Trident
Diplomasi Bisnis Indonesia
Tirta
N Mursitama ; Ketua
Departemen Hubungan Internasional
Universitas Bina Nusantara |
KORAN
SINDO, 20 Februari 2014
Nakhoda kementerian perdagangan baru saja
berganti. Gita Wirjawan, menteri terdahulu, memilih mengundurkan diri untuk
lebih berkonsentrasi mencoba peruntungannya sebagai kandidat presiden dari
Partai Demokrat.
Sementara sang pengganti, M Luthfi, mantan
duta besar Indonesia untuk Jepang, telah dilantik menjadi pejabat baru dengan
tugas berat dalam waktu singkat. Satu sisi peristiwa pengunduran diri dari
sebuah jabatan publik untuk kepentingan yang lebih besar patut diapresiasi.
Paling tidak, langkah Gita menghindari benturan kepentingan sebagai pejabat
publik dan ambisi pribadi.
Di sisi yang lain, hal ini menunjukkan
betapa nikmatnya aroma kekuasaan menjadi salah seorang kandidat presiden.
Lalu, bagaimana dengan pos yang ditinggalkan? Kementerian Perdagangan telah
menjadi portofolio penting dalam dua dekade terakhir seiring dengan derasnya
arus globalisasi. Oleh karena itu, pos ini harus terus dikelola dengan
serius, siapa pun penggantinya.
Trident
Layaknya sebuah trident, senjata yang
bermata tiga (trisula), perdagangan (internasional) telah menjadi elemen
penting bagi setiap negara, selain elemen keuangan dan industri. Ketiga aspek
yang saling berkelindan dan mendukung satu sama lain ini merupakan kesatuan
dari apa yang disebut aktivitas bisnis (business). Setiap pelaku dalam
hubungan internasional di dunia ini melakukan aktivitas bisnis.
Dalam konteks ini adalah aktivitas bisnis
yang melintasi batas kedaulatan negara. Secara sederhana, untuk dapat
berdagang, pelaku bisnis harus mengetahui komoditas atau jasa yang akan
ditawarkan. Biasanya, mereka akan mencari dari sumber domestik yang diperoleh
dari industri dalam negeri. Kemudian, kegiatan ekspor atau impor itu dapat
berjalan dengan lancar maka membutuhkan dukungan finansial yang kuat. Dengan
demikian, idealnya, antara pengembangan perdagangan dan industri dalam negeri
harus seimbang. Keduanya harus sama-sama maju.
Bagi kalangan industri, untuk memproduksi
barang dan atau jasa sering kali masih membutuhkan bahan baku yang diimpor.
Aktivitas impor ini pula membutuhkan garansi atau bahkan asuransi dari
kalangan keuangan. Selain itu, sektor keuangan tidak mungkin berkembang bila
tidak ada aktivitas perdagangan maupun industri. Untuk itu, mereka harus
memutar otak secara cerdas dan cerdik agar selalu siap berkembang dengan
berbagai skema kreatif untuk mengimbangi kemajuan di bidang bisnis. Bahkan,
sangat dianjurkan untuk menjemput bola dengan produk-produk keuangan baru
yang dapat menjadi stimulus menggeliatnya sektor perdagangan dan industri.
Dengan demikian, logika dari sebuah trident
ini tepat untuk melihat arti strategis disahkannya UU Perdagangan
menggantikan Bedrijfsreglementerings Ordonnatie (BRO) yang telah berusia 80
tahun. Bisa dibayangkan, setelah Indonesia merdeka dan konteks internasional
telah berubah dan kemajuan teknologi semakin pesat, bangsa Indonesia masih
menggunakan aturan penjajah yang membelenggu kita hampir seratus tahun lalu.
Tatakelola
Terlepas dari pro dan kontra disahkannya
RUU Perdagangan menjadi UU beberapa hari yang lalu, satu hal terpenting
adalah Indonesia berusaha menyesuaikan bahkan mengantisipasi perubahan
konteks kekinian yang terus berubah. Pengesahan UU ini perlu dilihat sebagai
produk politik yang merefleksikan konstelasi politik domestik saat ini. Tentu
saja tidak sempurna, tetapi apa yang bisa dilakukan dengan UU ini sepertinya
menjadi lebih penting dan relevan. Salah satu makna strategis dari UU
Perdagangan ini adalah menjadi penjaga sebuah proses dari tiga elemen trident
diplomasi dengan tata kelola perdagangan yang diatur di dalamnya.
Misalnya bagaimana proses diplomasi bisnis
harus dilakukan dengan menerjemahkan kepentingan nasional di empat ranah,
yaitu lokal, nasional, regional, dan global. Artinya harus dibangun hubungan
yang baik dan kesatuan pandangan antara pusat dan daerah dalam menghadapi
dinamika regional dan global. Bersama dengan aturan lainnya, UU Perdagangan
menjadi aturan main dari diplomasi trident di atas. Kementerian Perdagangan
harus berperan lebih progresif dalam memerankan sebagai konduktor dari
orkestrasi besar diplomasi bisnis Indonesia.
Artinya, hubungan kelembagaan antara
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan
kementerian teknis lainnya menjadi sangat krusial. Ditambah lagi, jajaran
mereka di daerah, pemerintah daerah, dan para pelaku bisnis di pusat maupun
daerah. Kompleksitas masalah ini mengharuskan kesiapan sumber daya manusia
agar trident diplomasi bisnis kita bisa efektif. Para pegawai kementerian,
aparatur pemerintah daerah, para pelaku bisnis harus memiliki mindset terbuka
untuk berkompetisi secara global.
Keandalan sumber daya manusia dimulai sejak
rekrutmen dengan persyaratan yang tinggi dan diterapkan secara ketat.
Pengembangan diri melalui studi lanjut, pelatihan penguasaan bahasa asing,
dan negosiasi yang diikuti magang di lembaga regional dan internasional bisa
menjadi alternatif. Konteks dunia sudah berubah, tidak boleh lagi kita
merengek dan mengeluh atas tatanan yang ada. Dunia memang tidak bisa adil
untuk semuanya. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana diplomasi bisnis kita
dapat menyikapinya dan berkontribusi untuk mengubahnya menjadi lebih baik.
Para calon presiden dan yang merasa layak
menjadi presiden harusnya bisa menjawab hal ini. Kalangan pengusaha dan
akademik tidak zamannya lagi duduk terpisah dan mengisolasi diri di menara
gading. Namun, bukan berarti juga harus semua turun gunung berubah profesi
dadakan menjadi pengambil kebijakan atau politisi. Yang lebih penting adalah
semuanya lebih membuka diri bagi sebuah kerja sama sehingga semuanya menjadi
relevan. Apalagi, kita harus bersiap bersama-sama menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015 yang telah di depan mata serta tantangan global yang lebih
dahsyat pada 2020 dan setelahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar