Golkar
dan Museum Soeharto
Muhidin M Dahlan ; Kerani @warungarsip
|
KORAN
TEMPO, 06 Oktober 2014
Jika
museum adalah ruang di mana ingatan diseleksi dari ribuan item peristiwa masa
silam, Golkar adalah item yang sangat tidak ingin diingat di Museum H.M.
Soeharto. Golkar, yang menjadi partai paling berkuasa selama tiga dekade
bersama naik pasang dan stabilnya Soeharto di takhta kepresidenan, menjadi
tak ubahnya-maaf--sebutir upil di bawah laci di museum yang dibuka untuk
publik pada akhir Agustus 2013 ini.
Alih-alih
Golkar, justru Museum H.M. Soeharto di Kemusuk, Sedayu, Bantul, ini
menempatkan PKI sebagai satu-satunya partai politik yang memberi latar dan
narasi besar bagi kejayaan Soeharto. PKI dan logonya palu arit, baik dalam
bentuk diorama maupun desain kliping koran di dinding museum biografi ini,
mendapat hampir 50 persen tempat. PKI menjadi pal dasar bagi sebuah loncatan
terbesar dalam sejarah politik hidupnya, dari seorang serdadu yang dibesarkan
dalam keluarga ulu-ulu di Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, menjadi penguasa yang
paling kuat di Asia Tenggara.
Masuklah
di beranda perpustakaan Museum H.M. Soeharto. Tak satu pun buku sejarah
Golkar Anda temukan di dalamnya. Selain enam jilid kronik prestasi
pembangunan, sejumlah biografi yang menjunjung nama dan prestasi pembangunan
Soeharto, 20 jilid buku kliping tentang lini masa pemerintahan Soeharto yang
terbit pada 2008, buku tentang PKI-lah yang menempati deretan terbanyak.
Bahkan lima jilid Sejarah PKI versi Angkatan Darat dalam cetak luks bisa
dibaca leluasa oleh semua umur.
Tentu
saja, buku-buku yang "membela" kiprah politik PKI, seperti karya Ruth
T. McVey Kemunculan Komunisme Indonesia
(2010), jangan harap ditemukan di beranda perpus museum ini. Tentu saja,
biografi-kritis Soeharto tak mendapatkan hak-tinggal seinci pun dalam rak
sepanjang 6 meter itu, seperti karya R.E. Elson Suharto: Sebuah Biografi Politik (2005), Richard Robison Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme
Indonesia (2012), dan Julie Southwood & Patrick Flanagan Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum &
Propaganda 1965-1981 (2013).
Belum
lagi videotron di bangunan limasan depan museum yang diputar berulang-ulang
sepanjang hari dan wajib ditonton ratusan pengunjung yang umumnya anak-anak
sekolah dari TK hingga SMA, yang isinya tentang "prestasi" Soeharto
menindak PKI dan menyelamatkan negara dari kekacauan. Di tayangan videotron
berdurasi 10 menit itu, tampak PKI adalah lawan kuat dan paling bajingan bagi
Soeharto di satu sisi, sementara di sisi lain menjadi "kawan
sepemundakan" dalam narasi panjat pinang politik. Darah anggota dan
simpatisan PKI menjadi semacam minyak pelicin yang dioleskan di batang pinang
untuk memberi tahu bergenerasi-generasi manusia Indonesia betapa pembangunan
diraih dengan susah-payah.
Golkar
di mata Soeharto, sebagaimana direpresentasikan museum ini, tak ubahnya
syarat formal belaka untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sistem politik di
Indonesia sudah sesuai dengan syarat-syarat minimal sebuah negara demokrasi.
"Pengorbanan" PKI yang tak bertara pada
pesta-darah 1965-1966 rupa-rupanya lebih pantas dirayakan dalam Museum H.M.
Soeharto ketimbang kehadiran artifisial Golkar dalam sejarah kepemimpinan
politik, sistem demokrasi Pancasila, dan derap ekonomi pembangunan Soeharto
selama tiga dekade. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar