Membela
Islam
Abdillah Toha ; Mantan Ketua Badan Kerja Sama
Antarparlemen DPR
|
KOMPAS,
11 Oktober 2014
SUATU
hari ada beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW duduk berdiskusi di Masjid
Nabawi. Di antara mereka ada Salman
yang berasal dari Persia, Suhayb yang dibesarkan di Roma bagian timur, dan
Bilal bekas budak hitam dari Afrika. Tidak lama muncul seorang pribumi
Madinah ikut berdiskusi. Melihat wajah-wajah asing itu dia berkomentar,
”Apabila suku asli Madinah, Aws dan Khazraj, mendukung Muhammad, saya tidak
heran karena mereka sebangsa (Arab) dengan Muhammad. Tapi, apa yang sedang
dilakukan orang-orang nonpribumi ini di sini?”
Ketika
berita itu sampai kepada Muhammad SAW, beliau marah, segera mengundang
orang-orang ke masjid dan mengatakan, ”Wahai manusia, ketahuilah bahwa Tuhan
dan Pemeliharamu adalah satu. Kearabanmu tidak berasal dari ayah dan ibumu.
Kamu menjadi Arab tidak lebih dari lidahmu. Siapa pun yang berbahasa Arab
adalah orang Arab.”
Ketika
Jerusalem ditaklukkan di bawah Khalifah Umar, beliau memasuki Jerusalem
dengan rendah hati. Di tengah jalan, sekumpulan orang beragama Kristen dari
“Gereja Kebangkitan” mendekat dan menawarkan kepadanya untuk melakukan shalat
di gereja mereka. Beliau menolak dengan alasan bahwa beliau khawatir apabila
hal tersebut dilakukannya, kaum Muslim nanti akan merampas gereja-gereja
untuk dijadikan masjid. Kaum Kristiani itu kemudian menyerahkan kunci gereja
tersebut kepada kaum Muslim untuk dijaga. Kunci tersebut sampai saat ini
masih berada di tangan seorang penjaga Muslim di sana.
Banyak
sekali riwayat-riwayat lain yang menunjuk kepada persahabatan dan toleransi
Islam kepada kelompok lain dan minoritas di kawasan-kawasan yang berada di
bawah kekuasaannya. Di Andalusia, kelompok Kristen dan Yahudi bekerja sama
erat dengan Muslim mengembangkan ilmu pengetahuan bersama.
Ayat-ayat
Al Quran banyak dan melimpah yang menunjuk kepada keberagaman manusia dengan
berbagai warna kulit dan bahasa sebagai tanda kebesaran Tuhan (30:22) serta
kehendak Tuhan menjadikan manusia dalam berbagai suku bangsa dengan
menempatkan derajat ketakwaan manusia sebagai ukuran kemuliaan tertinggi di
mata Tuhan. (49:13).
Dakwah yang benar
Lalu di
mana posisi umat Islam saat ini? Kita tidak perlu jauh-jauh membahas
kebrutalan kelompok kecil, tetapi berbahaya yang menyebut dirinya Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) yang belakangan banyak diributkan.
Kelompok ini dan kelompok teroris lain jelas membajak nama Islam dan
melanggar semua aturan kemanusiaan yang ada dalam Islam.
Di Tanah
Air, ketika angin kebebasan berembus di bawah bendera reformasi dan kehidupan
demokrasi, beragam kelompok muncul menyampaikan aspirasinya. Sebagian dengan
jalan damai dan sebagian lain cenderung anarkistis. Namun, yang paling
merisaukan adalah ketika muncul kelompok yang menyebut dirinya pembela Islam,
tetapi membawa aspirasi yang berbau rasial.
Wakil
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan nama panggilan
Ahok telah dihujat dan diminta mundur bukan karena kinerjanya, tetapi karena
latar belakang keturunan dan agamanya. Ahok sebagai penganut Kristen yang
taat telah dikafirkan dan dianggap tidak memenuhi syarat menjadi pemimpin di
negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Dalil
ayat Al Quran yang digunakan untuk menolak non-Muslim sebagai pemimpin adalah
surah Ali Imran, ayat 28: ”Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang
kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah”.
Banyak yang menafsirkan ”kafir” dalam ayat itu sebagai non-Muslim, tetapi
tidak kurang pula yang menyampaikan tafsir yang berbeda yang lebih
bersahabat.
Dalam
pengantarnya di sebuah buku baru, Pemimpin (non) Muslim karya Muhsin Labib,
Haidar Bagir antara lain menulis, ”Kekafiran, dengan demikian, adalah
pengingkaran dan penyangkalan atas kebenaran yang memang telah dipahami,
diterima, dan diyakini oleh seseorang sebagai sebuah kebenaran. Orang kafir
adalah orang yang, karena berbagai alasan (vested interest), menyangkal atau
bersikap tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang diyakininya”.
Dengan
demikian, non-Muslim yang kepadanya tidak sampai dakwah Islam (yang benar)
dan karena itu tidak meyakini ”kebenaran” Islam tidak bisa dikategorikan
sebagai kafir. Kafir atau kufr yang berarti pengingkaran itu justru bisa
dikenakan kepada Muslim sendiri yang berperilaku ingkar terhadap kenikmatan
dan anugerah Allah serta bertolak belakang dengan perilaku berakhlak yang
diharapkan dari seorang Muslim.
Begitu
pula dalil Al Quran, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali(mu)...” (Al-Maidah 51). Imam
Baihaqi, Ibnu Abu Hatim, dan lainnya menjelaskan, sesuai dengan asbabun
nuzulnya, yang dimaksud dengan ”wali” di sini bukanlah pemimpin, tetapi
persekutuan dengan non-Muslim yang meninggalkan kelompok Muslim ketika dalam
ancaman.
Keadilan
dan kemaslahatan bangsa adalah dua dari beberapa ajaran inti Islam yang harus
dipatuhi oleh penguasa. Khalifah keempat Islam, Ali bin Abi Thalib,
mengatakan, ”Sesungguhnya Allah akan melindungi negara yang menegakkan
keadilan walaupun ia non-Muslim, dan tidak akan melindungi negara yang zalim
walaupun dia Muslim.” Kata-kata ini diulang oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah
dengan mengganti kata ”melindungi” dengan ”menegakkan”.
Nilai-nilai kemanusiaan universal
Jika
sebagian Muslim tidak mampu memahami inti dari agama Islam yang benar dan
kemudian berperilaku tidak sesuai dengan ajarannya, bagaimana Islam akan
mampu menarik hati pemeluk agama atau keyakinan lain?
Walaupun
jumlah Muslim yang demikian bukan mayoritas, kevokalan dan militansi mereka
telah menjadi sumber berita yang menarik dan tersebar luas di mana-mana
sehingga memberi kesan kepada khalayak bahwa ”Islam” merekalah yang
sebenarnya. Seorang ulama Mesir, Muhammad Abduh, dalam ungkapannya yang
terkenal mengatakan ”Al-islamu mahjubun bil muslimin” artinya ’keagungan
Islam telah terhalang oleh perilaku (buruk) Muslimin sendiri’.
Islam
bermuatan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. ”Membela Islam” dalam
keadaan damai adalah membela nasib rakyat yang tertindas, membela pemimpin
yang jujur dan berani, membela konstitusi yang telah kita sepakati bersama,
membela penegakan hukum yang adil, membela perilaku yang berlandaskan etika
dan akhlak, membela dan melindungi hak-hak minoritas, serta membela kebebasan
beragama.
Tingkah laku sebaliknya adalah dakwah Islam yang buruk. Dakwah yang
tidak akan membawa hasil apa pun, kecuali penilaian negatif, akan ditentang,
baik oleh kalangan luas Muslim maupun non-Muslim di mana pun mereka berada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar