Minggu, 12 Oktober 2014

Membela Islam

Membela Islam 

Abdillah Toha   ;   Mantan Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen DPR
KOMPAS,  11 Oktober 2014




SUATU hari ada beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW duduk berdiskusi di Masjid Nabawi. Di antara mereka  ada Salman yang berasal dari Persia, Suhayb yang dibesarkan di Roma bagian timur, dan Bilal bekas budak hitam dari Afrika. Tidak lama muncul seorang pribumi Madinah ikut berdiskusi. Melihat wajah-wajah asing itu dia berkomentar, ”Apabila suku asli Madinah, Aws dan Khazraj, mendukung Muhammad, saya tidak heran karena mereka sebangsa (Arab) dengan Muhammad. Tapi, apa yang sedang dilakukan orang-orang nonpribumi ini di sini?”

Ketika berita itu sampai kepada Muhammad SAW, beliau marah, segera mengundang orang-orang ke masjid dan mengatakan, ”Wahai manusia, ketahuilah bahwa Tuhan dan Pemeliharamu adalah satu. Kearabanmu tidak berasal dari ayah dan ibumu. Kamu menjadi Arab tidak lebih dari lidahmu. Siapa pun yang berbahasa Arab adalah orang Arab.”

Ketika Jerusalem ditaklukkan di bawah Khalifah Umar, beliau memasuki Jerusalem dengan rendah hati. Di tengah jalan, sekumpulan orang beragama Kristen dari “Gereja Kebangkitan” mendekat dan menawarkan kepadanya untuk melakukan shalat di gereja mereka. Beliau menolak dengan alasan bahwa beliau khawatir apabila hal tersebut dilakukannya, kaum Muslim nanti akan merampas gereja-gereja untuk dijadikan masjid. Kaum Kristiani itu kemudian menyerahkan kunci gereja tersebut kepada kaum Muslim untuk dijaga. Kunci tersebut sampai saat ini masih berada di tangan seorang penjaga Muslim di sana.

Banyak sekali riwayat-riwayat lain yang menunjuk kepada persahabatan dan toleransi Islam kepada kelompok lain dan minoritas di kawasan-kawasan yang berada di bawah kekuasaannya. Di Andalusia, kelompok Kristen dan Yahudi bekerja sama erat dengan Muslim mengembangkan ilmu pengetahuan bersama.

Ayat-ayat Al Quran banyak dan melimpah yang menunjuk kepada keberagaman manusia dengan berbagai warna kulit dan bahasa sebagai tanda kebesaran Tuhan (30:22) serta kehendak Tuhan menjadikan manusia dalam berbagai suku bangsa dengan menempatkan derajat ketakwaan manusia sebagai ukuran kemuliaan tertinggi di mata Tuhan. (49:13).

Dakwah yang benar

Lalu di mana posisi umat Islam saat ini? Kita tidak perlu jauh-jauh membahas kebrutalan kelompok kecil, tetapi berbahaya yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) yang belakangan banyak diributkan. Kelompok ini dan kelompok teroris lain jelas membajak nama Islam dan melanggar semua aturan kemanusiaan yang ada dalam Islam.

Di Tanah Air, ketika angin kebebasan berembus di bawah bendera reformasi dan kehidupan demokrasi, beragam kelompok muncul menyampaikan aspirasinya. Sebagian dengan jalan damai dan sebagian lain cenderung anarkistis. Namun, yang paling merisaukan adalah ketika muncul kelompok yang menyebut dirinya pembela Islam, tetapi membawa aspirasi yang berbau rasial.

Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan nama panggilan Ahok telah dihujat dan diminta mundur bukan karena kinerjanya, tetapi karena latar belakang keturunan dan agamanya. Ahok sebagai penganut Kristen yang taat telah dikafirkan dan dianggap tidak memenuhi syarat menjadi pemimpin di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Dalil ayat Al Quran yang digunakan untuk menolak non-Muslim sebagai pemimpin adalah surah Ali Imran, ayat 28: ”Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah”. Banyak yang menafsirkan ”kafir” dalam ayat itu sebagai non-Muslim, tetapi tidak kurang pula yang menyampaikan tafsir yang berbeda yang lebih bersahabat.

Dalam pengantarnya di sebuah buku baru, Pemimpin (non) Muslim karya Muhsin Labib, Haidar Bagir antara lain menulis, ”Kekafiran, dengan demikian, adalah pengingkaran dan penyangkalan atas kebenaran yang memang telah dipahami, diterima, dan diyakini oleh seseorang sebagai sebuah kebenaran. Orang kafir adalah orang yang, karena berbagai alasan (vested interest), menyangkal atau bersikap tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang diyakininya”.

Dengan demikian, non-Muslim yang kepadanya tidak sampai dakwah Islam (yang benar) dan karena itu tidak meyakini ”kebenaran” Islam tidak bisa dikategorikan sebagai kafir. Kafir atau kufr yang berarti pengingkaran itu justru bisa dikenakan kepada Muslim sendiri yang berperilaku ingkar terhadap kenikmatan dan anugerah Allah serta bertolak belakang dengan perilaku berakhlak yang diharapkan dari seorang Muslim.

Begitu pula dalil Al Quran, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali(mu)...” (Al-Maidah 51). Imam Baihaqi, Ibnu Abu Hatim, dan lainnya menjelaskan, sesuai dengan asbabun nuzulnya, yang dimaksud dengan ”wali” di sini bukanlah pemimpin, tetapi persekutuan dengan non-Muslim yang meninggalkan kelompok Muslim ketika dalam ancaman.

Keadilan dan kemaslahatan bangsa adalah dua dari beberapa ajaran inti Islam yang harus dipatuhi oleh penguasa. Khalifah keempat Islam, Ali bin Abi Thalib, mengatakan, ”Sesungguhnya Allah akan melindungi negara yang menegakkan keadilan walaupun ia non-Muslim, dan tidak akan melindungi negara yang zalim walaupun dia Muslim.” Kata-kata ini diulang oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dengan mengganti kata ”melindungi” dengan ”menegakkan”.

Nilai-nilai kemanusiaan universal

Jika sebagian Muslim tidak mampu memahami inti dari agama Islam yang benar dan kemudian berperilaku tidak sesuai dengan ajarannya, bagaimana Islam akan mampu menarik hati pemeluk agama atau keyakinan lain?

Walaupun jumlah Muslim yang demikian bukan mayoritas, kevokalan dan militansi mereka telah menjadi sumber berita yang menarik dan tersebar luas di mana-mana sehingga memberi kesan kepada khalayak bahwa ”Islam” merekalah yang sebenarnya. Seorang ulama Mesir, Muhammad Abduh, dalam ungkapannya yang terkenal mengatakan ”Al-islamu mahjubun bil muslimin” artinya ’keagungan Islam telah terhalang oleh perilaku (buruk) Muslimin sendiri’.

Islam bermuatan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. ”Membela Islam” dalam keadaan damai adalah membela nasib rakyat yang tertindas, membela pemimpin yang jujur dan berani, membela konstitusi yang telah kita sepakati bersama, membela penegakan hukum yang adil, membela perilaku yang berlandaskan etika dan akhlak, membela dan melindungi hak-hak minoritas, serta membela kebebasan beragama.

Tingkah laku sebaliknya adalah dakwah Islam yang buruk. Dakwah yang tidak akan membawa hasil apa pun, kecuali penilaian negatif, akan ditentang, baik oleh kalangan luas Muslim maupun non-Muslim di mana pun mereka berada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar