Media
dalam Kontestasi Politik 2014
Ahmad
Sahide ; Mahasiswa Program Doktor Sekolah
Pascasarjana UGM
|
KOMPAS,
12 Juni 2014
Berita tidaklah dibentuk dalam ruang hampa. Berita
diproduksi dari ideologi dominan. Matthew
Kieran
Kampanye
politik para calon presiden dan calon wakil presiden menjelang 9 Juli telah
meramaikan jagat kehidupan masyarakat Indonesia dan dunia internasional
akhir-akhir ini.
Dalam
menyemarakkan pesta demokrasi ini, media—baik cetak maupun
elektronik—tentulah punya peran sangat dominan. Tak bisa dimungkiri bahwa
pemberitaan melalui media massa punya pengaruh sangat besar dalam memengaruhi
persepsi publik. Tidak heran, beberapa media nasional pun terindikasi oleh
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan penyimpangan dalam pemberitaan
menjelang pemilihan presiden 9 Juli nanti (Kompas, 4/6/2014).
Beberapa
media mengeksploitasi kekurangan pasangan calon tertentu yang bertujuan untuk
menjatuhkan. Kampanye negatif pun marak disuguhkan kepada publik hari ini.
Benarlah kata Kieran di atas bahwa berita tidaklah dibentuk dari ruang yang
hampa. Berita diproduksi dari ideologi yang dominan. Ideologi itulah yang
memengaruhi framing (pembingkaian) dalam pemberitaan. Oleh karena itu, publik
seharusnya memahami ideologi di balik sebuah media.
”Framing” dan ideologi
Dalam
dunia jurnalistik tentulah tidak asing lagi istilah framing dalam pemberitaan, yakni berkaitan dengan bagaimana
realitas dibingkai dan disajikan kepada khalayak. Sebuah berita bisa jadi
dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh media. Proses membingkai dan
menyajikan fakta itu sendiri sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dimiliki
media tersebut.
Peta
ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan dalam
tempat-tempat tertentu. Ideologi juga memengaruhi bagaimana sesuatu itu
dibahasakan sehingga menghasilkan makna atau pesan yang berbeda.
Di
situlah letak kekuatan bahasa yang mampu menguasai publik yang
mengonsumsinya. Kekuasaan itu sendiri tidak terlepas dari bahasa. Maka, media
pun bertarung dalam bahasa yang dibingkai, yang sangat dipengaruhi oleh
ideologi atau kepentingan dari media tersebut.
Penulis
yakin sebagian besar rakyat Indonesia yang menonton kontestasi politik hari
ini mengatakan Jokowi-JK baik dan Prabowo-Hatta kurang baik, atau sebaliknya,
lebih karena pemberitaan lewat media. Bukan karena mengetahui secara dekat
tokoh tersebut.
Proses
pembingkaian dalam pemberitaan oleh beberapa media inilah yang mendapatkan
perhatian dari KPI. Media televisi seperti TVOne, RCTI, MNC TV, dan Global TV
memiliki porsi pemberitaan yang lebih banyak untuk kandidat nomor urut satu,
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sebaliknya, MetroTV dinilai lebih banyak
memberikan porsi pemberitaan untuk Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Model
pembingkaian pemberitaan yang berbeda tersebut tentulah dipengaruhi oleh
kepentingan (ideologi) dari masing- masing media, di mana ideologinya lebih
banyak ditentukan oleh kepemilikan media tersebut. TVOne, misalnya, lebih banyak
memberikan porsi pemberitaan untuk pasangan Prabowo-Hatta karena Aburizal
Bakrie selaku pemiliknya adalah koalisi politik Prabowo-Hatta dalam
menghadapi pilpres mendatang. Begitupun RCTI, MNC TV, dan Global TV yang
dinilai lebih berpihak pada pasangan nomor urut satu tersebut karena Hary
Tanoesoedibjo, pemiliknya, berlabuh ke gerbong Prabowo-Hatta setelah gagal
mendapatkan target politiknya bersama Wiranto dan partainya, Hanura.
Sementara
MetroTV cenderung mengangkat pasangan Jokowi-JK karena pemiliknya, Surya
Paloh—yang juga Ketua Umum Nasdem—bergabung dalam barisan Jokowi-JK. Itulah
yang memengaruhi perbedaan dalam proses membingkai dan membahasakan apa pun
terkait dengan pasangan tersebut.
Seperti
itulah peran media dalam kontestasi politik untuk memilih pemimpin 9 Juli
nanti. Tentu banyak media lokal lainnya yang terperangkap oleh ideologi dari
pemiliknya dalam membingkai berita terkait dengan kedua pasangan tersebut,
mengangkat atau menjatuhkan.
Pengaruh media
Sudah
cukup lama Alvin Toffler menuliskan fenomena ini bahwa yang akan kita peroleh
bukannya demokrasi, melainkan teknokrasi, di mana kekuasaan politik
dimonopoli oleh kelas ketiga (pemilik media). Lebih dari 10 tahun silam,
Silvio Berlusconi berhasil merebut kursi kekuasaan di Italia karena menguasai
media. Kita pun akrab dengan jargon bahwa siapa yang menguasai media maka
dialah yang menguasai dunia. Contoh lain adalah tergulingnya Muhammad Mursi
dari kursi kepresidenan Mesir, awal Juli 2013, tidak lepas dari
ketidakberpihakan media kepada dirinya.
Seperti
itulah pengaruh media dalam kancah politik saat ini, baik nasional maupun
internasional. Media menjadi sangat menentukan untuk membunuh atau mengangkat
sang tokoh. Menyadari pentingnya peran media itulah yang membuat para capres berlomba
menggaet kelas ketiga di atas, pemilik media. Untungnya, para pemilik media
tidak hanya berlabuh dalam satu gerbong koalisi sehingga terjadi kontestasi
dalam memengaruhi publik lewat media.
Peran
media memang sangat besar dalam memunculkan figur tertentu sebagai pemimpin,
tetapi media bukanlah segalanya. Rakyat Indonesia baru saja mendapatkan
pelajaran dari hal tersebut, yakni menjelang pemilihan anggota legislatif 9
April lalu.
Saat itu
Partai Hanura lebih awal mendeklarasikan pasangan capres-cawapresnya, yaitu
Wiranto-Hary Tanoesoedibjo (HT). Setelah itu, kedua tokoh ini hampir setiap
saat dapat disaksikan oleh masyarakat Indonesia lewat jaringan televisi milik
HT, MNC TV Group. Faktanya, dalam pileg lalu, Hanura adalah peraih suara
paling sedikit dari parpol yang lolos electoral threshold.
Artinya,
walaupun punya pengaruh yang sangat besar, media bukanlah segalanya. Apakah
kekuasaan politik Indonesia ke depan akan ditentukan oleh kelas penguasa
media? Rakyatlah yang menentukan dan berbicara. Yang pasti, kita berharap
rakyat harus lebih pandai mengonsumsi pemberitaan lewat media yang tidak
lahir dari ruang yang hampa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar