Badan
Usaha Desa dan Koperasi
Suroto ; Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi
Strategis (AKSES);
Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi;
Wakil Ketua Induk Koperasi Konsumsi Indonesia (IKKI)
|
KOMPAS,
11 Oktober 2014
SEJAK UU
Desa diterbitkan, muncul wacana pengembangan badan usaha milik desa. Ide ini
menjadi bagian penting dari bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di tingkat
desa sejak dimasukkan dalam klausul penting UU Desa.
Badan
usaha milik desa (BUMDes) adalah terobosan baru yang patut diapresiasi.
Setidaknya ide ini bisa jadi bentuk baru kepemilikan bisnis masyarakat dan
mendorong proses pemerataan ekonomi sampai ke desa-desa yang selama ini
terabaikan. Namun, nasibnya jangan sampai seperti badan usaha unit desa
(BUUD) yang bermetamorfosa menjadi koperasi unit desa (KUD) yang kini mati
suri.
BUMDes
ini mirip badan usaha milik negara (BUMN) di tingkat pemerintah pusat atau
badan usaha milik daerah (BUMD) di tingkat pemerintahan daerah. Sebagaimana
diatur dalam UU, BUMDes adalah badan usaha yang dimiliki pemerintah dan
masyarakat di tingkat desa atau kerja sama antardesa yang mekanisme
pembentukannya melalui musyawarah desa.
Sebelum
ide BUMDes muncul, sebetulnya pada 1971 pernah ada BUUD. Ini dibentuk pertama
kali sebagai proyek percontohan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) yang terintegrasi dalam program Bimbingan Masyarakat
(Bimas), bekerja sama dengan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.
Tujuan
awal BUUD adalah untuk mendorong sektor pertanian di desa, terutama dalam
rangka mencapai target swasembada pangan, dengan mengintegrasikan
koperasi-koperasi pertanian yang sudah ada sebelumnya. Fungsi BUUD untuk
menyalurkan sarana produksi pertanian dan pemasaran serta pengolahan hasil pertanian
yang sebelumnya diusahakan pihak swasta dan Perusahaan Negara (PN) Pertani.
Berangkat
dari kegiatan proyek percontohan di DIY ini kemudian dikembangkanlah proyek
KUD yang kekuatannya lebih banyak ditopang pemerintah.
BUUD
kemudian diperjelas oleh pemerintah dalam konsep KUD dengan Inpres No 4/1973,
di mana KUD didudukkan sebagai koperasi pertanian yang multifungsi. Meski
demikian, dengan semakin menguatnya politik birokrasi pemerintahan Orde Baru,
dengan Inpres No 4/1984, KUD memperoleh kedudukan tunggal di desa sebagai
koperasi desa.
Proyek
ini secara pragmatis memang telah berhasil mencapai target program nasional
swasembada pangan yang diraih pada 1980-an. Namun, karena konsepsinya semua
serba atas-bawah dan lupa membangun kelembagaan koperasi dengan benar, pada
akhirnya pamor KUD turun sejak reformasi dan dicabutnya Inpres No 4/1984.
Masa lalu KUD
KUD yang
menjadi primadona pada masa Orde Baru memang telah gagal sebagai kelembagaan.
Penyebabnya: aspek otonomi organisasi kurang diperhatikan. Pemerintah lupa bahwa organisasi koperasi
adalah organisasi otonom yang difungsikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
sendiri. Ambisi besar untuk meraih predikat swasembada pangan nasional telah
menutup agenda anggota koperasi. Manfaat dari koperasi kemudian hanya
dirasakan oleh segelintir elite penguasa dan pengurusnya.
Namun,
diakui atau tidak, KUD setidaknya telah memberikan bentuk layanan masyarakat
petani secara jelas dibandingkan dengan pada masa sekarang. Mereka masih
mendapatkan kepastian tentang harga dan persediaan pupuk serta masih dapat
pinjaman melalui unit simpan pinjam yang diselenggarakan KUD. Mereka masih
mendapatkan bentuk-bentuk penyuluhan yang dibutuhkan untuk meningkatkan
produktivitas pertanian mereka.
Saat
ini, pemerintah seperti absen untuk melayani petani di desa. Bahkan, untuk
mendapatkan pupuk pun banyak yang harus mencarinya dari rumah polisi yang
turut diberikan otoritas untuk mengawasi penyaluran pupuk bersubsidi dengan
harga yang jauh melambung di atas harga seharusnya. Sementara untuk
pendanaan, mereka harus menyerah kepada para pengijon.
Banyak
petani yang kemudian jatuh miskin dan kehilangan motivasi. Hal ini setidaknya
dapat dilihat dari jumlah rata-rata kepemilikan lahan petani yang rata-rata
hanya tinggal 0,23 hektar per
keluarga. Jumlah petani gurem alias hanya buruh tani yang tak punya lahan
juga tak sebanyak sekarang, yang jumlahnya sampai 73 persen dari jumlah
petani yang ada.
Masa depan BUMDes
Sejak UU
Desa diterbitkan, setiap desa akan mendapat dana alokasi yang cukup besar
setiap tahun. Dengan simulasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2015 saja akan mengalir dana ke desa rata-rata Rp 1 miliar. Sebagian tentu
akan digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat desa yang jumlahnya
77.548 desa (BPS, 2010) melalui BUMDes.
Sebagian
dana alokasi APBN tersebut, ditambah skema model modal penyertaan dari
pemerintah, dana bantuan sosial, hibah, dan lain-lain, BUMDes akan memiliki
sumber permodalan yang besar untuk pengembangan usaha. Namun, agar tak
mengulangi kesalahan masa lalu dari model BUUD/KUD, kita mesti memberdayakan
BUMDes ini dalam kerangka pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat yang baik
dengan mengedepankan partisipasi dan prakarsa masyarakat.
Mereka
tidak boleh hanya jadi obyek program, tetapi harus diperkuat kapasitasnya
untuk turut mengawasi berjalannya usaha dari BUMDes. Program pendidikan dan
pelatihan serta penyuluhan yang tidak bernilai ekonomis perlu jadi prioritas.
Sementara pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan yang bernilai ekonomis
dapat dilakukan oleh internal manajemen BUMDes sendiri.
Manfaat
BUMDes harus dihitung dan didistribusikan secara jelas. Agar terus
berkelanjutan, perlu disusun dalam pola bisnis perlindungan dana kembali (economic patrone refund) yang berbasis
partisipasi ekonomi masyarakat. Program ini dapat dijalankan seiring dengan
penggunaan basis teknologi informasi desa.
Struktur
organisasi BUMDes yang menunjukkan peranan kuat dari pemerintah desa harus
dikurangi. Kita dapat belajar dari kesalahan pola struktur organisasi KUD
masa lalu yang kuat dipengaruhi birokrasi, di mana camat atau kepala desa
begitu kuat peranannya karena mereka berada di dalam struktur organisasi.
Peranan pemerintah harus ditempatkan sebagai katalisator dan fasilitator agar
proses persenyawaan bisnis dapat berjalan secara natural, tidak dipaksakan.
Kita juga dapat belajar dari keberhasilan model Koperasi Moshav,
koperasi desa yang ada di Israel. Koperasi Moshav yang keanggotaannya
meliputi semua warga desa ini bisa dicontoh dalam mengintegrasikan pemerintahan desa yang
berfungsi sebagai layanan sosial-ekonomi dan pelayanan dalam bidang pelayanan
publik. Dengan begitu, pada suatu saat apa yang dikatakan Bung Hatta benar
adanya: bahwa apabila pemerintah desa telah beririsan dengan baik dan tanpa
jarak dengan koperasinya, makmurlah desa dan negara itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar