Catatan
tentang Distribusi Pendapatan
Udi
H Pungut ; Peneliti pada Indonesia Research and
Strategic Analysis (IRSA)
|
KOMPAS,
11 Juni 2014
DISTRIBUSI pendapatan yang makin
timpang menjadi catatan buruk perkembangan ekonomi selama era Reformasi.
Headline Kompas (4/4/2014) mengingatkan kita akan hal itu. Pemerintah boleh
jadi belum cukup melakukan fungsi redistribusi dan atau kebijakan yang
dilakukan tidak terlihat dampaknya.
Selama era Reformasi telah
terjadi peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan secara konsisten. Pada
2013, indeks Gini—ukuran ketimpangan distribusi¬—mencapai 0,41, tertinggi
sepanjang sejarah Republik Indonesia. Indeks Gini naik 10 poin dari 0,31 pada
tahun 1999.
Kecenderungan itu tentu membuat
miris, terlebih lagi itu terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang
tidak terlalu tinggi.
Setidaknya ada tiga alasan
mengapa pemerataan pendapatan itu penting. Pertama, seperti dilaporkan IMF
(2014), ”ada bukti makin kuat bahwa ketimpangan pendapatan yang tinggi dapat
mengganggu pertumbuhan dan stabilitas perekonomian”.
Kedua, ketimpangan yang terlalu
tinggi memperbesar peluang terjadinya kriminalitas, kerusuhan sosial, dan
ketidakstabilan politik. Ketiga, berkaitan dengan rasa keadilan: distribusi
merata sempurna mustahil terjadi, tetapi ketimpangan yang membesar
mengindikasikan perekonomian makin jauh dari keadilan.
Masalah pengukuran
Untuk dimaklumi, ketimpangan
bersifat relatif dan hampir dipastikan akan selalu terjadi. Ketimpangan dapat
saja naik walaupun pendapatan penduduk miskin naik pula. Sebaliknya,
penurunan pendapatan penduduk miskin tidak selalu menyebabkan ketimpangan
meningkat. Distribusi pendapatan yang makin timpang tidak serta-merta berarti
telah terjadi proses pemiskinan atau kegagalan program keluar dari
kemiskinan.
Mereka yang serius mengamati
distribusi pendapatan akan menyadari bahwa metodologi yang digunakan Badan
Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur ketimpangan menimbulkan dua akibat penting.
Pertama, ketimpangan yang dilaporkan cenderung rendah (underestimate). Kedua, perkembangan ketimpangan dapat menciptakan
”sinyal palsu”: subsidi bagi kelompok miskin tidak berguna bagi pemerataan.
Seperti diketahui, BPS mengukur
indeks Gini berdasarkan pengeluaran rumah tangga. Data pengeluaran dianggap
lebih akurat daripada data pendapatan, dan lebih andal (reliable) sebagai ukuran kesejahteraan rumah tangga.
Masalahnya, rasio tabungan pada
umumnya naik sejalan dengan peningkatan pendapatan. Orang miskin cenderung
mengeluarkan semua pendapatannya untuk konsumsi. Sementara pada orang kaya,
makin besar pendapatan yang ditabung. Ini yang menyebabkan tingkat
ketimpangan akan cenderung rendah.
Manfaat subsidi atas barang dan
jasa tidak akan ”terlihat” pada distribusi pendapatan yang diukur dengan data
pengeluaran. Subsidi yang dimaksudkan untuk mengurangi beban penduduk miskin
tentu akan memperkecil pengeluaran mereka. Perluasan program beras miskin,
pelayanan kesehatan, dan pendidikan gratis dapat mengakibatkan ketimpangan
makin tinggi.
Catatan di atas tentu saja bukan
pemaafan atas peningkatan ketimpangan yang terjadi selama ini. Patut diduga,
balas jasa atas faktor produksi yang dimiliki orang kaya (aset keuangan dan
modal) naik lebih cepat daripada kenaikan upah dan keuntungan usaha kecil dan
informal.
Subsidi dan transfer yang
diberikan kepada penduduk berpendapatan rendah tampaknya tidak dapat menutup
kesenjangan itu.
Skema redistribusi
Ketimpangan pendapatan terjadi
karena ketimpangan kepemilikan dan perbedaan harga faktor produksi. Reformasi
agraria adalah satu bentuk pemerataan aset, dalam hal ini lahan pertanian.
Dengan redistribusi lahan,
pendapatan petani menjadi lebih merata. Sayangnya, kebijakan itu dapat
menimbulkan biaya efisiensi berupa penurunan produktivitas sektor pertanian
secara keseluruhan.
Dari sisi harga faktor produksi,
kenaikan upah minimum akan membuat distribusi pendapatan lebih merata. Risiko
penurunan penyerapan tenaga kerja yang ditimbulkannya mungkin tidak sebesar
yang kita duga sehingga resistansi terhadap kebijakan upah minimum makin
berkurang.
Dalam jangka panjang, pemerataan
kualitas sumber daya manusia tentu lebih penting untuk pemerataan pendapatan.
Itu dapat dilakukan melalui subsidi biaya pendidikan dan pelayanan kesehatan
yang lebih berkualitas.
Jika perlu tindakan
”revolusioner”, yang dapat dilakukan adalah mencabut subsidi BBM dan
mengalokasikannya untuk subsidi yang mempunyai dampak distributif.
Pembangunan infrastruktur pertanian adalah di antaranya. Akankah pemerintah
yang akan datang berani membuat kebijakan yang tidak populer itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar