Perbankan
Berorientasi Sosial
Dian Ediana Rae ; Kepala Perwakilan Bank Indonesia Bandung
|
KOMPAS,
11 Oktober 2014
PERUBAHAN
Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 belum selesai dalam pembahasan di
DPR. Meski demikian, ini momentum sangat baik untuk melakukan refleksi
terhadap peran dan kedudukan perbankan dalam perekonomian Indonesia saat ini
dan pada masa mendatang.
Sebagai
ilustrasi, di Inggris sampai beberapa tahun setelah krisis ekonomi 2008
terjadi konfrontasi sangat sengit antara perbankan dan pemerintah (politisi).
Periode ini dikenal sebagai periode bank bashing. Konfrontasi ini baru bisa diakhiri setelah
dilakukan negosiasi panjang antara pemerintah dan bank-bank utama. Proyek
yang disebut the Project Merlin ini telah berhasil menyepakati antara lain
pengenaan pajak bank, jumlah kredit yang akan diberikan oleh bank, ketentuan
mengenai bonus, serta transparansi gaji dan fasilitas.
Dalam
sistem ekonomi pasar, apa yang dilakukan Pemerintah Inggris lewat negosiasi
dengan bank mengenai persoalan yang selama ini dianggap ”persoalan internal
bank” merupakan hal luar biasa dan di
luar mainstream ideologi ekonomi pasar. Untuk waktu yang lama bank-bank di
negara maju telah menikmati kebebasan mutlak dalam melakukan pengelolaan
usahanya.
Terjadinya
krisis 2008 telah mengubah paradigma berpikir banyak pemerintahan di dunia
terhadap kegiatan bank yang dianggap paling bertanggung jawab menimbulkan
krisis keuangan dan ekonomi. Terlepas benar atau tidaknya kebijakan dimaksud,
ini mengilustrasikan bagaimana komplikasi hubungan antara kebijakan (politik)
pemerintah dan kegiatan usaha bank.
Dilihat dari sejarah kegiatan perbankan,
bisnis perbankan banyak diisi dengan pergulatan antara para bankir yang
berusaha memaksimalkan keuntungan dan pemerintah yang mencoba membatasi
kekuasaan bank serta mencegah ketidakstabilan bank. Meski bank pada
hakikatnya beroperasi untuk mencari keuntungan dan manajemen bank bebas
membuat keputusan dalam menjalankan operasinya, bank sejak lama telah
dianggap sebagai masalah yang menyangkut ”kepentingan umum” (public interest) dan oleh karena itu
tunduk kepada pengaturan dan pengawasan pemerintah.
Hal ini
bisa dimengerti karena usaha perbankan sebagian besar dibiayai dana
masyarakat dan kegiatannya berdampak besar terhadap perekonomian suatu
negara. Di samping pertimbangan bisnis, perbankan dipandang perlu
memperhatikan kepentingan masyarakat, seperti stabilitas perekonomian dan
moneter, perlindungan konsumen, persaingan sehat, serta ketentuan
kehati-hatian (prudential regulations).
Di AS,
krisis keuangan global yang dimulai pertengahan 2007 telah membuktikan
rentannya sistem pengawasan terhadap bank di AS, khususnya dalam pengawasan structured products. Pengambilan risiko yang berlebihan (excessive risk taking) yang dilakukan
perbankan telah menghancurkan bukan saja bank itu sendiri, melainkan juga
perekonomian secara menyeluruh.
Pengambilan
risiko yang berlebihan antara lain didorong desakan para eksekutif bank untuk
memperoleh bonus sebesar mungkin dan juga memaksimalkan keuntungan pemegang
saham (shareholders). Oleh karena
itu, pengambilan keputusan para bankir dianggap tak lagi merefleksikan
kepentingan masyarakat atau nasional, tetapi lebih ditujukan untuk melayani
kepentingan pemegang saham dan pemegang kepentingan utama lain seperti
pengurus bank, kreditor, dan debitor besar.
Revolusi struktural
Dengan
terjadinya beberapa krisis keuangan yang telah berakibat luar biasa terhadap
perekonomian negara, banyak pengambil kebijakan mulai berpikir melakukan
revolusi struktural yang akan menggeser paradigma shareholder value ke arah
tujuan masyarakat (community goals),
seperti pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, stabilitas sosial serta
lingkungan hidup. Jika dicermati UU No 10/1998 tentang Perbankan, tampak
jelas UU ini produk masa krisis ekonomi dan keuangan Indonesia 1997-1998.
Tujuan
penyusunan UU ini memang untuk mengatasi situasi krisis yang terjadi waktu
itu, dan oleh karena itu sebagian UU diwarnai semangat darurat dan bukan
dimaksudkan untuk mengatasi persoalan perbankan secara lebih mendasar dan
konseptual. Oleh karena itu, dapat dimaklumi jika dalam konteks hubungan bank
dengan kepentingan perekonomian masyarakat banyak terabaikan meski pada
penjelasan umum telah mulai dicantumkan hal-hal menarik, seperti perhatian
terhadap kredit koperasi, pengusaha kecil dan menengah, perlunya bank
memberikan perhatian terhadap kinerja perekonomian di wilayah operasi
tiap-tiap kantor bank, serta akses pihak asing.
Namun,
jika diteliti lebih lanjut penjabaran penjelasan umum itu tak ada atau tak
memadai dalam pasal-pasalnya. Dalam konteks bank sebagai agen pembangunan,
alih-alih menambahkan peran sosial, UU ini malah menghapuskan kewajiban bank
menyalurkan kredit ke UMKM dan untuk pembiayaan ekspor.
Memang
disadari bukan tanpa risiko apabila pembuat UU atau pemerintah ikut serta
menentukan kegiatan usaha bank karena hal tersebut dapat menimbulkan
persoalan kredit macet. Namun, kegagalan yang diakibatkan oleh penyaluran
kredit yang bersifat affirmative actions seperti ini akan bisa
dipertanggung-jawabkan lebih baik secara politik oleh pemerintah dibandingkan
dengan kegagalan karena terjadinya excessive risk taking yang dilakukan para
pengelola bank.
UU Perbankan
saat ini belum menangani persoalan fundamental seperti format dan arah
pengembangan sistem perbankan nasional, akses kepemilikan dan operasional
bank asing, tenaga kerja asing, peran bank dalam pengembangan UMKM dan
pengembangan ekspor, multiple licensing,
reposisi BPR dan BPD, universal banking, offshore banking, transaksi
derivatif, shadow banking, money laundering, perlindungan konsumen, dan
banyak hal lain yang penting, dalam rangka memastikan orientasi bank terhadap
kepentingan perekonomian dan sosial yang lebih baik. Hal penting lain, perlunya dicantumkan
pasal-pasal baru yang mengatur cross cutting issues antar-lembaga keuangan
dan juga pasar modal setelah dilakukan pengawasan terintegrasi oleh Otoritas
Jasa Keuangan. Intinya, UU Perbankan yang baru seharusnya mengatur lebih
tuntas segala sesuatu persoalan yang terkait dengan bank dan perbankan.
Orientasi kerja dan paradigma berpikir yang mementingkan pemegang saham
dan debitor/kreditur tertentu telah menimbulkan konflik kepentingan yang berkelanjutan
dalam menyikapi setiap regulasi yang dikeluarkan otoritas pengawas. Oleh
karena itu, governance bank menjadi persoalan yang tidak sederhana. Banyak
terjadi komplikasi dalam praktik regulasi dan pengawasan bank, tidak bisa
hanya menggantungkan pada fakta-fakta hukum dan akuntansi karena banyaknya
berbagai kemungkinan rekayasa hukum dan keuangan. Bank akan dengan mudah
bersembunyi di belakang mekanisme hukum dan perlakuan akuntansi dalam
menutupi berbagai mismanagement, bahkan fraud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar