|
SINAR HARAPAN, 10 Juni 2013
Para
teroris memang seolah tak pernah jera. Mereka terus saja melancarkan aksi
biadabnya dalam menebar teror atau ketakutan. Kali ini terjadi di daerah
konflik: Poso, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Seorang bomber pada Senin
(3/6) pagi menyerang Markas Polisi Resor (Mapolres) Poso.
Belum lama,
tepatnya pada Rabu (8/5), tim Densus 88 juga terlibat baku tembak di Bandung,
Batang, Kendal, dan Kebumen. Operasi penggerebekan secara simultan dan
disiarkan berbagai televisi itu menewaskan tujuh terduga teroris dan melukai
satu orang serta menangkap 12 terduga teroris.
Menurut
Karopenmas Mabes Polri Boy Rafli Amar, para teroris itu melakukan “fai” atau
mengumpulkan uang hingga Rp 1,8 miliar dari merampok tiga bank (BRI). Dari
hasil interogasi, mereka kemungkinan berasal dari sisa-sisa jaringan Poso yang
dipimpin Abu Umar.
Meski
sudah banyak yang tewas, bukan berarti terorisme telah tamat. Ini karena di
kalangan teroris justru berlaku pepatah, mati satu tumbuh seribu. Itu artinya
perlawanan menghadapi terorisme tak pernah selesai.
Peperangan
Hati dan Pikiran
Bahkan,
perlawanan menghadapi terorisme sudah memasuki kawasan yang lebih substantif,
tidak semata-mata konflik fisik, melainkan sudah memasuki kawasan konflik
gagasan atau adu kekuatan untuk merebut hati dan pikiran, maka terorisme memang
harus dijadikan musuh bersama (Tajuk Rencana SH, 5/6).
Sebenarnya
memprihatinkan manakala kita merenungkan bahwa pemikiran para teroris justru
kian mendapat tempat di masyarakat. Contohnya tindakan atau aksi bom bunuh diri
yang dulu kita nilai sebagai tindakan biadab dan terkutuk, kini justru diyakini
sebagai tindakan kepahlawan demi membela agama.
Jelas
ada yang salah, jika tindakan terorisme yang kekejamannya atas para korban di
luar batas kemanusiaan, justru mendapat dukungan dan pembenaran. Bahkan, para
konseptor terorisme yang ada di balik layar dan sampai sekarang terus
bergentayangan, mungkin akan tertawa terkekeh karena mereka mampu merebut hati
dan pikiran sebagian warga kita untuk pro pada terorisme.
Karena
itu, tidak cukup ketika sedang terjadi tindak terorisme, kita hanya sibuk
membuat apologi bahwa terorisme tak ada kaitannya dengan agama. Pasalnya, para
teroris jelas-jelas memakai dalil dan motif agama dalam aksi terornya. Tidak
percaya? Tanyakan saja kepada mendiang Imam Samudra, pelaku peledakan bom Bali
12 Oktober 2005 yang menewaskan 202 orang.
Menurut
Imam Samudra, peledakan itu dilakukan demi jihad membela Islam, setidaknya
Islam seperti diyakini dan ditafsirkan oleh Imam Samudra. Argumentasi yang
disampaikan Imam Samudra selalu berisi argumentasi teologis untuk membenarkan
setiap aksi terornya.
Dia
atau teroris lain juga selalu menyalahkan bukan hanya agama lain, tapi juga
penganut mainstream dalam agamanya (Islam) yang dianggap telah sesat
karena suka berkolaborasi dengan Amerika dan Barat.
Jadi,
ada kejahatan yang lebih mengerikan, ketika para teroris sudah membajak agama
dan menjadikan perjuangannya seolah-olah selaras dan tidak bertentangan dengan
agama yang dianutnya, bahkan tindakan kekerasan lewat bom itu sebagai bentuk
perjuangan yang mulia atas nama agama, bahkan Tuhan.
Para
teroris seperti Imam Samudra punya konsep “cosmic war”, yakni peperangan antara
yang baik dan yang jahat. Bagi para teroris, setiap aksi mereka di negeri ini
merupakan tindakan yang sah, karena Indonesia saat ini sudah diletakkan dalam
kondisi perang dengan kekuatan kolonialis (Amerika atau Barat) yang menindas
umat Islam. Jadi, dalam konteks perang, bagi para teroris, semua cara
dihalalkan. Bagi para teroris, perang semacam itu sunguh-sungguh nyata.
Simak
saja guna memenangkan perang itu, para teroris membuat ratusan situs di
internet yang berisi ajakan untuk masuk surga lewat jalan menjadi pengebom
bunuh diri. Di sana tertulis hal-hal seperti jika tidak mau menjalankan jalan
terorisme, mereka yang membaca situs-situs itu, akan dikutuk sepanjang
hayatnya. Teknik membuat bom pun diajarkan dengan jelas.
Karena
itu, guna mengurai benang kusut terorisme, rasanya para agamawan kita tidak
bisa secara simplistis hanya memberi pernyataan terorisme tidak terkait agama. Jangan
lupa, agama yang suci itu bagaimanapun dihayati manusia yang sering kali
condong kepada kejahatan.
Memang
para agamawan bukan pihak yang paling bertanggung jawab atas aksi para teroris.
Para agamawan
hanya sebatas memberi seruan moral bahwa terorisme itu jalan yang
keliru, seperti seruan MUI. Aparat keamanan, dalam hal ini Tim Densus 88, yang
punya kewenangan menumpas dan menghadapi setiap aksi terorisme.
Sinergi
Banyak Pihak
Jadi,
mari kita terus berupaya memenangkan wacana bahwa terorisme itu jahat dan
biadab, meski upaya deradikalisasi tampak gagal. Namun yang penting, kita
jangan sampai menyalahkan agama (apa pun), yang sudah ada sebelum adanya
terorisme.
Saling
memahami dan kerja sama antarumat beragama akan sangat bermanfaat untuk
membasmi akar sosial dan kultural penyebab terorisme, khususnya yang terjadi di
negeri kita.
Meski
demikian, masalah terorisme tidak bisa diselesaikan oleh para tokoh agama dari
satu agama saja. Masalah ini juga tak bisa diatasi hanya oleh Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) atau Tim Densus 88 saja.
Perlu
sinergi dari banyak pihak, agar terorisme bisa dihilangkan, sehingga akhirnya
semua orang dari semua agama akan paham bahwa aksi terorisme itu memang tidak
ada tempatnya dalam ajaran agama manapun. Mari kita tidak bosan mempromosikan
budaya cinta perdamaian seraya mengutuk setiap aksi kekerasan dan terorisme,
sebagaimana baru terjadi di Boston.
Pascapenggerebekan
di empat kota seperti sudah dilakukan Tim Densus 88, jelas menjadi momentum
tepat untuk menyadari bahwa musuh bersama kita saat ini, bukan umat beragama
lain.
Mari
camkan betapa jahatnya terorisme dengan merenungkan derita para korban dan
keluarganya. Banyak korban bom Kuningan atau Bali hingga kini mengalami cacat
fisik yang permanen dan tentu saja trauma berkepanjangan di sisa-sisa hidup
mereka.
Akhirnya
jika terorisme menjadi musuh bersama maka menghadapinya juga butuh kerja sama
dan sinergi berbagai komponen bangsa. Nah, untuk sinergi ini jelas
membutuhkan guidance atau blue print bagaimana menghadapi terorisme itu.
Jika
masing-masing pihak, seperti tim Densus 88, BNPT, DPR, dan MUI berjalan
sendiri-sendiri, hasilnya kurang maksimal. Sejak serangan bom ke gereja pada
malam Natal 2000 hingga sekarang, perlawanan terhadap terorisme seperti
menghadapi kebakaran saja, sekadar tambal sulam, tidak ada strategi sama
sekali. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terkait perlu segera membuat rumusan
bersama bagaimana menghadapi terorisme itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar