|
KOMPAS, 08 Juni 2013
Terseretnya beberapa perempuan dalam pusaran
kasus suap impor daging sapi yang menimpa Ahmad Fathanah dan beberapa politisi
PKS setidaknya menunjukkan citra perjuangan masa depan kaum hawa masih
tersandung kerikil.
Sejatinya dalam diri perempuan tersimpan
benih keperkasaan, ketangguhan, dan pantang menyerah. Ironisnya, sifat-sifat
”unggul” ini kerap dikapitalisasi untuk menghalalkan tujuan-tujuan yang
bersifat melestarikan kuasa patriarkat.
Seiring gelombang feminisme, perempuan memang
mulai memiliki kesempatan spiritual lebih baik untuk eksis di tengah dominasi
pria. Selain berperan sebagai ibu yang sukses mengasuh anak atau merawat
keluarga, juga tangguh sebagai penggiat organisasi, politisi, pekerja lintas
profesi, seniman, budayawan, artis, bintang iklan, foto model, jurnalis,
presenter, dan profesi terhormat lainnya (Lily Z Munir, 2008).
Namun, jumlah itu tetap masih minim
dibandingkan dengan kesempatan yang direguk lawan jenisnya. Dalam derap
politik, di telapak kaki perempuan masih belum tersimpan ”surga”.
Pasca-diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No 2/2008 tentang Partai Politik yang
mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam pencalonan politik untuk menduduki
kursi parlemen, politik perempuan masih ditimpa kuasa patriarkat yang belum
menghargai urgensi perempuan dalam kerja politik inklusif. Kuota 30 persen
calon anggota legislatif (caleg) perempuan dipatuhi seadanya tanpa proses
pengaderan yang bermutu.
Padahal, kekerasan domestik, kemiskinan, dan
lemahnya akses perempuan terhadap pekerjaan dan pendidikan dapat diperjuangkan
oleh kehadiran langsung perempuan di berbagai kamar pengambilan keputusan. Baik
di tingkat di partai, legislatif, maupun di birokrasi pemerintahan.
Keberhasilan Puput Tantriana Sari yang
memenangi kursi Bupati Probolinggo, Jawa Timur; Atty Suharti yang memenangi
kursi Wali Kota Cimahi, Jawa Barat; Sri Surya Widati yang memenangi kursi
Bupati Bantul; Anna Sophanah yang sebagai Bupati Indramayu, atau Widya Kandi
sebagai Bupati Kendal tentunya adalah prestasi yang tak bisa dinafikan di arena
politik.
Hanya saja, semringah kiprah perempuan di
ranah politik ini tampaknya masih akan terancam tembok maskulinitas. Politisasi
korupsi terhadap perempuan atau munculnya fenomena gratifikasi seks adalah
tendensi yang menunjukkan perempuan kerap dijadikan komoditas dalam rezim
politik kapitalisme.
Kualitas
Hipotesis feministik mencatat, kualitas
pendidikan menjadi faktor yang menjebak perempuan dalam posisi tawar yang
ringkih. Terlebih di tengah gelombang hedonisme massa yang meruyak.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2009 masih
memperlihatkan 75,69 persen perempuan usia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan
tamat SMP ke bawah. Dari jumlah itu, mayoritas hanya mengenyam pendidikan
hingga tingkat SD, yakni sebanyak 30,70 persen. Bahkan, semakin tinggi tingkat
pendidikan, persentase partisipasi pendidikan perempuan semakin rendah: SMA
(18,59 persen), diploma (2,74 persen), dan universitas (3,02 persen).
Menurut data Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, hingga 2010, jumlah perempuan Indonesia yang belum melek huruf
sekitar 5 juta lebih. Meski angka partisipasi sekolah perempuan meningkat
dibandingkan pria, itu hanya pada tingkat pendidikan rendah.
Pendidikan yang rendah dan timpangnya
kualitas pendidikan perempuan pada pendidikan tinggi menyebabkan daya saing
kerja perempuan pun rendah. Sekitar 4,2 juta perempuan Indonesia (70 persen)
dari total 6 juta tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor rumah tangga alias
sebagai pekerja migran karena ekonomi sulit dan ketimpangan akses permodalan.
Paparan di atas kian mengungkung wanita pada
lemahnya basis kesadaran kolektif sebagai kelas nomor dua di dalam struktur
sosial. Sebaliknya, laki-laki dianggap sosok maskulin, penanggung jawab
keluarga sekaligus pemimpin di masyarakat. Di Swiss, misalnya, 50 persen
penduduk perempuannya dilarang memilih dalam pemilu (Huntington, 1991). Kenyataan yang masih terjadi di negara maju ini
terkait dengan pandangan yang mewarisi filsafat Hegel dan Kant bahwa dalam diri
perempuan tidak ada rasionalitas, selain tubuh, tenaga, dan jerih payah yang
dieksploitasi.
Untuk Indonesia, mungkin bisa dilihat pada
potret birokrasi. Di birokrasi Kementerian Pertahanan, pada 2012 ternyata
birokrat masih didominasi laki-laki. Pejabat eselon I dari TNI tercatat 9
laki-laki dan 1 perempuan. Eselon II terdapat 60 laki-laki dan hanya 1
perempuan. Eselon III, laki-laki tetap mendominasi dengan 272 orang, sedangkan
perempuan cuma 20 orang. Pada pegawai negeri sipil eselon I, laki-laki
berjumlah 9 orang, sedangkan perempuan cuma 1. Di eselon II, ada 4 laki-laki
dan 1 perempuan. Eselon III terdapat 7 laki-laki dan 15 perempuan.
Dilihat dari kepangkatan militer, ada 71
perwira tinggi laki-laki dan perempuan hanya 1. Perwira menengah 693 laki-laki
dan 95 perempuan, sementara perwira pertama 114 laki-laki dan 26 perempuan.
Jomplangnya proporsi jabatan pria dan perempuan ini karena jabatan militer
dinilai kurang cocok untuk ciri fisik perempuan yang secara kodrati dianggap
lemah.
Buka akses
Kita berharap partai politik secara serius
menyiapkan kader-kader perempuan berkualitas sejak sekarang sebagai investasi
politik di lima tahun berikut untuk mengisi pos-pos politik di parlemen ataupun
birokrasi. Selain itu, pemerintah pusat dan daerah harus sungguh-sungguh
membuka akses bagi perempuan dalam merajut peran dan kariernya di berbagai bidang,
termasuk di birokrasi.
Penempatan atau pemberian akses tersebut
tentu berdasarkan pertimbangan kualitas kompetensi, bukan karena aspek
kewanitaan, sebagaimana ungkapan Marina Mahathir, most women are not elected because they are women. Apalagi menurut
Sharpe (2000), perempuan memiliki keunggulan dalam hal hubungan interpersonal,
kecermatan, naluri prestasi, mementingkan proses, dan kejujuran kerja serta
bersikap lebih demokratis.
Jokowi sudah membuktikannya. Ketika terminal
di kota Solo semrawut dan rawan
premanisme, ia pun mengangkat perempuan menjadi kepala terminal. Hasilnya,
wajah terminal berubah tertib, nyaman, dan steril dari tindakan kriminal.
Selain itu, 17 pasar tradisional di Solo berhasil dibangun di bawah Ketua
Satpol Pamong Praja yang adalah seorang perempuan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar