|
SUARA MERDEKA, 10 Juni 2013
POLISI adalah kumpulan orang baik. Kalimat ’’artifisial’’
itu saya dengar langsung dari Chrysnanda Dwi Laksana, doktor bidang Kajian Ilmu
Kepolisian dari Universitas Indonesia, tatkala memberi kuliah kepada peserta
Sespimma Polri tanggal 14 Mei 2013. Dia menyitir penyataan Profesor Satjipto
Rahardjo. Teramat dalam muatan psikologis dari pemaknaan kalimat tersebut.
Bagi polisi yang mempunyai karakter bersih dan ikhlas
mengabdi masyarakat, tentu tidak akan gerah. Sebaliknya, polisi yang menyalahi
kodrat ’’artifisial’’ kalimat tersebut seharusnya merasa gerah dan risi. Bahkan
pantas merasa terasing dari komunitas institusi yang memang seharusnya terdiri
atas orang-orang baik. Institusi polisi menjadi bagian dari cermin hukum di
negeri ini karena ibarat gerbang pertama penegakan hukum.
Realitasnya, fakta yang menjerat beberapa petinggi polisi
hingga bawahan (kasus rekening bengkak Aiptu Labora Sitorus) dalam pusaran
kasus hukum, mengantarkan pada kondisi kontraproduktif. Bagaimana dikatakan
polisi adalah orang yang baik bila fakta menunjukkan ia menyalahgunakan
anggaran kesatuan atau uang negara? Terlebih lagi penyalahgunaan itu dilakukan
tatkala Polri bertekad memerangi korupsi. Sebuah ironi yang mengharubirukan
polisi lain yang berkomitmen menjalankan tugas pengabdian kepada bangsa ini.
Saya percaya masih banyak polisi yang baik, yang peduli
pada keprihatinan bangsa ini terkait korupsi yang telah menggurita dan
menyengsarakan jutaan rakyat. Polisi yang baik itu bisa jadi hidup dalam
keterasingan. Ia harus mengalahkan stigma bahwa polisi itu korup, polisi itu
sumber masalah, polisi itu suka mencari-cari kesalahan orang. Belum lagi stigma
lain, semisal polisi membuat permasalahan mudah menjadi sulit, menjadikan
persoalan sepele menjadi rumit, atau berurusan dengan polisi berarti harus
sedia uang dan segudang persepsi yang menjelma pada sikap apriori dan skeptis.
Dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan bagaimana
menjadi polisi yang baik? Pasalnya tak mudah mengubah mindset yang terbentuk pada masyarakat. Polisi harus memulai dari
diri masing-masing mengingat dari semangat reformasi yang berawal 1999, mindset
tadi belum berubah. Kalaupun ada perubahan lebih pada sifat instrumental dan
struktural. Dalam hal budaya atau culture,
masih ibarat terjebak oyot mimang
atau berputar-putar membuang energi namun masih tetap pada titik yang sama.
Tanpa menafikan keberhasilan yang sudah dicapai Polri dalam
beberapa bidang, masyarakat belum juga beranjak pada tangga teratas
kepercayaan, meskipun publik juga melihat berbagai terobosan yang bersifat human approach. Itulah yang mestinya
jadi entry point untuk mengubah mindset yang stagnan dari masyarakat,
yaitu masing-masing individu polisi harus berubah, menstransformasikan diri
sebagai sosok baik. Untuk menjadi sosok yang baik, kuncinya ada di hati bukan
pada institusi.
Membentuk
Reputasi
Selama ini, polisi seperti terjebak untuk meraih citra baik
dari masyarakat. Padahal citra identik dengan kamuflase atau sebatas retorika.
Seharusnya yang perlu dibangun adalah membentuk reputasi. Reputasi lebih pada
tindakan nyata, sedangkan membangun citra hanya muncul di permukaan, lebih
dangkal dari reputasi. Inilah kekeliruan organisasi Polri yang gencar membangun
citra dengan mengabaikan pemaknaan reputasi.
Dalam paradigma membentuk reputasi maka substansinya pun
adalah keinginan untuk berubah. Mengubah dari sesuatu yang bersifat hanya lips service menjadi tindakan nyata.
Penerapannya adalah tidak perlu memperbanyak slogan, banner, ataupun spanduk
dengan rangkaian kata-kata indah namun yang dibutuhkan adalah melaksanakan apa
yang menjadi tugas dengan keikhlasan.
Hal nyata yang mudah dilaksanakan oleh polisi tapi
berpengaruh besar terhadap reputasi adalah dengan mau membaur di tengah
masyarakat, tanpa membeda-bedakan mereka, berdialog, diawali menegur, menyapa
sampai akhirnya menjadi sebuah keakraban, sebagaimana dijalankan polisi Jepang.
Di Negeri Sakura, polisi membaur dengan komunitas atau masyarakat dengan
tinggal di koban atau chuzaiso.
Di tempat tinggal yang sekaligus menjadi kantor tersebut,
polisi membuka diri 24 jam untuk menampung semua pengaduan ataupun
permasalahan. Kasus penganiayaan ringan antartetangga, saling mengejek, atau
pencurian kecil-kecilan, diselesaikan dengan melibatkan solidarity maker atau tokoh masyarakat setempat. Dengan demikian,
secara tidak langsung polisi telah menempatkan diri sebagai problem solver, yang menjadikan
masyarakat membutuhkan kehadirannya.
Kapan konsep seperti itu menjadi roh bagi polisi di negeri
ini? Bisakah polisi benar-benar mengaktualisasikan diri sebagai kumpulan orang
baik? Kapan memulainya? Sekarang juga, tak ada istilah terlambat ketimbang
tidak sama sekali. Siapa yang memulainya? Diri sendiri, diri pribadi polisi itu
sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar