|
KOMPAS,
17 Juni 2013
There is something treacherous, delusive,
and ambiguous in the temptation of power Václav Havel, 1991.
Membanjirnya
bursa bakal calon anggota legislatif menjadi bukti kuat bahwa jabatan publik
masih tetap memancarkan daya pesona. Di jajaran eksekutif, jabatan publik
bahkan jauh lebih menggoda. Mereka yang sudah lama ”duduk manis” sebagai
anggota parlemen bukan jaminan tak tergoda untuk tidak mencalonkan diri sebagai
kepala daerah. Dalam istilah Jawa, jabatan publik selalu membuat orang kemaruk
(selalu merasa kurang alias tidak pernah merasa puas dengan apa yang ada).
Untuk
memenuhi ambisinya, mereka tak segan menggelontorkan jutaan, bahkan miliaran
rupiah—sebuah nominal yang terkadang tak masuk akal dibandingkan dengan
pendapatan resmi sebagai anggota DPR atau kepala daerah. Mereka sadar betul
bahwa dalam konteks pilkada, nothing is free lunch. Tidak ada yang gratis dalam
dunia politik. Soal bagaimana cara mendapatkan dan mengembalikan modal awal,
itu tidaklah penting alias bisa dipikirkan belakangan. Yang penting cuma satu:
jadi pejabat publik. Titik!
Menaklukkan
atau ditaklukkan
Mereka
juga tidak gentar menghadapi ancaman penjara setelah menjabat. Bagi mereka,
penjara menjadi tantangan tersendiri selama menjalani masa jabatan. Mereka
sangat mafhum bahwa menduduki jabatan publik di era demokrasi berarti
menjejakkan satu kaki ke penjara. Satu kakinya lagi tergantung dewi
keberuntungan, seraya berdoa semoga selamat hingga akhir masa jabatan.
Di
Republik ini, menjabat adalah segala-galanya. Bagi kebanyakan orang, menjabat
seakan menjadi satu-satunya tafsir kebermaknaan hidup di dunia ini. Setelah
itu, mati. Begitu kuatnya cengkeraman mentalitas menjabat di kalangan
masyarakat, seakan tidak ada posisi lebih tinggi selain menduduki jabatan
publik.
Menjadi
guru, dosen, petani, artis, pelawak, wartawan, agamawan, atau profesi apa pun
di dunia ini belumlah cukup sebelum seseorang menjadi pejabat publik. Dalam
perspektif Abraham Maslow, menjadi pejabat publik menempati hierarki tertinggi
dari seluruh kebutuhan manusia: aktualisasi hidup. Pertanyaannya, ada apa
dengan jabatan publik? Mengapa jabatan publik begitu memesona?
Jawaban
terhadap pertanyaan tersebut dirangkum oleh Václav Havel, mantan presiden
Cekoslowakia, ke dalam satu kata: kuasa (power). Ya, kuasa (lebih tepatnya
kekuasaan) adalah kata benda abstrak yang memiliki dampak begitu dahsyat dalam
kehidupan ini. Godaan kuasa dapat membutakan banyak orang, dan penyalahgunaan
atasnya terbukti telah merugikan banyak orang, bahkan merenggut banyak nyawa
tak berdosa. Kata Havel—sebagaimana dikutip di awal tulisan ini—di dalam kuasa terdapat
kekuatan yang begitu menggoda, tetapi delusif, palsu, sekaligus berbahaya.
Jika
seorang penggenggam kekuasaan tidak mampu menaklukkannya di bawah bimbingan
kesadaran nurani dan akal budinya, maka ia pun akan terbutakan olehnya, bahkan
akan dilumatnya. Inilah yang terjadi pada sebagian besar mantan pejabat kita
yang sekarang ini tengah menjadi pesakitan di pengadilan akibat penyalahgunaan
kekuasaan. Dan inilah gambaran nyata ketika kekuasaan tidak dikelola secara
benar, amanah dan akuntabel. Saat ini terdapat 293 kepala daerah yang masuk
penjara akibat berperkara hukum. Menurut rilis Kemendagri, tak lama lagi
menembus angka 300 orang!
Menggenggam
kekuasaan tak ubahnya memelihara seekor rubah atau serigala, binatang buas yang
dikenal licik dan ganas. Ia patuh pada perintah majikannya sepanjang
kebutuhannya terpenuhi, tetapi ia juga bisa menyerang dan memakan sang majikan
kapan saja, terutama ketika lapar atau kebutuhannya tak terpenuhi. Analogi ini
menggambarkan betapa ganas dan buasnya kekuasaan jika aktualisasinya tidak
dibimbing oleh kewaspadaan dan tak dikelola secara produktif bagi kebajikan,
kemaslahatan dan kesejahteraan bersama.
Tiga
jenis kuasa
Kuasa,
menurut Anthony Giddens (The Constitution
of Society, 1984: 162), mewujud ke dalam dua bentuk: (1) kuasa alokatif dan
(2) kuasa otoritatif. Jika kuasa alokatif merujuk kapasitas untuk menguasai
sumber daya ”keras” yang serba bendawi, kuasa alokatif adalah kemampuan
menguasai sumber daya institusional seperti lembaga pemerintahan. Dalam
perspektif Machiavellian, politik keseharian hanya didorong libido untuk
menguasai kedua jenis kuasa ini. Sebab, apa pun ideologi dan platform yang
dicanangkan sebuah parpol tidak akan memengaruhi tujuan akhir dari seluruh
sepak terjangnya di atas panggung politik-kekuasaan, yakni penguasaan atas
keduanya.
Melengkapi
kedua jenis kuasa di atas, Pierre Bourdieu (Language and Symbolic Power, 1991:
163) mengajukan jenis kuasa yang lain, kuasa simbolik. Kuasa jenis ini tecermin
dalam setiap posisi atau jabatan publik sebagai simbol yang memancarkan aura,
wibawa atau makna bagi setiap orang yang menggenggamnya. Artinya, orientasi dan
motivasi seseorang untuk menjadi pejabat tidak melulu material.
Kepuasan
seseorang ketika menjabat tidak bisa diukur dari seberapa banyak harta benda
atau materi yang telah dikuasai, tetapi ketika ia dipanggil ”Pak RT”, ”Pak
Bupati”, ”Pak Gubernur”, dan semacamnya.
Dalam
konteks ini, panggung politik nasional jelas menyediakan sumber daya berlimpah
untuk diperebutkan individu dan parpol. Pembacaan Machievallian akan segera
mengendus adanya hasrat libidinal untuk menguasai sumber daya ini. Realitas
APBN adalah ceteris paribus, sebuah daya tarik utama yang menggerakkan hampir
seluruh gerak politik keseharian kita. Pada 2013, APBN kita bernilai Rp 1.657,9
triliun, naik sekitar 7 persen dari nilai APBN 2012. Dengan harga emas Rp
500.000 per gram, nilai ini setara dengan 3.316 ton atau 167 kontainer emas!
Sebuah bilangan yang sangat fantastis, lebih dari cukup untuk menyejahterakan
setiap rakyat Indonesia!
Bagi
para ”penyabung nasib” di kantor-kantor parlemen atau lembaga pemerintahan,
pertanyaan yang harus direfleksikan secara jernih adalah: ”apa yang kau cari?
Pengabdian kepada negeri ini? No way! Omong kosong! Saat ini panggung
politik-kekuasaan tidak menyediakan lahan pengabdian karena sudah habis
”dikapling” oleh para pendiri bangsa ini. Biarlah kosakata pengabdian menjadi
bagian dari masa lalu yang tidak relevan lagi untuk masa sekarang”.
Sebenarnya
rakyat maklum belaka jika mereka berdalih mencari penghidupan melalui jabatan
publik. Bahasa
eufemistiknya, profesionalisme. Jika terpilih sebagai anggota
DPR atau kepala daerah, anggaplah jabatan yang mereka emban sebagai pilihan
profesi. Mereka digaji oleh negara (baca: rakyat) sebagai akibat dari jabatan
yang diemban. Akan tetapi, mereka harus bekerja sesuai dengan gaji yang
diterima. Terpenting lagi: jangan korupsi. Karena, lambat atau cepat, rakyat
akan menghukum siapa pun yang menyalahgunakan kekuasaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar