Perang
Media
Ali
Rif’an ; Peneliti Poltracking
|
REPUBLIKA,
31 Mei 2014
Menjelang Pilpres 9 Juli
mendatang, persaingan antara pasangan capres Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta semakin
memanas. Berbagai strategi pun dilancarkan oleh partai pendukung (koalisi)
guna memenangi kontestasi politik. Yang menarik, kedua pasangan capres ini
sama-sama didukung para pengusaha media yang juga merangkap pimpinan partai.
Sebut saja Surya Paloh, ketum
Partai NasDem sekaligus bos media MetroTV yang mendukung pencapresan Jokowi-JK.
Sementra Aburizal Bakrie, ketum Partai Golkar yang juga bos TVOne dan ANTV
mendukung pencapresan Prabowo-Hatta. Begitu pula bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo
yang menyokong Prabowo.
Dengan banyaknya pemilik media
yang berafiliasi dengan para pasangan capres, bisa dipastikan perang media
akan terjadi, bahkan pemberitaan media cenderung tidak berimbang. Hal ini terlihat
dari pantauan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 6-15 Mei 2014. Disebutkan
bahwa MetroTV menayangkan berita soal Jokowi sebanyak 62 kali, sementara
memberitakan Prabowo hanya 22 kali. Sebaliknya, TVOne memberitakan Prabowo 18
kali, sementara Jokowi 15 kali. Adapun ANTV memberitakan Prabowo 60 kali,
sementara pemberitaan Jokowi hanya 8 kali.
Ironisnya, berbagai pemberitaan
tersebut bukan hanya tidak berimbang dari sisi tone konten, tapi juga kerap
menabrak aturan. Misalnya MetroTV dalam sehari memberitakan Jokowi bisa mencapai
lebih dari 15 kali dengan durasi cukup panjang. Padahal, dari sisi aturan,
stasiun televisi maksimal 10 kali per hari melakukan pemberitaan dengan
durasi masing-masing paling lama 30 detik (Tempo, 26/5).
Imagologi politik Fenomena di
atas menandakan bahwa dunia politik kita masih terjebak pada apa yang disebut
Yasraf Amir Piliang (2005) sebagai "imagologi
politik", yakni suatu kondisi realitas politik yang dibingkai ke
dalam wujud-wujud citra dalam berbagai media. Menurut Martin Heidegger (1972:
302), pembingkaian dalam konteks politik, khususnya pembingkaian politik
sebagai politik citra, biasanya akan menghasilkan ilusi politik, yaitu cara
penghadiran atau penampakan tak lebih dari sebuah konstruksi, yang di
dalamnya manusia tidak dapat lagi penyingkap esensinya disebabkan pembatasan
horizon di dalamnya.
Tentu citra berlebihan dalam
politik merupakan ancaman terhadap manusia politik itu sendiri, karena akan
menjauhkan dari kemungkinan penyingkapan esensi yang autentik atau kebenaran
yang sesungguhnya. Ini tentu berbahaya.
Di satu sisi, manusia politik
akan mengalami pergeseran makna, yakni lebih memilih citra ketimbang benda, copy ketimbang asli, representasi
ketimbang realitas, dan penampakan ketimbang eksistensi.
Sementara di sisi lain, manusia
politik (politisi) telah menodai ruang publik. Lembaga panyiaran yang
seharusnya bersikap netral justru memihak. Pada gilirannya, hal ini akan
merugikan publik (masyarakat) karena mereka akan kesulitan mendapatkan
informasi yang berimbang. Pada titik inilah, benar apa yang dikatakan McQuail
(2002), ketika bos media masuk politik, tak jarang media akhirnya `dipaksa'
turut mencipta agenda terselubung dan mengontruksi kehendak pemodal dalam
bingkai kerja jurnalisme. Inilah yang mulai tercium kuat aromanya menjelang
pilpes.
Independensi media Karena itu,
sudah seharusnya lembaga penyiaran atau media bersikap independen. Sebagai
pilar demokrasi, media harus mampu menjaga komitmen netralitasnya agar tetap
mampu membangun ruang publik yang sehat dan kredibel. Sebenarnya,
independensi atau netralitas lembaga penyiaran ini sudah diatur dalam Pedoman
Pelaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang dikeluarkan KPI.
Begitu pula dengan peraturan KPU Nomor 15 tentang kampanye yang meminta
setiap media, termasuk televisi, untuk menerapkan asas keberimbangan dalam
pemberitaan maupun iklan. Selain itu, independensi lembaga penyiaran ini juga
telah lama diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pres dan Kode Etik
Jurnalistik.
Karena pada dasarnya,
sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,
pemilik media itu berstatus pinjam pakai untuk digunakan dalam
menyelenggarakan penyiaran. Karena itu, izin atau aset tersebut harus
digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik dan masyarakat luas.
Sebab, berdasarkan undang-undang itu pula, pemilik media sewaktu-waktu bisa
dievaluasi melalui mekanisme perizinan penyelenggaraan penyiaran. Lembaga
penyiaran yang menabrak aturan secara berlebihan tentu bisa dicabut hak
izinnya.
Untuk itu, menjelang pilpres
yang menegangkan ini, publik berharap bahwa media, khususnya elektronik,
bersifat netral, memberikan pemberitaan secara berimbang supaya publik tidak
menjadi bingung. Sebab, jika tidak hal ini akan mengancam keberadaan media
itu sendiri. Media yang telah nyata-nyata tidak independen akan segera
ditinggalkan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar