Senin, 03 Juni 2013

Tontonan Politik Hitung Cepat


Tontonan Politik Hitung Cepat
Triyono Lukmantoro ;   Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 03 Juni 2013


PEMILIHAN umum, termasuk pemilihan kepala daerah, dianggap menciptakan kejenuhan bagi masyarakat. Hal itulah yang menjadikan angka partisipasi pemilih (golongan putih) makin meningkat. Tapi tidak demikian halnya dengan pengumuman siapa atau pasangan mana yang menjadi pemenang dalam kontestasi politik itu bergulir. 

Publikasi sosok yang keluar sebagai ’’juara’’ tetap ditunggu-tunggu. Melalui metode hitung cepat (quick count) yang diselenggarakan berbagai lembaga survei, pemenang pun segera dapat diketahui. Rasa penasaran masyarakat segera terbayar tuntas.

Momentum semacam itu, sekali lagi terjadi pada Pilgub Jateng 2013 pada Minggu, 26 Mei 2013. Penulis diundang oleh Metrotv, yang bekerja sama dengan Indobarometer, menayangkan program hitung cepat. Ada polesan akademis, yang bisa dilihat dari tayangan angka statistik. Ada pula komentar yang didasarkan pada perspektif kajian politik, sosiologi, dan komunikasi. Tetapi, nilai yang paling menonjol dan menjadi perhitungan utama dalam program televisi adalah pertunjukan (show).

Kenyataan itulah yang penulis sampaikan ketika menjadi tamu dalam program hitung cepat Pilgub Jateng 2013. Boleh dikatakan program itu lebih mirip tayangan sepak bola. Kekuatan dan kelemahan masing-masing kubu dievaluasi. Keadaan sosial masyarakat yang melingkupi tiap pasangan calon pun diinterpretasikan. 

Bahkan situasi di lapangan selalu mendapatkan perhatian di studio, terutama perolehan angka. Kecenderungan pasangan mana yang menjadi pemenang pun segera diketahui. Berbagai komentar muncul dari tiap pihak yang menjadi narasumber. Pembawa acara menggulirkan aneka pertanyaan. Jawaban harus segera disodorkan, bahkan harus pula saling bersahutan.

Disajikan Menghibur

Itulah tontonan politik yang berlabel hitung cepat dalam pilgub. Karena medium televisi memiliki sifat dasar sebagai hiburan maka sedapat mungkin momentum politik pun disajikan secara menghibur pula. Bukan sebagaimana tampilan pertunjukan musik atau film, tentu saja. Apa yang ditampilkan dalam tayangan itu seperti sebuah arena permainan olahraga yang dianalisis oleh sejumlah narasumber dengan berbagai sudut pandang.

Pemilihan gubernur merupakan sebentuk kompetisi yang pasti melibatkan aneka ragam pihak. Selain itu, sebuah kompetisi pada akhirnya akan menghasilkan pihak yang menang dan yang kalah. Hukum besi kompetisi dalam arena politik dan olahraga tidak jauh berbeda ketika disajikan sebagai pertunjukan.

Hitung cepat pada kenyataannya telah memperluas fungsi secara politis. Apabila kelahiran hitung cepat sedari awal dimaksudkan untuk mengontrol peluang intervensi pemerintah, dominasi partai politik, dan independensi penyelenggara pemilu maka fungsi itu sudah terlampaui. 

Hitung cepat bisa dikatakan sebagai salah satu instrumen yang memantau kontestasi politik berjalan fair sehingga kualitas demokrasi tetap terjaga. Jangan membayangkan hitung cepat dapat diterapkan pada rezim otoriter semacam Orde Baru, misalnya. Tanpa hitung cepat pun, kita bisa tahu siapa dan partai mana yang akan menjadi pemenang.

Fungsi politik lain hitung cepat yang makin meluas adalah penciptaan ruang bagi masyarakat untuk menjalankan kontrol secara bersama terhadap penyelengaraan kompetisi politik dan berbagai pihak yang terlibat. Aspek fungsional ini makin diniscayakan dengan kehadiran media massa, terutama televisi, yang sangat memberikan peluang. Itulah yang disebut sebagai tontonan politik dan politik sebagai tontonan. 

Apa yang disebut sebagai tontonan politik adalah jenis tayangan yang dapat memuat nilai-nilai politik bagi masyarakat dengan cara yang menghibur. Pada titik itu pula bisa disimak kehadiran politik sebagai tontonan bermakna bahwa politik hanya memiliki nilai relevansi yang memiliki daya pikat bagi masyarakat jika disajikan sebagai tontonan. Semua itu hanya mungkin terjadi jika politik ditayangkan dalam medium yang memiliki kekuatan audio dan visual. Medium itu adalah televisi.

Sifat Kebalikan


Tontonan politik bertajuk Pilgub Jateng 2013 itu sudah berakhir. Namun ada catatan yang tetap bisa digulirkan. Sifat dasar tontonan, demikian Guy Debord (1931-1994) menegaskan, justru merupakan kebalikan dari kehidupan ini. Kemungkinan saja hal itu terjadi karena tontonan adalah pergerakan dari kekuatan yang tidak hidup.  Jika pernyataan Debord itu diberi pemaknaan maka tontonan politik itu tetap mengundang keinginan bagi masyarakat untuk melihat, atau pun setidak-tidaknya menengok tentang apa itu persaingan meraih kekuasaan di tengah apatisme dan kemencuatan angka golput.

Dalam wilayah tontonan semacam itu, perpolitikan hanya bermakna bagi masyarakat jika memiliki aspek penting tontonan, yakni kompetisi. Di luar itu, apa yang disebut politik merupakan gagasan dan pemikiran yang sangat asing. Pada akhirnya, politik hanya bermakna bagi masyarakat sejauh media (terutama televisi) menjadikannya sebagai tontonan yang memiliki daya pikat tinggi. 

Simbiosis mutualisme antara lembaga survei dan stasiun televisi pun berjumpa di titik itu. Hasil yang dapat dicapai dari kondisi itu adalah masyarakat bisa berpartisipasi dalam arena, minimal sebagai penonton dalam acara nonton bareng hitung cepat. Setelah itu politik kembali mengalami kesunyian sampai hukum tontonan kembali meramaikannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar