Menyoal
Pilihan Presiden dan Kebebasan Beragama
Teddy
Rusdy ; Pemerhati Kebijakan Strategis,
Asrenum Panglima ABRI/TNI 1987-1992
|
SINAR
HARAPAN, 19 Juni 2014
Di
tengah hiruk-pikuk perbincangan rakyat tentang calon presiden, saya membaca
buku terbaru karya Presiden SBY, “Selalu
Ada Pilihan: Untuk Pencinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang.”
Banyak
hal tidak terduga ternyata menjadi pilihan presiden, dari soal kebijakan
kenegaraan, isu yang menimpa istri dan anak-anak, hingga soal santet pada
keseharian, Facebook, dan Twitter-nya. Namun, ada yang belum dipilih untuk
diselesaikan, antara lain soal jaminan kebebasan menjalankan keyakinan
beragama di bumi Nusantara ini.
Saya
mengambil satu contoh saja. Dalam kasus izin pendirian Gereja Kristen
Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor yang sudah diketuk “boleh” oleh lembaga
hukum tertinggi di NKRI, yaitu Mahkamah Agung (MA) melalui keputusan Nomor
127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010, hingga menjelang akhir masa jabatan
presiden pada 2014 ini belum juga dieksekusi.
Perkara
yang sudah jelas berkekuatan hukum tetap, tetapi tidak dapat dilaksanakan,
tidak ada dalam agenda dan tidak ditanggapi presiden. Ini tentu membuat
ribuan penduduk negeri ini bertanya, apakah “pembiaran” tersebut juga bagian
dari “pilihan” Presiden SBY yang
beberapa bulan lagi turun jabatan itu?
Saya
masih ingat, kasus ini berawal ketika IMB pendirian GKI Yasmin dibekukan pada
2008. Tempat ibadah di negeri yang konon religius ini disegel Satpol PP atas
perintah wali kota Bogor. Kemudian, diselesaikan melalui pengadilan dan telah
diputus Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Jakarta yang memenangkan GKI Taman Yasmin. Bahkan, putusan hukum
tertinggi berupa penolakan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Pemkot Bogor
sudah dikeluarkan Mahkamah Agung pada 9 Desember 2010.
Empat
bulan setelah MA mengeluarkan putusan PK tersebut, Wali Kota Bogor justru
menerbitkan Surat Keputusan Nomor 645.45-137 tahun 2011 tentang Pencabutan
IMB GKI Taman Yasmin pada 11 Maret 2011.
Dalam
pengamatan saya, ini merupakan anomali penegakan hukum di masa pemerintahan
Presiden SBY yang paling banyak mandapat sorotan sepanjang waktu. Itu karena
akibat tidak dapat menempati rumah ibadahnya sendiri, para jemaat menggelar
ibadah di depan istana hingga saat saya menulis ini. Oleh karena itu, kasus
GKI Taman Yasmin kemudian secara mengejutkan masuk dalam laporan 'Human Rights Watch World Report 2012’.
Dalam
uraian halaman 337 laporan tersebut, pada alinea 2 dan 3 disebutkan
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam penanganan kasus GKI Taman
Yasmin.
Sementara
itu, dunia mencatat anomali pemerintah, presiden justru mengukir legacy-nya sendiri. Buku setebal 807
halaman itu diakui bukan curahan hati apalagi apologi. Dalam buku ini
presiden tampak ingin mematri dengan emas atas semua “prestasi” yang dicapai
dan berusaha menahan sekuat daya upaya agar tidak ada nila setitik pun yang
berpotensi merusak susu sebelanga.
Ketika
buku ditulis, sudah hampir sepuluh tahun Presiden SBY menjalankan roda
pemerintahan. Sejumlah prestasi diakui telah dilakukan. Bukan saja proyek
politik berupa demokrasi langsung dalam 10 tahun terakhir yang kita sama-sama
paham hasil dan dampaknya, bahkan sejumlah megaproyek, seperti Jembatan
Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura, Bandara
Internasional Kuala Namu di Medan, dan banyak lagi proyek-proyek besar
selesai dan diresmikan pada masa Presiden SBY.
Seperti
dinyatakan sendiri dalam buku itu, berbagai kendala mampu diselesaikan, meski
tidak sedikit yang tidak puas atas penyelesaian berbagai hal tersebut.
Saya
turut memberi apresiasi. Namun, satu hal yang saya khawatir akan menjadi
setitik nila yang kelak akan dikenang rakyat sebagai perusak prestasi yang
sudah dipatri dengan goresan emas tersebut. Masalah umat yang tidak menjadi
perhatian presiden dan dalam faktanya presiden juga tidak memberi solusi
tegas atas hal yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) itu.
Padahal,
sampai hari ini kita masih dituntut untuk menggunakan UUD 1945 hasil
amendemen I-IV, yang dalam Pasal 1 Ayat (2) berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.” Secara hukum, kasus ini sudah diputus, tetapi tidak dieksekusi
dan presiden diam.
Sehubungan
dengan kewajiban negara dalam memberi jaminan kebebasan mengamalkan agama
yang dianut rakyat, terdapat dua macam bentuk pelanggaran hak asasi manusia,
yaitu by omission (pembiaran) dan by commission (tindakan). Pelanggaran by omission terjadi ketika negara
seharusnya secara aktif melakukan kewajibannya untuk memenuhi dan melindungi,
tetapi kenyataannya negara bersikap pasif.
Kasus
pembiaran di GKI Taman Yasmin merupakan salah satu contoh paling konkret pilihan
“tinggal gelanggang”, di samping
kasus serupa seperti soal kaum Ahmadiyah terlunta-lunta dan kaum Syiah
terusir dan yang kehilangan perlindungan negara. Hal ini seharusnya tidak
boleh dilakukan seorang kesatria yang terhormat.
Sungguh
ini adalah “pilihan” pahit bagi rakyat. Apakah ini yang akan diwariskan
Presiden SBY kepada para pencinta demokrasi dan para pemimpin Indonesia
mendatang? Entahlah, tetapi kita bersama-sama terpanggil untuk saling
mengingatkan, terlebih ketika masih ada waktu untuk membuat pilihan! “Life is a Matter of Choice.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar