Stop
Politisasi Agama
Abdul
Waid ; Mahasiswa Program Doktor Sekolah
Pascasarjana UGM
|
KOMPAS,
12 Juni 2014
Ada pernyataan miris yang
dilontarkan Mahfud MD, Ketua Tim Pemenangan Pasangan Capres-Cawapres
Prabowo-Hatta, saat rapat pemenangan dan pembekalan tim kampanye
Prabowo-Hatta di Hotel Sahid, Jakarta, 27 Mei 2014. Mahfud mengatakan,
pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memiliki banyak plus atau kelebihan.
Jika mau dilihat kelemahannya, Prabowo-Hatta memiliki kelemahan lebih
sedikit. Dalam pernyataannya, Mahfud juga menyinggung ajaran fikih Islam
(kaidah ushul fikih). Ia mengatakan, ”Sesuai
ajaran fikih yang saya pelajari, harus memilih yang kelemahannya lebih sedikit.
Dalam ushul fikih, menghindari kerusakan lebih baik daripada memilih kebaikan
yang semu. Prabowo-Hatta lebih menghindari hal-hal yang mudarat.”
Perlu
dipahami, pernyataan Mahfud yang membawa simbol-simbol agama itu (baca:
ajaran fikih) muncul dalam forum politik berdasarkan kapasitasnya sebagai
seorang politisi, ketua tim pemenangan pasangan capres dan cawapres, dan
dalam konteks upayanya untuk memenangkan pasangan Prabowo-Hatta dalam
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
Artinya,
pernyataan itu muncul dalam rangka menaikkan posisi tawar pasangan
Prabowo-Hatta. Andai saja Mahfud berada di kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla
sebagai lawan pasangan Prabowo-Hatta barangkali pernyataannya akan berbeda.
Pernyataannya itu tidak bisa disamakan dengan pernyataan Mahfud dalam
kapasitasnya sebagai seorang tokoh nasional, agamawan, ustaz, atau santri.
Kaidah
ushul fikih—digagas oleh para imam ushuliyyin, salah satunya imam Abu
Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i yang lebih dikenal dengan nama Imam
Syafi’i—sebagaimana disitir Mahfud dalam pernyataannya adalah kaidah-kaidah
universal sebagai pijakan untuk mengeluarkan hukum syara’. Ushul fikih adalah
metodologi yurisprudensi Islam untuk melahirkan produk hukum demi
kemaslahatan universal, bukan kemaslahatan golongan, khususnya mengenai
hal-hal yang tidak disinggung secara rigid oleh Al Quran dan hadis Nabi.
Dengan
demikian, penggunaan kaidah ushul fikih bukanlah untuk tujuan politik, ambisi
kekuasaan yang bersifat profan, bukan pula untuk melegitimasi gerakan politik
sebagaimana yang ditunjukkan Mahfud. Menyitir ilmu fikih hanya untuk
menguatkan daya tawar politiknya di tengah masyarakat jelas adalah sikap yang
salah kaprah. Dari sini mulai tampak apa yang diungkapkan Mahfud adalah
bagian dari politisasi agama.
Ali
Maschan Moesa, dalam bukunya berjudul Nasionalisme
Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (2007), mengatakan, politisasi
agama berarti menggunakan simbol-simbol agama untuk menggerakkan massa,
mengaduk-aduk emosi keagamaan, menjalin kekuatan di parlemen, dan seterusnya,
tetapi tujuannya untuk kepentingan politik, bukan kepentingan agama.
Akibat fatal
Agama
sangat erat kaitannya dengan persoalan keimanan, ketakwaan, dan keyakinan
kepada Tuhan. Agama tidak membeda-bedakan golongan politik. Agama meneguhkan
aspek kepentingan abadi, yaitu keselamatan di dunia dan akhirat. Adapun
politik sangat erat kaitannya dengan persoalan kekuasaan yang bersifat
sesaat.
Jika
politik diperjuangkan untuk kepentingan agama, barangkali tidak akan menjadi
masalah. Namun, jika agama dieksploitasi untuk kepentingan politik seperti
penggunaan simbol-simbol agama dan ajaran agama hanya demi tujuan mencapai
kemenangan politik, di sinilah mulai terjadi pelecehan agama.
Mari
kita belajar dari sejarah. Pada abad pertengahan, misalnya, di dunia Barat
pernah terjadi dominasi agama Nasrani terhadap segala aspek kehidupan. Tidak
hanya dalam aspek sosial, hukum, tetapi juga dalam aspek politik. Akibatnya,
agama Nasrani dan dogma-dogma gereja kerap dijadikan sebagai alat legitimasi
kepentingan politik sesaat di Barat.
Walhasil,
pelecehan agama tidak bisa dihindari karena agama dieksploitasi terlalu jauh
oleh kepentingan politik dan nafsu keserakahan. Akankah ini juga terjadi di
Indonesia?
Jika
kita tidak ingin hal itu terjadi, hendaknya para agamawan, ulama, ustaz,
santri, atau apa pun namanya yang kini terlibat dalam percaturan politik
menjelang Pilpres 2014, tidak menyeret agama ke ranah politik sebagai
strategi untuk memenangkan pasangan yang didukungnya. Dalam konteks itu, Imam
Ghazali mengategorikan ulama yang mengeksploitasi agama demi kepentingan
dunia sebagai ulama al-syuk, yaitu ulama yang menjual ayat dengan murah,
mencari legitimasi murahan yang bersumber dari ajaran agama untuk mencapai
hasrat keduniaannya.
Kemenangan
dalam pilpres adalah hal yang bersifat duniawi. Dan, menurut ukuran agama,
hal tersebut sangatlah rendah dan murah harganya dibandingkan dengan agama
itu sendiri, seperti tersebut dalam surat Al Baqarah. Wallahuaalam bisshawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar