Monumen
Kegagalan
Aris
Setiawan ; Penulis
|
TEMPO.CO,
31 Mei 2014
Indonesia
memiliki ribuan monumen untuk menghormati segala jasa perjuangan para
pahlawan, mengandung misi sejarah, politik, sosial, geografis, budaya, dan
ekonomi. Monumen senantiasa berisi tentang peringatan atas keberhasilan dan
kemuliaan. Kita jarang menjumpai monumen yang memperingati kegagalan,
kekalahan, dan kebodohan. Padahal ada kalanya kekalahan dan kegagalan justru
lebih banyak dijumpai daripada kemenangan dan keberhasilan.
Kita
berusaha mengangkat apa-apa yang baik, tanpa pernah mengingat yang buruk.
Kita dimanjakan dengan keberhasilan semu, dengan hadirnya banyak monumen.
Peristiwa korupsi, kekerasan seksual terhadap anak, dan kemiskinan bukankah
telah menjadi peristiwa besar di negeri ini yang patut untuk kita monumenkan?
Mengenang keburukan bukan berarti hendak mengulang dan mengagungkannya. Tapi,
sebaliknya, sebagai medan kontemplasi sekaligus koreksi untuk tak jatuh di
lubang serupa.
Monumen
tak ubahnya simbol yang mempresentasikan kuatnya masa lalu. Menjelajahi
monumen berarti menelisik peristiwa besar yang pernah terjadi di negeri ini.
Monumen mengekalkan kuasa seorang penguasa. Sukarno dan Soeharto adalah bapak
monumen Indonesia, banyak membangun, dan membekukan sebuah kisah.
Patung-patung para pahlawan bertebaran, peristiwa sakral diabadikan lewat
monumen. Masyarakat diharapkan melek sejarah dengan melihat dan menziarahi
monumen.
Namun
banyak monumen yang telah beralih fungsi menjadi tempat pelancongan dan
bisnis pariwisata. Masyarakat abai dalam membaca sejarah. Monumen adalah
tempat menyenangkan untuk berfoto ria dan memadu kasih para pemuda-pemudi.
Monumen kehilangan kesakralannya. Sejak awal kita sudah dibiasakan melihat
monumen sebagai simbol atas keberhasilan dan kesuksesan. Akibatnya, kita
jarang menitikkan air mata kala pergi ke monumen. Semua berisi tawa dan
canda. Monumen tak ubahnya tempat hiburan yang menyenangkan.
Indonesia
dewasa ini perlu segera membuat monumen kegagalan. Kita bisa saja membuat
monumen tentang perilaku korupsi, keserakahan, atau kekerasan seksual
terhadap anak, kemiskinan, dan buruknya kualitas pendidikan. Monumen itu
dibuat dengan dalih penyadaran. Monumen korupsi, misalnya, dapat diisi dengan
patung-patung koruptor yang tertawa licik seolah mengejek sambil membawa
sekoper uang. Masyarakat menziarahi monumen korupsi dengan perasaan marah dan
luka, menimbulkan rasa benci. Mereka bisa saja melempari patung itu dengan
telur busuk atau merusaknya. Kita juga tak pernah melihat monumen kekalahan
kita oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Semua monumen berkisah tentang
kemenangan atas kaum penjajah itu. Masyarakat dari awal dimanjakan dengan
pelbagai narasi kemenangan dan keberhasilan. Akibatnya, kita jarang mampu
menerima kegagalan serta kekalahan dengan hati lapang dan ikhlas.
Perilaku
licik dalam perebutan kekuasaan, kekerasan, dan anarkistis lahir karena kita
tak terbiasa kalah dan gagal. Kita semua seolah dibentuk untuk menjadi
manusia sempurna tanpa cacat. Monumen mengekalkan pelbagai kisah itu.
Kehadiran monumen sekaligus juga menjadi tolok ukur sebuah peradaban dan
kebudayaan dibentuk. Sudah saatnya kita membuat Monumen Kegagalan di segala
bidang kehidupan sebagai penyeimbang, agar kita sadar bahwa hidup tak semanis
apa yang dibayangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar