Minggu, 01 Juni 2014

Meluruskan Kiblat Bangsa

Meluruskan Kiblat Bangsa

Biyanto ;  Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
KORAN SINDO,  31 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Muhammadiyah baru saja melaksanakan Sidang Tanwir di Samarinda, Kalimantan Timur. Permusyawaratan tertinggi setelah muktamar ini dilaksanakan pada 23-25 Mei 2014.

Agenda tahunan ini penting karena dilaksanakan dalam suasana menjelang pemilihan presiden (pilpres). Tidak ketinggalan, calon presiden (capres) Joko Widodo dan Prabowo Subianto serta calon wakil presiden (cawapres) Jusuf Kalla, berkenan hadir. Secara bergiliran, mereka menyampaikan visinya jika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. Meski dihadiri capres dan cawapres, Muhammadiyah berkomitmen untuk tidak terjebak pada sikap dukung mendukung.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan, bukanlah watak Muhammadiyah untuk bermain dalam ranah politik praktis. Yang dimainkan Muhammadiyah adalah politik adiluhung (high politic) demi pilpres yang bermartabat. Dengan demikian, Muhammadiyah berkomitmen untuk menjadi gerakan pencerahan (al-harakah al-tanwiriyah).

Fungsi dakwah yang mencerahkan itulah yang dilakukan Muhammadiyah dalam sejarah perkembangannya. Jika menengok sejarah, konteks kelahiran Muhammadiyah jelas terkait dengan kondisi umat yang terbelakang di segala bidang. Kehidupan berbangsa saat itujugamasih di bawah pengaruh kolonialisme. Di antara kisah populer yang menunjukkan kiprah pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, adalah tatkala beliau meluruskan arah kiblat Masjid Besar Kauman.

Ikhtiar Dahlan itu kemudian memicu konflik dengan pejabat pemerintah, Kanjeng Penghulu Kamaludiningrat. Akibatnya, musala tempat pengajian Dahlan dan murid-muridnya dirobohkan. Peristiwa perobohan musala itu sama sekali tidak menyurutkan dakwah Dahlan. Dakwah beliau semakin meluas, tidak hanya berhenti pada usaha meluruskan arah kiblat untuk salat.

Dahlan juga memelopori penggunaan bahasa Jawa dan Melayu untuk berkhotbah, pengelolaan haji, program mubalig keliling, salat Idul Fitri dan Idul Adha di lapangan, penafsiran Alquran dengan bahasa lokal, dan pembentukan badan amil zakat. Di bidang pendidikan, Dahlan juga mengupayakan terbentuknya sekolah modern dengan sistem klasikal. Kurikulum pendidikannya pun diperbarui dengan mengintegrasikan ilmu umum dan agama.

Dengan sistem ini, Dahlan bermimpi untuk melahirkan ulama-ilmuwan atau ilmuwan-ulama. Pembaruan Dahlan ini ditujukan untuk mengimbangi pendidikan unggul yang dimiliki pemerintah kolonial Belanda dan umat kristiani. Di bidang kesehatan, Dahlan juga meletakkan dasar-dasar pembangunan rumah sakit melalui badan yang bernama Penolong Kesejahteraan Oemum (PKO).

Tokoh Budi Utomo, Dokter Soetomo, yang pernah menjabat penasihat Hoofdbestuur (pimpinan pusat) Muhammadiyah bidang kesehatan, merupakan figur yang sangat berjasa dalam pengembangan rumah sakit. Pada 1924, Dokter Soetomo ditunjuk untuk meresmikan Poliklinik PKO Muhammadiyah yang berada di Jalan KH Mas Mansur, Surabaya.

Saat berpidato, Dokter Soetomo menyampaikan alasan dirinya bergabung dengan Muhammadiyah. Ia menyampaikan bahwa paham ”kewelasasihan” yang diajarkan Dahlan melalui berbagai kegiatan PKO telah memikat hatinya. Tatkala meresmikan PKO Surabaya, Soetomo mengajak undangan untuk menyumbang. Ajakan Soetomo disambut hadirin dengan antusias.

Peristiwa ini menarik karena sebagian besar undangan adalah ”noni-noni” Belanda. Dengan sukarela noni-noni Belanda menyerahkan cincin, gelang, dan kalung yang dikenakannya untuk disumbangkan pada Muhammadiyah. Jika melihat kiprahnya, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa semua yang dilakukan Dahlan telah melampaui zamannya.

Akibatnya, Dahlan harus menerima kenyataan dicemooh dan dituduh sebagai antek penjajah dan agen Kristen. Dahlan juga dituduh telah melecehkan agama karena berani melakukan praktik keagamaan yang masih asing. Semua tuduhan dan ancaman itu tidak menciutkan nyali Dahlan untuk berdakwah. Dakwah Dahlan memberantas takhayul, bidah, dan churafat (TBC) semakin menggelora hingga ajal menjemputnya pada 1923.

Kini Muhammadiyah telah sukses melewati usia satu abad. Yang patut disyukuri, Muhammadiyah sejak kelahirannya hingga kini masih konsisten berkiprah untuk menyinari negeri. Muhammadiyah tetap berkhidmat untuk melakukan dakwah amar makruf nahi munkar, tanpa sekalipun tergoda menjadi partai politik. Yang menarik dinanti adalah kiprah Muhammadiyah dalam konteks kekinian. Terutama menjelang pilpres yang sangat menentukan masa depan bangsa.

Karena tantangan yang dihadapi saat ini berbeda, orientasi dakwah Muhammadiyah tidak boleh hanya berhenti pada memberantas TBC. Dakwah Muhammadiyah harus mencakup seluruh aspek, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika pada awal kelahirannya, ideolog Muhammadiyah berhasil meluruskan arah kiblat salat, pertanyaannya mampukah generasi Muhammadiyah masa kini meluruskan arah kiblat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal itu penting karena situasi kehidupan berbangsa dan bernegara kini sedang menghadapi banyak persoalan. Berbagai persoalan itu meliputi kemandirian bangsa, perekonomian yang tak kunjung beranjak, korupsi yang semakin menjadi, pendidikan yang belum mencerahkan, terorisme, dan dinamika politik yang cenderung memanas jelang pilpres. Untuk itulah, medan dakwah Muhammadiyah harus digeser dari memberantas TBC pada membantu tugas negara agar cepat keluar dari persoalan yang dihadapi.

Dalam bidang politik kebangsaan, dakwah Muhammadiyah harus mencerahkan rakyat sehingga menjadi pemilih rasional dalam pilpres nanti. Seruan ini penting karena di ujung pilihan rakyat itulah masa depan bangsa dipertaruhkan. Sejauh ini Muhammadiyah telah menunjukkan keprihatinan mendalam dalam kehidupan berbangsa.

Misalnya Muhammadiyah telah memelopori gerakan antikebohongan. Itu dimaksudkan agar elite negeri ini berintegritas dan memiliki kesamaan kata dengan perbuatan. Muhammadiyah juga bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang terlalu mudah memberikan izin perusahaan asing untuk mengeksploitasi kekayaan alam.

Hal itu ditunjukkan tatkala Muhammadiyah memelopori pengajuan judicial review terhadap keberadaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Ikhtiar Muhammadiyah membuahkan hasil dengan dibubarkannya BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, ikhtiar Muhammadiyah saat itu awalnya dicibir karena dianggap tidak berkompeten untuk mengajukan judicial review BP Migas.

Harus dipahami, komitmen Muhammadiyah terhadap persoalan Migas merupakan bagian dari ikhtiar untuk meluruskan arah kiblat dalam kehidupan berbangsa. Karena itu menarik dinanti kiprah Muhammadiyah di bidang yang lain, termasuk politik kebangsaan jelang pilpres 9 Juli mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar