Minggu, 22 Juni 2014

Menyoal Pilihan Presiden dan Kebebasan Beragama

Menyoal Pilihan Presiden dan Kebebasan Beragama

Teddy Rusdy  ;   Pemerhati Kebijakan Strategis,
Asrenum Panglima ABRI/TNI 1987-1992
SINAR HARAPAN,  19 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Di tengah hiruk-pikuk perbincangan rakyat tentang calon presiden, saya membaca buku terbaru karya Presiden SBY, “Selalu Ada Pilihan: Untuk Pencinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang.”

Banyak hal tidak terduga ternyata menjadi pilihan presiden, dari soal kebijakan kenegaraan, isu yang menimpa istri dan anak-anak, hingga soal santet pada keseharian, Facebook, dan Twitter-nya. Namun, ada yang belum dipilih untuk diselesaikan, antara lain soal jaminan kebebasan menjalankan keyakinan beragama di bumi Nusantara ini.

Saya mengambil satu contoh saja. Dalam kasus izin pendirian Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor yang sudah diketuk “boleh” oleh lembaga hukum tertinggi di NKRI, yaitu Mahkamah Agung (MA) melalui keputusan Nomor 127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010, hingga menjelang akhir masa jabatan presiden pada 2014 ini belum juga dieksekusi.

Perkara yang sudah jelas berkekuatan hukum tetap, tetapi tidak dapat dilaksanakan, tidak ada dalam agenda dan tidak ditanggapi presiden. Ini tentu membuat ribuan penduduk negeri ini bertanya, apakah “pembiaran” tersebut juga bagian dari “pilihan”  Presiden SBY yang beberapa bulan lagi turun jabatan itu?

Saya masih ingat, kasus ini berawal ketika IMB pendirian GKI Yasmin dibekukan pada 2008. Tempat ibadah di negeri yang konon religius ini disegel Satpol PP atas perintah wali kota Bogor. Kemudian, diselesaikan melalui pengadilan dan telah diputus Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang memenangkan GKI Taman Yasmin. Bahkan, putusan hukum tertinggi berupa penolakan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Pemkot Bogor sudah dikeluarkan Mahkamah Agung pada 9 Desember 2010.

Empat bulan setelah MA mengeluarkan putusan PK tersebut, Wali Kota Bogor justru menerbitkan Surat Keputusan Nomor 645.45-137 tahun 2011 tentang Pencabutan IMB GKI Taman Yasmin pada 11 Maret 2011.

Dalam pengamatan saya, ini merupakan anomali penegakan hukum di masa pemerintahan Presiden SBY yang paling banyak mandapat sorotan sepanjang waktu. Itu karena akibat tidak dapat menempati rumah ibadahnya sendiri, para jemaat menggelar ibadah di depan istana hingga saat saya menulis ini. Oleh karena itu, kasus GKI Taman Yasmin kemudian secara mengejutkan masuk dalam laporan 'Human Rights Watch World Report 2012’.

Dalam uraian halaman 337 laporan tersebut, pada alinea 2 dan 3 disebutkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam penanganan kasus GKI Taman Yasmin. 

Sementara itu, dunia mencatat anomali pemerintah, presiden justru mengukir legacy-nya sendiri. Buku setebal 807 halaman itu diakui bukan curahan hati apalagi apologi. Dalam buku ini presiden tampak ingin mematri dengan emas atas semua “prestasi” yang dicapai dan berusaha menahan sekuat daya upaya agar tidak ada nila setitik pun yang berpotensi merusak susu sebelanga.

Ketika buku ditulis, sudah hampir sepuluh tahun Presiden SBY menjalankan roda pemerintahan. Sejumlah prestasi diakui telah dilakukan. Bukan saja proyek politik berupa demokrasi langsung dalam 10 tahun terakhir yang kita sama-sama paham hasil dan dampaknya, bahkan sejumlah megaproyek, seperti Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura, Bandara Internasional Kuala Namu di Medan, dan banyak lagi proyek-proyek besar selesai dan diresmikan pada masa Presiden SBY.

Seperti dinyatakan sendiri dalam buku itu, berbagai kendala mampu diselesaikan, meski tidak sedikit yang tidak puas atas penyelesaian berbagai hal tersebut.

Saya turut memberi apresiasi. Namun, satu hal yang saya khawatir akan menjadi setitik nila yang kelak akan dikenang rakyat sebagai perusak prestasi yang sudah dipatri dengan goresan emas tersebut. Masalah umat yang tidak menjadi perhatian presiden dan dalam faktanya presiden juga tidak memberi solusi tegas atas hal yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) itu.

Padahal, sampai hari ini kita masih dituntut untuk menggunakan UUD 1945 hasil amendemen I-IV, yang dalam Pasal 1 Ayat (2) berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Secara hukum, kasus ini sudah diputus, tetapi tidak dieksekusi dan presiden diam.

Sehubungan dengan kewajiban negara dalam memberi jaminan kebebasan mengamalkan agama yang dianut rakyat, terdapat dua macam bentuk pelanggaran hak asasi manusia, yaitu by omission (pembiaran) dan by commission (tindakan). Pelanggaran by omission terjadi ketika negara seharusnya secara aktif melakukan kewajibannya untuk memenuhi dan melindungi, tetapi kenyataannya negara bersikap pasif.

Kasus pembiaran di GKI Taman Yasmin merupakan salah satu contoh paling konkret pilihan “tinggal gelanggang”, di samping kasus serupa seperti soal kaum Ahmadiyah terlunta-lunta dan kaum Syiah terusir dan yang kehilangan perlindungan negara. Hal ini seharusnya tidak boleh dilakukan seorang kesatria yang terhormat.

Sungguh ini adalah “pilihan” pahit bagi rakyat. Apakah ini yang akan diwariskan Presiden SBY kepada para pencinta demokrasi dan para pemimpin Indonesia mendatang? Entahlah, tetapi kita bersama-sama terpanggil untuk saling mengingatkan, terlebih ketika masih ada waktu untuk membuat pilihan! “Life is a Matter of Choice.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar