Dolly,
Risma, dan Makna Pemimpin
M
Anwar Djaelani ; Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
|
JAWA
POS, 21 Juni 2014
DOLLY, lokalisasi pelacuran di
Surabaya, adalah ’’penyakit’’ yang mengganggu. Dengan statusnya sebagai yang
terbesar di Asia Tenggara, keberadaannya tidak hanya mengganggu ’’wajah’’
Kota Pahlawan, tapi juga Indonesia dan bahkan Islam. Karena itu, adakah
pelajaran setelah deklarasi penutupan di bawah komando Risma, sang wali kota?
Berat tapi Mulia
Dolly Tinggal Memori, Setelah 40
Tahun Jadi Lokalisasi Terbesar Se-Asia Tenggara. Kalimat itu menjadi judul
berita utama Jawa Pos pada hari ketika lokalisasi pelacuran tersebut
direncanakan ditutup selamanya lewat sebuah deklarasi warga pada 18 Juni
2014.
Dolly menempati areal sekitar 2
hektare, yaitu di gang-gang di kawasan Putat Jaya, Surabaya. Dolly
disebut-sebut mengalahkan distrik ’’lampu merah’’ di Phat Pong, Bangkok, dan
Geylang, Singapura. Sekadar tambahan ilustrasi, pada 2004 saja –lewat liputan
investigatif– Jawa Pos melaporkan bahwa uang yang berputar di Dolly mencapai
Rp 5 miliar sehari.
Bagi siapa pun yang berpegang
pada agama, Dolly adalah masalah dan bahkan –dalam ’’bahasa’’ Islam–
merupakan kemungkaran. Kita tahu bahwa ada larangan berzina. Karena itu,
adanya lokalisasi pelacuran sama saja dengan memberikan jalan lapang bagi
orang untuk melawan syariat Allah.
Wali kota Surabaya pun
terpanggil untuk menyelesaikan masalah Dolly. Dengan sejumlah argumentasi dan
berbekal Peraturan Daerah No 9 Tahun 1999 tentang larangan penggunaan
bangunan untuk kegiatan prostitusi (pelacuran), niat menutup Dolly mulai
disosialisasikan.
Memang, tidak hanya akan menutup
Dolly, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah langkah untuk membantu dan
’’mengawal’’ mereka yang terimbas. Misalnya, ada bantuan modal usaha dan
pemberian keterampilan. Lebih dari itu, di bekas wisma lokalisasi akan
dibangun sentra PKL 6 lantai.
Akhirnya, sampailah pada
pelaksanaan rencana penutupan Dolly. Hal itu ditandai dengan deklarasi warga
setempat. Deklarasi berlangsung pada 18 Juni 2014 di Gedung Islamic Center,
Surabaya, pukul 19.00 dan dihadiri banyak kalangan. Tampak hadir, antara
lain, sejumlah ulama, Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri, Gubernur Jawa
Timur Soekarwo, dan tentu saja Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Ada 107 warga Putat Jaya yang
menandatangani deklarasi penutupan sentra prostitusi Dolly. Deklarasi itu
memuat empat poin utama. Pertama, warga menyepakati kawasan Putat Jaya bebas
prostitusi. Kedua, alih profesi di bidang lain yang sesuai dengan tuntunan
agama dan peraturan. Ketiga, mendukung penindakan tegas terhadap pelaku trafficking atau perdagangan orang. Keempat,
siap membangun kawasan Putat Jaya menjadi daerah yang lebih aman, maju, dan
makin baik dengan bimbingan pemerintah.
Siapa Pemberani?
Risma adalah pemimpin. Dia telah
mendemonstrasikan secara cukup baik tentang peran dan makna pemimpin.
Pertama, pemimpin –antara lain– punya peran sebagai sang pemberani yang saat
di ’’depan’’ harus bisa mengambil inisiatif dalam menegakkan kebenaran.
Kedua, pemimpin punya makna sebagai sumber inspirasi. Yaitu, tindak tanduknya
berpotensi untuk ditiru warga yang dipimpin.
Apa pun, atas apa yang telah
dilakukan Risma dalam menutup Dolly, cukup banyak pelajaran. Pertama, sebagai
pemimpin/pejabat, dia mengajarkan keberanian untuk bersikap. Sebagai wali
kota, Risma punya kekuasaan yang dijamin peraturan perundang-undangan. Atas
kewenangan yang dimiliki itu, dia memanfaatkannya dengan baik.
Terkait dengan penutupan Dolly,
misalnya, sangat boleh jadi Risma memiliki dasar pijakan yang kukuh. Di satu
sisi, sebagai muslimah, dia tahu betul bahwa amar makruf nahi mungkar
merupakan sebuah kewajiban. Lebih jauh, rasanya dia pun tahu soal ajaran
bahwa kita bisa mencegah kemungkaran dengan kekuasaan yang kita miliki. Kalau
tidak punya kekuasaan atau punya tapi tidak bisa memanfaatkannya,
berbicaralah dengan cara menegur pelaku kemungkaran. Jika cara terakhir itu
juga tidak mampu dilakukan, berdoalah agar kemungkaran tersebut bisa lenyap.
Tentu, pahala atas tiga pilihan itu berbeda. Semakin ke ’’belakang’’,
pahalanya semakin berkurang. Risma pun mengambil sikap. Yaitu, lewat
kekuasaan yang dimiliki, dia berani menutup Dolly lewat serangkaian langkah.
Kedua, langkah Risma semestinya
bisa menginspirasi pemimpin/pejabat lain di berbagai level untuk tidak ragu
dalam beramar makruf nahi mungkar. Misalnya, jika di kota mereka ada
’’Dolly’’ (aktivitas seperti Dolly di Surabaya), mereka tidak boleh ragu
untuk meniru Risma. Lebih jauh, seyogianya keberanian itu tidak hanya
ditujukan untuk masalah pelacuran, tetapi juga untuk semua jenis kemungkaran.
Ketiga, bagi masyarakat umum,
langkah Risma juga inspiratif. Langkah itu bagaikan mengajarkan bahwa jangan
pernah ragu untuk menegakkan kebenaran, meski penentangnya sangat banyak.
Yakinlah, kemenangan akan selalu berpihak kepada semua pembawa kebenaran.
Jadi, siapa pun Anda, jangan
pernah ragu dalam menegakkan amar
makruf nahi mungkar. Jadilah sang pemberani dalam menegakkan kebenaran! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar