Membebaskan
Koruptor
Oce Madril ; Anggota Staf Pengajar Fakultas Hukum UGM,
Direktur Advokasi Pusat Kajian
Antikorupsi FH UGM
|
KORAN
TEMPO, 06 Oktober 2014
Perlakuan
istimewa terhadap koruptor ternyata belum berakhir. Koruptor masih dapat
menikmati sejumlah kemudahan melalui instrumen kebijakan pemerintah.
Hukuman yang dijatuhkan oleh
pengadilan tidak lagi membuat takut, karena nanti dapat dikurangi oleh pemerintah,
melalui kebijakan remisi dan bebas bersyarat. Sebuah kebijakan yang
mencederai rasa keadilan masyarakat di tengah usaha memberantas korupsi dan
membuat jera koruptor yang telah merugikan negara. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama
pemerintahan SBY, tercatat ada 38 koruptor yang diberi pembebasan
bersyarat.
Padahal
pemerintah sebenarnya sudah memperketat pemberian remisi dan bebas bersyarat.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012. Bagi
terpidana korupsi, berlaku syarat khusus yang lebih ketat. Selain syarat
berkelakuan baik dan telah menjalani hukuman minimal dalam jangka waktu
tertentu, koruptor harus bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk
membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator) serta telah
membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Jika
dibandingkan dengan peraturan lama, PP No. 99/2012 telah mempersempit ruang
gerak koruptor untuk menikmati remisi dan pembebasan bersyarat. Dapat juga
diartikan bahwa hanya justice collaborator yang berhak atas fasilitas itu.
Remisi dan pembebasan bersyarat tidak hanya dimaknai sebagai hak narapidana,
tapi juga sebagai bentuk penghargaan dari negara bagi mereka yang telah
bekerja sama dengan penegak hukum
untuk membongkar sebuah kejahatan serius, seperti korupsi. Perlakuan istimewa
terhadap justice collaborator tidak hanya termaktub dalam PP, tapi Mahkamah
Agung (MA) juga mendukungnya melalui Surat Edaran MA No. 4 Tahun 2011 serta Peraturan
Bersama antara Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, kepolisian, KPK, serta
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Selain
syarat ketat, prosedur pemberian remisi/bebas bersyarat juga sangat ketat.
Tidak hanya menjadi kewenangan penuh Kementerian Hukum dan HAM, juga harus
mendapat rekomendasi dari penegak hukum, salah satunya KPK.
Persoalan
muncul manakala syarat dan prosedur yang ketat itu tidak dilaksanakan secara
konsisten oleh pemerintah. Inkonsistensi itu terlihat ketika Kementerian Hukum
dan HAM menerbitkan keputusan pembebasan bersyarat terhadap Hartati Murdaya
dan pemberian sejumlah remisi kepada koruptor yang jelas-jelas bukan justice collaborator, contohnya
Anggodo Widjojo yang sempat menggemparkan dunia hukum akibat ulahnya sebagai
makelar kasus. Mereka jelas tidak memenuhi syarat, dan KPK pun tidak
memberikan rekomendasi terhadapnya. Keputusan menteri tersebut mengandung
cacat yuridis karena tidak memenuhi syarat dan prosedur sebagaimana diatur
peraturan perundang-undangan.
Selain
cacat yuridis, keputusan itu beraroma koruptif. Khususnya dalam soal Hartati
Murdaya, ada perbenturan kepentingan di situ. Kita semua tahu bahwa Menteri
Hukum dan HAM merupakan petinggi Partai Demokrat, sementara Hartati Murdaya
merupakan mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat. Afiliasi politik yang
sama membuat kebijakan menteri ini berpotensi melanggar prinsip conflict of interest. Bahwa dalam
membuat keputusan, hendaknya seorang penyelenggara negara menghindari adanya
perbenturan kepentingan. Prinsip ini mestinya dijunjung tinggi oleh Menteri
Hukum dan HAM.
Kemudian,
sepertinya pemerintah sudah lupa ratio legis kenapa PP No. 99/2012 muncul.
Peraturan tersebut diterbitkan dengan pertimbangan utama untuk memenuhi rasa
keadilan masyarakat. Secara tegas dinyatakan di situ, pemerintah berpandangan
bahwa aturan lama belum mencerminkan seutuhnya rasa keadilan yang dirasakan
oleh masyarakat. Pendekatan inilah yang digunakan pemerintah. Dengan
demikian, tolok ukur penggunaan kewenangan pemberian remisi/bebas bersyarat
itu adalah "memperhatikan rasa keadilan masyarakat", bukan rasa
keadilan koruptor. Korupsi adalah kejahatan jabatan publik. Ada kepentingan
publik di situ, sehingga pemerintah tidak bisa seenaknya membuat kebijakan
yang dapat melanggar kepentingan publik.
Berharap
pemerintahan sekarang menganulir kebijakannya, sepertinya tidak mungkin.
Hukum saja dilanggar, apalagi imbauan dan kritik dari publik. Harapan kita
tertuju pada pemerintahan baru. Isu ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintah Jokowi. Komitmen politik presiden terpilih Jokowi bisa dilihat
dari kebijakannya perihal remisi dan pembebasan bersyarat untuk koruptor.
Tentu dimulai dari pemilihan Menteri Hukum dan HAM yang pro-pemberantasan
korupsi dan punya catatan integritas yang tidak diragukan.
Menteri Hukum dan HAM yang baru bisa me-review semua permohonan remisi dan pembebasan bersyarat, termasuk
me-review kebijakan bebas bersyarat
yang telah diambil. Keputusan yang mengandung cacat yuridis dan koruptif
harus dibatalkan. Kita butuh konsistensi pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar