Capres
dan Perlindungan Petani
Toto
Subandriyo ; Praktisi Sektor Pertanian
|
KORAN
SINDO, 31 Mei 2014
Berita
tentang kelangkaan pupuk di sentra produksi pangan beberapa waktu terakhir
nyaris tak terdengar. Berita ini tenggelam oleh gencarnya pemberitaan drama
politik yang disuguhkan para elite partai politik Tanah Air.
Berita
tentang penggalangan koalisi sesama partai politik untuk mengusung calon
presiden/ wakil presiden (capres/cawapres), nyaris tak menyisakan ruang bagi
berita-berita penting lainnya. Kondisi kelangkaan pupuk ini mengindikasikan
bahwa upaya perlindungan kepada petani dari tahun ke tahun tidak terlihat
kemajuannya.
Padahal
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani telah menegaskan bahwa petani harus mendapatkan perlindungan dalam
menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi,
ketersediaan lahan, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik
ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.
Secara
kasatmata, kue pembangunan berupa anggaran subsidi sarana produksi untuk
meringankan beban petani selalu ”dirampok” oleh oknumoknum tak bertanggung
jawab. Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat mencatat tidak kurang dari 400 kasus
penyelewengan pupuk bersubsidi. Pada Juni 2012, petugas Bea dan Cukai
Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menggagalkan penyelundupan 20 kontainer
pupuk bersubsidi ke Malaysia.
Pada
September tahun yang sama, kembali digagalkan upaya penyelundupan empat
kontainer pupuk urea bersubsidi ukuran 20 kaki ke Malaysia di Pelabuhan
Tanjung Priok. Penulis yakin, tidak lama lagi, saat para capres/cawapres
melakukan ritual ”menebar angin surga” pada kampanye pemilihan umum presiden
(pilpres), isu-isu tentang pertanian dan petani akan menjadi jualan politik
utama para capres/cawapres.
Hal itu
disebabkan petani merupakan entitas sosial terbesar di negeri ini sehingga entitas
sosial ini menjadi sangat seksi untuk diperebutkan seluruh pasangan kandidat.
Entitas petani akan menjadi lumbung suara yang sangat menentukan kemenangan
capres/cawapres. Menurut Sensus Pertanian Tahun 2013, jumlah rumah tangga
usaha pertanian (RTP) mencapai 26,14 juta RTP.
Jika
diasumsikan setiap RTP terdiri dari empat jiwa, dalam entitas sosial ini
terdapat minimal 104,6 juta jiwa yang kehidupannya secara struktural
bergantung pada sektor pertanian. Jika kedaulatan ada di tangan rakyat,
demokrasi menjadi pilar ideologi yang dijunjung tinggi, maka sebagai entitas
sosial terbesar, secara teori para petani akan menjadi pemegang kedaulatan di
Republik ini. Mereka akan menempati posisi terhormat secara sosial, ekonomi,
maupun politik.
Menurut
hitung-hitungan matematika sederhana, jika rata- rata setiap RTP punya tiga
hak suara dalam pemilu presiden/ wakil presiden (Pilpres) 9 Juli nanti, maka
dari entitas sosial ini akan dapat didulang sedikitnya 78 juta suara. Jumlah
yang sangat signifikan untuk dapat mengantarkan seorang capres/cawapres
menuju kursi RI-1 dan RI-2.
Inferior
Namun,
realitas kehidupan tidak selamanya berjalan linier sesuai pakem dan
teori-teori sosial politik. Meminjam tesis ekonom India, Arun Jaetly, sektor
pertanian di Indonesia adalah sektor yang penting secara ekonomi, sensitif
secara politik, namun sangat inferior secara sosial. Dalam konteks
perekonomian nasional, sektor pertanian sangat penting karena merupakan
penyumbang produk domestik bruto (PDB) utama dan penyedia lapangan kerja
terbesar.
Sebaliknya,
ditinjau dari sisi sosial sektor pertanian memiliki posisi yang sangat
inferior. Sektor ekonomi yang satu ini dari tahun ke tahun selalu identik
dengan kantong kemiskinan. Sekitar 68,55% penduduk miskin di Indonesia
tinggal di wilayah pedesaan, sebagian besar berprofesi sebagai petani (BPS,
2007). Jumlah rumah tangga petani gurem (petani yang menggarap kurang dari
0,5 hektare) pada tahun 2013 mencapai jumlah 14,25 juta rumah tangga atau
sebesar 55,33% dari rumah tangga pertanian pengguna lahan.
Tingkat
kesejahteraan petani dari tahun ke tahun mengalami stagnasi, bahkan cenderung
mengalami penurunan. Angka nilai tukar petani (NTP) yang menjadi salah satu
tolok ukur tingkat kesejahteraan petani tidak menunjukkan angka yang
menggembirakan.
Data Institute for Development of Economics and
Finance (Indef) yang tertuang dalam laporan bertajuk ”Kebijakan Ekonomi 5 tahun Mendatang: Merebut Momentum, Membalik
Keadaan”, yang dipublikasikan belum lama ini menyimpulkan bahwa terjadi
penurunan NTP dari 117 pada 2004 menjadi 107 pada 2013. Hal itu antara lain
disebabkan sepanjang sejarah pembangunan sektor pertanian cenderung bias
perkotaan (urban bias), membela kepentingan konsumen perkotaan dan industri.
Secara
kasatmata, petani selalu dihadapkan pada dua kekuatan eksploitasi ekonomi.
Pada pasar faktor produksi, seperti pupuk, benih, obat-obatan, dan sarana
produksi lainnya, mereka selalu dihadapkan pada kekuatan pasar monopolistis.
Giliran menjual hasil panen, mereka berhadapan dengan kukuhnya tembok pasar
monopsonistis.
Untuk
itulah, petani memimpikan hadirnya seorang capres/cawapres yang memiliki rasa
kepedulian yang tinggi, memiliki rasa empati, serta rasa keberpihakan kepada
petani. Kepedulian, empati, dan keberpihakan tersebut merupakan sebuah
keniscayaan untuk membantu para petani dalam menghadapi kegagalan pasar (market failure) akibat tak
terpenuhinya asumsi-asumsi dasar pembangunan.
Sosok
capres/cawapres impian petani adalah sosok yang secara gigih dan tulus
memperjuangkan hak-hak normatif petani. Sosok yang mau hadir di tengah-
tengah petani dan berusaha menjadi bagian dari solusi semua persoalan yang
dihadapi. Dari kelangkaan pupuk seperti yang terjadi saat ini, mahalnya harga
benih impor, terpuruknya harga jual komoditas pangan saat panen raya,
rusaknya sarana infrastruktur pertanian, hingga terbatasnya akses permodalan
dan pemasaran.
Pendek
kata, sosok capres/cawapres impian petani adalah sosok yang mau menjadi teman
abadi bagi petani. Bukan sosok yang menjadikan petani hanya teman sementara
demi tercapainya tujuan politik jangka pendek semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar