Headphones
Antyo Rentjoko ; Bekas narablog
|
KORAN
TEMPO, 07 Oktober 2014
Kesehatan
telinga kaum muda Australia terancam karena clubbing, konser, dan...
headphones! Itulah laporan Australian Hearing, sebuah lembaga kesehatan
pendengaran, pada 2010. Dan, nun di Amerika, ada H.E.A.R. (Hearing Education
and Awareness for Rockers, Hearnet.com), sebuah organisasi nirlaba yang
didukung industri instrumen musik, pemusik, dan media musik.
Misi
H.E.A.R. adalah mengajak khalayak menjaga kesehatan pendengarannya. Sejumlah
pemusik menjadi duta, dari rocker Lars Urlich (Metallica) hingga jazzer
Herbie Hancock. Di San Francisco, markasnya, mereka juga membuka kelas
pelatihan dan klinik evaluatif.
Dengan
latar tadi, laporan Koran Tempo (Sabtu, 4 Oktober 2014) tentang headphones
sebagai gaya hidup menjadi menarik. Laporan itu seperti menghimpun pengalaman
pembaca yang sejak tiga tahun lalu melihat makin banyak orang mengenakan
headphones, bukan earphones, sambil berjalan. Rupanya kian banyak orang yang
tak puas dengan earphones.
Meningkatnya
penikmatan headphones makin terasa sejak 2010, ketika sejumlah padagang audio
menawarkan amplifier untuk headphones. Sasaran utama mereka awalnya para
penikmat piringan hitam yang membutuhkan preamp. Sebelumnya, ramai pula
penawaran DAC (digital-to-analog converter) agar musik digital menjadi lebih
"tebal", bukan sekadar "suara kaleng".
Lalu,
seberapa lama orang tahan memakai headphones nonstop? Beda kuping, beda
jawaban. Sehatkah pendengaran mereka? Ahli THT yang dapat mengevaluasi-di
Indonesia pada 2013 ada 700 ahli THT (Telingakusehat.com). Tentu, sumber
penurunan pendengaran bukan cuma headphones, ajeb-ajeb, dan konser, tetapi
juga kebisingan kota dan lingkungan kerja.
Pada
2004 diwartakan bahwa sejumlah tamatan SMK tak lolos seleksi sebuah pabrik
PMA Jepang di Tangerang karena pendengaran mereka buruk. Ternyata noise
induced hearing loss (NIHL) terjadi di sekolah: tempat praktek tak
menyediakan pelindung telinga.
Untuk
konser, sejauh ini di Indonesia belum digencarkan pemakaian earplugs.
Konsumen diharapkan tahu sendiri sebelum memasrahkan diri untuk dihajar
tumpukan speaker. Cara murah ada: beli earplugs untuk industri di apotek,
berupa sumbat karet untuk kuping. Mungkin akan mengurangi penikmatan musikal,
tapi daripada jadi budek, kan?
Lalu,
pasal di luar kesehatan? Headphones dan earphones menjadikan musik kian
individual, tapi sisi penikmatan komunalnya tak lantas hilang. Dari ponsel
dan iPod-nya, setiap orang mendengarkan musik masing-masing; tak ada lagi era
dominasi lagu dalam keluarga, indekos, dan kantor seperti dulu: yang paling
kencang dan kerap memutar lagu itulah yang berpeluang menularkan selera.
Di sisi
lain, meski menikmati secara individual, media sosial membuat kaum muda
selalu terbarui tentang informasi musikal. Padahal mereka tak perlu menonton
MTV, cukup dari YouTube dan audio streaming saat naik sepur.
Itulah jasa headphones dan earphones: tak mengganggu telinga orang
sebelah, tapi beroleh hiburan dan pengetahuan dari orang lain yang
mengunggahkan musik ke awan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar