hikmah yang sejatinya bermutasi berhenti di tataran semacam
itu tentunya hanya akan melanggengkan pemandangan berbasis kesenjangan.
Memang, sejumlah literalis menegaskan kurban harus dilakukan tiap saat
mengingat perbuatan itu adalah syiíarkendati itu bisa saja menjadi dalih.
Dua
Opsi
Lebih punya syi’ar yang mana opsi yang membiarkan antrean orang
menunggu pembagian daging hewan kurban terus bertambah panjang tiap tahun
atau opsi menguranginya tapi ke depan lebih banyak anggota masyarakat yang
bisa menerima dampak positif dari transformasi amal ibadah itu.
Andai hikmah yang ingin dicapai sama dengan keinginan Aisyah maka
muslim pasti memilih opsi kedua karena selain lebih baik, pilihan itu
mempunyai spektrum lebih luas.
Maka dari itu, jangan jadikan ibadah yang bertujuan sangat mulia itu
sekadar menjadi ’’hobi’’ mengingat hal itu tidak dikehendai oleh Aisyah.
Sehubungan dengan itu pula, tidak terlalu sering berkurban tidaklah
menjadikan seseorang kehilangan ’’tiket’’ masuk surga. Pasalnya, sesuai
dengan ranahnya yang sunah, ada yang bisa dikatakan lebih sunah sebagaimana
ditegaskan lewat hadis Nabi yang menegaskan, ’’tidaklah bisa dikatakan beriman apabila seseorang berkecukupan,
sementara di sekitarnya ada orang yang masih berkesusahan.’’
Ada baiknya kita meresapi hikmah dari ibadah kurban supaya antusiasme
yang sudah terbangun saat ini di samping tidak berubah menjadi praktik yang
tidak disukai Aisyah, juga tidak dimanfaatkan oleh segolongan orang untuk
memanipulasi citra kedermawan kelompok tertentu, atau bahkan demi kepentingan
politik. Mari laksanakanlah kurban sembari berniat ’’tidak menambah jumlah kendaraan ke surga’’ tapi justru
mentransformasikan hikmah ibadah itu supaya membuahkan amal yang berdampak
sosial lebih luas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar