Minggu, 22 Juni 2014

Dolly, Risma, dan Makna Pemimpin

Dolly, Risma, dan Makna Pemimpin

M Anwar Djaelani  ;   Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
JAWA POS, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DOLLY, lokalisasi pelacuran di Surabaya, adalah ’’penyakit’’ yang mengganggu. Dengan statusnya sebagai yang terbesar di Asia Tenggara, keberadaannya tidak hanya mengganggu ’’wajah’’ Kota Pahlawan, tapi juga Indonesia dan bahkan Islam. Karena itu, adakah pelajaran setelah deklarasi penutupan di bawah komando Risma, sang wali kota?

Berat tapi Mulia

Dolly Tinggal Memori, Setelah 40 Tahun Jadi Lokalisasi Terbesar Se-Asia Tenggara. Kalimat itu menjadi judul berita utama Jawa Pos pada hari ketika lokalisasi pelacuran tersebut direncanakan ditutup selamanya lewat sebuah deklarasi warga pada 18 Juni 2014.

Dolly menempati areal sekitar 2 hektare, yaitu di gang-gang di kawasan Putat Jaya, Surabaya. Dolly disebut-sebut mengalahkan distrik ’’lampu merah’’ di Phat Pong, Bangkok, dan Geylang, Singapura. Sekadar tambahan ilustrasi, pada 2004 saja –lewat liputan investigatif– Jawa Pos melaporkan bahwa uang yang berputar di Dolly mencapai Rp 5 miliar sehari.

Bagi siapa pun yang berpegang pada agama, Dolly adalah masalah dan bahkan –dalam ’’bahasa’’ Islam– merupakan kemungkaran. Kita tahu bahwa ada larangan berzina. Karena itu, adanya lokalisasi pelacuran sama saja dengan memberikan jalan lapang bagi orang untuk melawan syariat Allah.

Wali kota Surabaya pun terpanggil untuk menyelesaikan masalah Dolly. Dengan sejumlah argumentasi dan berbekal Peraturan Daerah No 9 Tahun 1999 tentang larangan penggunaan bangunan untuk kegiatan prostitusi (pelacuran), niat menutup Dolly mulai disosialisasikan.

Memang, tidak hanya akan menutup Dolly, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah langkah untuk membantu dan ’’mengawal’’ mereka yang terimbas. Misalnya, ada bantuan modal usaha dan pemberian keterampilan. Lebih dari itu, di bekas wisma lokalisasi akan dibangun sentra PKL 6 lantai.

Akhirnya, sampailah pada pelaksanaan rencana penutupan Dolly. Hal itu ditandai dengan deklarasi warga setempat. Deklarasi berlangsung pada 18 Juni 2014 di Gedung Islamic Center, Surabaya, pukul 19.00 dan dihadiri banyak kalangan. Tampak hadir, antara lain, sejumlah ulama, Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri, Gubernur Jawa Timur Soekarwo, dan tentu saja Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

Ada 107 warga Putat Jaya yang menandatangani deklarasi penutupan sentra prostitusi Dolly. Deklarasi itu memuat empat poin utama. Pertama, warga menyepakati kawasan Putat Jaya bebas prostitusi. Kedua, alih profesi di bidang lain yang sesuai dengan tuntunan agama dan peraturan. Ketiga, mendukung penindakan tegas terhadap pelaku trafficking atau perdagangan orang. Keempat, siap membangun kawasan Putat Jaya menjadi daerah yang lebih aman, maju, dan makin baik dengan bimbingan pemerintah.

Siapa Pemberani?

Risma adalah pemimpin. Dia telah mendemonstrasikan secara cukup baik tentang peran dan makna pemimpin. Pertama, pemimpin –antara lain– punya peran sebagai sang pemberani yang saat di ’’depan’’ harus bisa mengambil inisiatif dalam menegakkan kebenaran. Kedua, pemimpin punya makna sebagai sumber inspirasi. Yaitu, tindak tanduknya berpotensi untuk ditiru warga yang dipimpin.

Apa pun, atas apa yang telah dilakukan Risma dalam menutup Dolly, cukup banyak pelajaran. Pertama, sebagai pemimpin/pejabat, dia mengajarkan keberanian untuk bersikap. Sebagai wali kota, Risma punya kekuasaan yang dijamin peraturan perundang-undangan. Atas kewenangan yang dimiliki itu, dia memanfaatkannya dengan baik.

Terkait dengan penutupan Dolly, misalnya, sangat boleh jadi Risma memiliki dasar pijakan yang kukuh. Di satu sisi, sebagai muslimah, dia tahu betul bahwa amar makruf nahi mungkar merupakan sebuah kewajiban. Lebih jauh, rasanya dia pun tahu soal ajaran bahwa kita bisa mencegah kemungkaran dengan kekuasaan yang kita miliki. Kalau tidak punya kekuasaan atau punya tapi tidak bisa memanfaatkannya, berbicaralah dengan cara menegur pelaku kemungkaran. Jika cara terakhir itu juga tidak mampu dilakukan, berdoalah agar kemungkaran tersebut bisa lenyap. Tentu, pahala atas tiga pilihan itu berbeda. Semakin ke ’’belakang’’, pahalanya semakin berkurang. Risma pun mengambil sikap. Yaitu, lewat kekuasaan yang dimiliki, dia berani menutup Dolly lewat serangkaian langkah.

Kedua, langkah Risma semestinya bisa menginspirasi pemimpin/pejabat lain di berbagai level untuk tidak ragu dalam beramar makruf nahi mungkar. Misalnya, jika di kota mereka ada ’’Dolly’’ (aktivitas seperti Dolly di Surabaya), mereka tidak boleh ragu untuk meniru Risma. Lebih jauh, seyogianya keberanian itu tidak hanya ditujukan untuk masalah pelacuran, tetapi juga untuk semua jenis kemungkaran.

Ketiga, bagi masyarakat umum, langkah Risma juga inspiratif. Langkah itu bagaikan mengajarkan bahwa jangan pernah ragu untuk menegakkan kebenaran, meski penentangnya sangat banyak. Yakinlah, kemenangan akan selalu berpihak kepada semua pembawa kebenaran.

Jadi, siapa pun Anda, jangan pernah ragu dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar. Jadilah sang pemberani dalam menegakkan kebenaran!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar