Ayo
Memilih Presiden
Komaruddin
Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 20 Juni 2014
Dibandingkan
pemilihan calon anggota legislatif, pemilihan calon presiden (pilpres) jauh
lebih simpel karena yang dipilih hanya dua pasangan: nomor 1 atau nomor 2.
Terlepas
dari diskusi dan perdebatan terhadap kualitas capres-cawapres, semuanya
adalah putra-putra bangsa yang sudah berkorban moril-materiil dan memiliki
tekad untuk memimpin pemerintahan Indonesia lima tahun ke depan. Tekad dan
pengorbanan itu mesti kita hargai. Belum tentu para pengamat dan komentator
politik yang meramaikan wacana publik memiliki nyali dan modal untuk maju
ikut bertanding.
Meski
pilpres belum terlaksana, sesungguhnya secara moril kedua pasangan sudah
menjadi pemenang. Mereka adalah orang-orang terpilih yang dengan gigih
memperjuangkan hak-haknya untuk tampil menjadi pemimpin bangsa dengan
penduduk sekitar 240 juta jiwa. Betapa besar tanggung jawab yang mesti
dipikul andai mereka nantinya terpilih. Karena itu, dari segi niat dan tekad,
empat orang itu sudah menjadi pemenang.
Bayangkan
saja, apa yang akan terjadi dengan sistem pemerintahan kita kalau tak ada
yang mau maju bertanding memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden?
Tidak mungkin jarum sejarah diputar kembali ke zaman primitif. Pemilu ini
sangat strategis maknanya bagi perjalanan bangsa Indonesia. Sebuah tahapan
dan proses pendewasaan berdemokrasi sehingga diharapkan ke depan nanti kita
beranjak dari demokrasi prosedural naik menjadi demokrasi yang lebih
substansial dan fungsional.
Di
antara cirinya adalah masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran untuk memilih
wakil rakyat dan pemimpin yang terbaik, karena jika salah memilih, yang akan
celaka dan dirugikan adalah bangsa dan rakyat sendiri. Diperkirakan, rakyat
kita yang sadar dan melek demokrasi tak mencapai angka 20%. Artinya, menjadi
wajar kalau seseorang ketika memilih calon bupati, gubernur, wakil rakyat
atau capres nanti tanpa disertai pengetahuan dan pertimbangan rasional.
Bisa
jadi karena semata hubungan kekerabatan, merasa satu kelompok keagamaan,
kesamaan etnis, atau karena menerima uang ”serangan fajar” di hari
pencoblosan. Semua itu merupakan realitas bangsa dan masyarakat kita yang
mesti kita terima meski harus ada upaya pendidikan dan perbaikan dari waktu
ke waktu. Dalam hal ini parpol mesti tampil ke depan sebagai pelopor
pendidikan politik bagi warga negara dan menganjurkan serta mengajak agar
pilpres ini berjalan fair dan damai.
Kalau
para pendukung di bawah ada yang fanatik dan brutal, itu pun bisa dimaklumi.
Bukankah para suporter Persib dan Persija juga fanatik dan kadang brutal?
Padahal mereka tidak mendapatkan upah dan janji apa-apa. Hanya saja, agenda
pilpres sangat berbeda nilai dan implikasi strategisnya bagi bangsa dan
pemerintahan ke depan. Jangan sampai dicederai dengan konflik berdarah-darah
karena akan fatal akibatnya, antara lain rakyat akan semakin tidak percaya
pada demokrasi dan parpol.
Akan
menyulitkan pemerintah untuk melakukan estafet panggung politik nasional
dengan elegan dan indah. Dunia luar pun akan memandang bangsa ini masih
barbar. Pendeknya, jika rakyat dan dunia tidak percaya kepada Pemerintah
Indonesia, agenda pembangunan ekonomi dan aspek lain akan terhambat. Pasti
inflasi dan pengangguran akan tinggi. Konsumsi tidak bisa distop, sementara
pertumbuhan ekonomi mandek. Sejauh ini suasana menjelang pilpres masih
terkendali.
Rakyat
juga tidak senang dengan berbagai kampanye hitam yang membuat gerah dan
lelah. Sesungguhnya antarparpol yang bersaing tak lagi memiliki perbedaan
ideologi tajam yang akan membangkitkan militansi tinggi antarpendukungnya.
Namun ketika emosi dan simbol agama dibawa-bawa dan dilibatkan, biasanya
orang mudah terpancing. Karena itu, sebaiknya kita berkompetisi secara
rasional saja. Lebih menekankan keunggulan visi, misi, program, dan
bayang-bayang kabinetnya.
Kalau
isu agama dibawa-bawa, kebetulan semua yang bertanding adalah sosok muslim.
Tak lagi relevan menilai keimanan seseorang. Kalaupun toh suatu saat ada
calon yang bukan muslim, itu pun dilindungi oleh undang-undang dan hukum
tidak membedakan etnik serta agama bagi siapa pun yang akan maju menjadi
pemimpin di negara Pancasila yang majemuk ini. Bangsa dan negara mana pun di
dunia berkembang mengarah pada masyarakat yang plural, baik etnik maupun
agama.
Jika di
Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim bermunculan bangunan gereja dan
wihara, di Barat yang mayoritas Kristen bermunculan bangunan masjid. Ini juga
menunjukkan tumbuhnya komunitas muslim di Barat. Bahkan belum lama ini
berkumandang azan di wilayah Vatikan, pusat agama Katolik. Di situ diadakan
doa bersama lintas agama untuk perdamaian dunia.
Pemikiran
yang tidak siap menerima dan menghargai perbedaan adalah sikap tiran dan
fasis. Demokrasi adalah bagian integral dari budaya Nusantara untuk menerima
perbedaan, sejalan dengan motoBhinneka Tunggal Ika . Dengan ungkapan lain, lets celebrate the difference; accept the
difference, respect the difference, share the difference.
Sadar
akan pluralitas bangsa, mestinya kita menjadikan pemilu sebagai sebuah pesta
dan ujian naik tingkat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar lebih
matang dan dewasa. Pilihlah pasangan capres-cawapres sesuai dengan selera dan
pilihan masing-masing. Kita semua adalah saudara sebangsa dan setanah air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar