|
KOMPAS, 08 Juni 2013
Pada saat pemerintahan Orde Baru berakhir
dengan mundurnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden 15 tahun lalu, pers
Indonesia tidak lagi perlu khawatir bahwa surat kabarnya akan diberedel atau
diberangus.
Diawali dengan Presiden BJ Habibie yang
menggantikan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, presiden-presiden berikutnya
pun berkomitmen kebebasan pers harus dipertahankan demi terjaganya
keberlangsungan demokrasi. Tidak heran jika banyak yang menganggap kehidupan
pers di negara ini sudah bebas.
Namun, dalam World Editors Forum yang berlangsung di Bangkok, Thailand, 3 Juni
lalu, Executive Director Southeast Asia
Press Alliance Thailand Gayathry Venkiteswaran menyebut Indonesia termasuk
salah satu negara yang kehidupan persnya belum bebas. Banyak peserta yang
seakan diingatkan kembali, kebebasan pers di negara ini masih bermasalah.
Apalagi, Gayathry, yang menjadi salah satu
pembicara dalam sesi ”Kebebasan Pers dan Pengembangan Media”, mengingatkan,
seperti di Filipina, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Meksiko,
kehidupan pers di Indonesia belum bebas mengingat insan pers masih menghadapi
gangguan atau ancaman dalam menjalankan tugasnya. Di negara-negara tersebut,
risiko tinggi masih menghadang insan pers dalam menjalankan tugasnya. Mulai
dari ditekan, diancam, dipukul, dirampas alat kerjanya, dirampas kendaraannya,
diculik, bahkan hingga kehilangan nyawanya. Yang dimaksud dengan kehilangan
nyawa dalam menjalankan tugas ialah tewas dibunuh, dan bukan karena kecelakaan
sepeda motor. Meskipun demikian, tidak berarti kita tidak menyayangkan insan
pers yang harus kehilangan nyawa saat mengendarai sepeda motor.
Apa yang dikatakan Gayathry itu benar. Pers
Indonesia pada saat ini memang telah bebas dari kemungkinan akan diberedel
pemerintah, tetapi jika dikaitkan dengan kebebasan dalam menjalankan tugasnya,
pers Indonesia memang masih belum bebas. Masih banyak sekali gangguan atau
ancaman yang harus dihadapi pers dalam menjalankan tugasnya.
Gangguan itu tidak hanya datang dari anggota
institusi pemerintah, militer, kaki tangan pengusaha, terutama pengusaha kayu
gelondongan ilegal (illegal logging),
ataupun anggota kelompok masyarakat, tetapi juga datang dari pemilik penerbitan
pers yang bersangkutan.
Ada dua kasus yang dapat diangkat ke
permukaan kembali. Pertama, kekerasan yang dilakukan personel TNI AU terhadap
tujuh wartawan yang berupaya meliput jatuhnya pesawat Hawk 200 TNI AU di
permukiman warga Pasir Putih, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.
Kamera para wartawan itu dirampas, dan mereka dipukuli (16 Oktober 2012).
Kedua, personel Kepolisian Resor Kota Gorontalo yang melakukan kekerasan
terhadap wartawan dalam insiden di Stasiun TVRI Gorontalo.
Gangguan ancaman yang dihadapi wartawan dalam
menjalankan tugas menjadikan asosiasi atau perhimpunan wartawan, baik lokal
maupun internasional, serta Perserikatan Bangsa-Bangsa (dalam hal ini UNESCO),
tengah mengupayakan berbagai cara untuk membuat wartawan aman dalam menjalankan
tugasnya. Baik itu pada masa damai maupun bertugas di medan perang atau meliput
konflik. Dengan kata lain, tantangan bagi setiap wartawan adalah bagaimana
meliput perang atau konflik bersenjata, tetapi tetap selamat.
Etika jurnalistik
Kebebasan pers tidak berdiri sendiri. Sama
seperti satu keping uang logam yang mempunyai dua sisi, demikian juga kebebasan
pers. Selalu ada etika yang menyertai kebebasan pers. Ini harus selalu diingat
setiap insan pers dalam menjalankan tugasnya.
Itu pula yang dikemukakan pembicara lain,
yakni Aiden White dari Ethical Journalism
Network, Inggris. Ia mengingatkan, kebebasan pers itu bukan tanpa batas.
”Jurnalisme atau jurnalistik itu bukanlah kebebasan berbicara, melainkan
ekspresi atas pernyataan (sikap) yang dibatasi,” ujarnya.
Pertanyaannya, apa yang membatasi ekspresi
itu? Jawabannya, etika jurnalistik dan perundang-undangan. Dengan menerapkan
etika jurnalistik dan memperhatikan rambu-rambu perundang-undangan dalam
menjalankan tugasnya, seorang wartawan dapat menjaga profesionalismenya.
Namun, di dalam sesi ”Kebebasan Pers dan
Pengembangan Media”, tidak hanya kebebasan pers dan etika jurnalistik yang
dibahas, pembicara juga menyinggung tentang perlunya pers lebih terbuka
terhadap kritik yang ditujukan kepadanya.
Harus diakui, selama ini pers sangat gemar
mengkritik pihak lain tentang sesuatu yang dianggapnya tidak benar. Itu memang
karena mengkritik merupakan salah satu tugas pers. Namun, ketika menghadapi kritik
karena kekurangsempurnaan dalam pelaporannya, pers kurang bersikap terbuka.
Sikap seperti itu tentunya sulit untuk diterima. Jika pers melontarkan kritik,
tentunya juga harus bersedia dikritik.
Kebebasan pers memang sangat penting untuk
menjaga keberlangsungan demokrasi. Itu sebabnya semua pihak harus melakukan
perannya agar kebebasan pers tetap terjaga. Dengan kata lain, baik pihak
eksternal maupun pihak internal (dalam hal ini pemilik pers yang bersangkutan)
jangan mengganggu atau mengancam insan pers dalam menjalankan tugasnya secara
profesional. Sebaliknya, pihak pers pun harus bersedia menerima kritik. Dengan
demikian, demokrasi di negara ini akan terjaga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar