Keharusan
Revolusi Mental
Yudi
Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
12 Juni 2014
”Merdekakan dirimu dari perbudakan mental,” seru
penyanyi reggae legendaris Bob
Marley. Kolonialisme dan otoritarianisme boleh berlalu, tetapi perbudakan dan
penindasan tidak dengan sendirinya berakhir.
Warisan
terburuk dari kolonialisme dan otoritarianisme tidaklah terletak pada besaran
kekayaan yang dirampas, penderitaan yang ditimbulkan, dan nyawa yang
melayang, tetapi pada pewarisan nilai-nilai koruptif, penindasan, dan
perbudakan yang tertanam dalam mental bangsa. Para pendiri bangsa menyadari
benar perjuangan kemerdekaan masih jauh dari tuntas. Proklamasi kemerdekaan
hanya jembatan emas untuk meraih kemerdekaan sejati. Sebagai jembatan emas,
proklamasi kemerdekaan hanyalah titik keberangkatan untuk meraih cita-cita
masyarakat adil dan makmur melalui serangkaian perjuangan secara persisten
(istikamah). Pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956, Bung Karno
menjelaskan tiga fase revolusi bangsa. Dua fase telah dilalui secara berhasil
dan satu fase lagi menghadang sebagai tantangan. Indonesia telah melewati
taraf physical revolution
(1945-1949) dan taraf survival (1950-1955).
Lantas ia menandaskan, ”Sekarang kita
berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti
yang seluas-luasnya: investment of human skill, material investment, dan
mental investment.”
Dalam
pandangannya, investasi keterampilan dan material amat penting. Namun, yang
paling penting investasi mental. Investasi keterampilan dan material tak bisa
jadi dasar persatuan dan kemakmuran bersama tanpa didasari investasi mental.
Tanpa kekayaan mental, upaya-upaya pemupukan keterampilan dan material hanya
akan melanggengkan perbudakan. Dikatakannya, ”Lebih baik kita membuka hutan kita dan menggaruk tanah kita dengan
jari sepuluh dan kuku kita ini daripada menjual serambut pun daripada
kemerdekaan kita ini untuk dollar, untuk rubel.” Ditambahkan, ”Mental kita harus mengangkat diri kita di
atas kekecilan jiwa yang membuat kita suka geger dan eker-ekeran
mempertentangkan urusan tetek bengek yang tidak penting.”
Itulah
sebabnya Bung Karno sangat menekankan program nation and character building. Dalam pandangannya, Indonesia
adalah bangsa besar, tetapi sering kali memberi nilai terlalu rendah pada
bangsanya alias bermental kecil, masih belum terbebas dari mentalitas kaum
terjajah yang sering mengidap perasaan rendah diri (minderwaardigheidscomplex). Bung Karno menyadari bahwa sebagai
akibat penjajahan dan feodalisme selama ratusan tahun, terbentuklah karakter
rakyat yang disebut ”abdikrat”, meminjam istilah Verhaar dalam bukunya
Identitas Manusia. Akibatnya, terbentuklah mentalitas pecundang dengan penuh
perasaan tak berdaya dan tidak memiliki kepercayaan diri (self-confidence). Memasuki alam
kemerdekaan, Bung Karno menyerukan agar watak demikian harus dikikis habis.
Rakyat harus berjiwa merdeka dan berani berkata ”ini dadaku, mana dadamu”,
berani mandiri dan menghargai diri sendiri.
Hingga
taraf tertentu, usaha nation and
character building di masa Soekarno itu berhasil. Rakyat dari Sabang
sampai Merauke mulai merasa terikat dalam suatu negara bangsa dan merasa
bangga sebagai bangsa Indonesia. Kepercayaan diri bangsa ini juga meningkat
berkat kepeloporan Indonesia dalam berbagai isu internasional. Rakyat berani
menolak bantuan yang merendahkan bangsa sendiri dengan seruan, ”go to hell with your aid!”
Perbudakan mental
Pemerintah
Orde Baru bangkit dengan kebijakan yang memprioritaskan investasi material (material investment). Kebijakan
investasi manusia (human investment)
lebih menekankan hal-hal yang bersifat kuantitatif dengan memprioritaskan
pemacuan pendidikan dasar lewat apa yang dikenal sebagai ”sekolah inpres”.
Investasi mental memang diberikan, tetapi bersifat permukaan. Penataran
Pancasila digalakkan, tetapi miskin kreativitas, terlalu menekankan dimensi
kognitif (hafalan), serta kurang menyentuh aspek afektif dan dorongan untuk
bertindak. Akibatnya, di balik gebyar fisik modernitas kehidupan bangsa,
mental bangsa tetap terbelakang.
Orde
Reformasi hadir sebagai kulminasi dari paradoks antara kemajuan material dan
keterbelakangan mental dengan segala krisis yang menyertainya. Setelah 14
tahun Reformasi tak kunjung mendekati janji-janji kesejahteraan, keadilan,
kepastian hukum, serta pemerintahan yang baik dan bersih, mestinya timbul
fajar budi kesadaran baru. Bahwa perbudakan mental merupakan pangkal terdalam
yang membuat kekayaan bangsa ini terus dipersembahkan bagi seluas-luasnya
kemakmuran asing dan bahwa mental yang terkorupsi (corrupted mind) adalah akar tunjang dari merajalelanya praktik
korupsi. Penjelasan tentang hal ini diberikan oleh Plato. Menurut Plato, jiwa
manusia terdiri dari tiga unsur: mental (mind),
ambisi (spirit), dan selera
kesenangan (appetite). Kebaikan
hidup tercapai manakala mental yang sehat memimpin atas ambisi dan
kesenangan.
Apa yang
kita saksikan pada kehidupan bangsa saat ini adalah banjir bandang kesenangan
dan ambisi. Ledakan tuntutan selera dan gaya hidup bangsa ini menjadikannya
salah satu pengimpor terbesar di dunia, mulai dari garam hingga barang mewah.
Luapan ambisi kuasa membuat banyak orang meninggalkan tanggung jawab
profesinya untuk merebut jabatan politik, bahkan menghalalkan segala cara
termasuk kampanye hitam untuk meraih kekuasaan. Dorongan selera pasar dan
ambisi perseorangan itu juga sering harus dibayar mahal dengan mengorbankan
kemandirian dan kedaulatan negara. Dalam situasi seperti itu, mental tak
mampu menunjukkan kepemimpinannya, terpojok oleh warisan sejarah perbudakan
mental serta cengkeraman selera dan ambisi. Sebuah politik tanpa kepemimpinan
mental yang sehat tidak memiliki landasan perwujudan kebajikan kolektif.
Perkembangan politik mengikuti logika terbalik: mempertahankan yang buruk dan
membuang yang baik.
Untuk
bisa bangkit dari keterpurukan, bangsa ini harus kembali ke trayek sejarah
yang tercegat: melanjutkan revolusi mental. Inti dari revolusi ini adalah
perubahan besar dalam struktur mental manusia Indonesia melalui proses nation
and character building. Usaha pembangunan karakter ini harus mempertautkan
antara proses penempaan pribadi yang berkarakter dan kolektivitas bangsa yang
berkarakter. Bahwa kebaikan dan kekuatan karakter individual hanya bisa
memperoleh kepenuhan manfaatnya jika terintegrasi ke dalam kebaikan dan
kekuatan karakter bangsa secara kolektif.
Faktanya,
negeri ini masih cukup memiliki pribadi-pribadi yang bermental karakter baik.
Namun, sungguh defisit dalam kolektivitas yang berkarakter baik. Apa pun yang
bersifat kolektif, mulai dari partai politik, parlemen, birokrasi, hingga
ormas keagamaan, cenderung sakit. Pada titik ini Indonesia adalah bangsa yang
belum selesai yang masih memerlukan penguatan kebersamaan dalam nilai,
perilaku, cipta, rasa, dan karsa kolektif.
Karakter
bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga
eksistensi dan kemajuan sekelompok orang seperti sebuah bangsa. Ibarat
individu, pada hakikatnya setiap bangsa memiliki karakternya tersendiri yang
tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian bangsa (nation) yang terkenal dari Otto Bauer: bangsa adalah satu
persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak
ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.
Perhatian
terhadap variabel budaya, terutama karakter, sebagai bagian yang menentukan
bagi perkembangan ekonomi dan politik masyarakat-bangsa pernah mengalami
musim seminya pada 1940-an dan 1950-an. Para pesohor pengkaji budaya periode
ini, seperti Margareth Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel Almond,
Sidney Verba, Lucian Pye, dan Seymour Martin Lipset, memunculkan prasyarat
nilai dan etos yang diperlukan untuk mengejar kemajuan bagi negara-negara
yang terpuruk pasca Perang Dunia II. Namun, seiring gemuruh laju
developmentalisme yang menekankan pembangunan material, pengkajian budaya
mengalami musim kemarau pada 1960-an dan 1970-an.
Kegagalan
pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan ekonomi
dan politik, menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak 1980-an.
Pentingnya variabel mental-budaya bagi perkembangan ekonomi dan politik suatu
bangsa dapat dilihat dari serangkaian hasil riset yang dilaporkan dalam karya
Lawrence Horrison (1985), Robert Putnam (1993), dan Ronald Inglehart (2000).
Alhasil, di tengah intensifikasi globalisasi, kesadaran akan pentingnya
penguatan karakter bangsa sebagai tumpuan daya saing justru mengalami
gelombang pasang.
Mandiri dan berdikari
Bagi
bangsa Indonesia, basis nilai sebagai tumpuan karakter kolektif yang dapat
menopang kemajuan peradaban bangsa itu tiada lain adalah Pancasila. Inti
nilai Pancasila, bagaimana menumbuhkan semangat persatuan dalam keragaman
dengan cara mengatasi mentalitas mementingkan diri sendiri (self-preservasion and self-centeredness),
melalui penguatan mentalitas gotong royong berlandaskan semangat ketuhanan,
kemanusiaan, kebangsaan, permusyawaratan, dan keadilan sosial. Dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagai tujuan akhir dari revolusi
Indonesia, semangat gotong royong itu diarahkan untuk mengembangkan
mentalitas-karakter bangsa yang berani berdikari dalam ekonomi, berdaulat
dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Berdikari
dan mandiri tak berarti harus menyendiri. Berdikari adalah sikap mental untuk
berani menentukan pilihan sendiri yang dapat membebaskan ketergantungan
ekonomi pada pihak-pihak asing. Berdikari tidak berarti anti asing, tidak
pula mengurangi, malahan memperluas, kerja sama internasional berlandaskan
semangat kesederajatan kemanusiaan yang saling menguntungkan. Jalan menuju
kemandirian ekonomi ini bisa ditempuh setidaknya melalui penguatan semangat
ekonomi kooperatif dan efektivitas peran negara dalam penguasaan kekayaan
alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi kemakmuran rakyat; daya
saing perekonomian dengan meningkatkan nilai tambah dari keunggulan potensi
sumber daya yang dimiliki; kedaulatan pangan dan energi disertai pengutamaan
pembelian produk dalam negeri.
Kedaulatan
politik berdimensi eksternal dan internal. Kedaulatan ke luar adalah
kesanggupan bangsa untuk menyejajarkan diri dengan bangsa lain dan bebas
mengatur pertaliannya dengan bangsa-bangsa lain berlandaskan prinsip
kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan. Dan untuk itu perlu penguatan
mentalitas kosmopolitan. Kedaulatan ke dalam diarahkan untuk memberikan
perlindungan dan pengawasan pada putra-putri negeri dengan memberikan jaminan
hak dasar setiap warga dan keselamatan wilayah, keadilan dan kepastian hukum,
serta ketertiban dan kedisiplinan aparatur negara dan warga negara.
Kesemuanya itu mensyaratkan proses pendalaman dan perluasan demokrasi
berkarakter Pancasila.
Kemandirian
ekonomi dan kedaulatan politik hanya bisa tumbuh apabila bangsa ini memiliki
kepribadian dalam kebudayaan. Berisi kematangan mental untuk percaya diri
dalam mengekspresikan daya cipta, rasa, dan karsa bangsa ini sebagai
keistimewaan khusus dari semesta dalam semangat saling mengisi dan
menyempurnakan keadaban dunia. Usaha menumbuhkan kepribadian dalam kebudayaan
ini bisa dilakukan dengan cara memperkuat wawasan Nusantara dan
penggemblengan mental-karakter bangsa; mengembangkan kearifan lokal dengan
visi global; melakukan transformasi dari pembangunan berbasis ”modal natur”
(sumber daya alam) menuju pembangunan berbasis ”modal kultural” (ilmu dan
teknologi), dengan menggalakkan budaya baca dan meneliti serta kreativitas
inovasi masyarakat.
Tidak
ada perubahan besar dalam sejarah tanpa perubahan mental. Demi mewujudkan
cita-cita nasional yang terbengkalai, setiap orang harus ambil bagian dalam
gelombang revolusi mental. Pemerintahan baru, siapa pun yang terpilih, harus
memenuhi panggilan sejarah ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar