Kamis, 13 Juni 2013

Formulasi Kontekstual Taufiq Kiemas

Formulasi Kontekstual Taufiq Kiemas
Afnan Malay ;   Tenaga Ahli Ketua MPR RI
KORAN TEMPO, 12 Juni 2013


Pilar yang berarti tiang penyangga tentu berbeda dengan dasar atau fundamen, sehingga disimpulkan menyamakan Pancasila sebagai pilar merupakan sesat pikir yang degradatif.
Sekalipun sosialisasi empat pilar (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) yang dilakukan pimpinan MPR periode 2009-2014 mendapat sambutan yang hangat, ternyata ada juga yang merasakan keganjilan bahwa seolah-olah Pancasila telah diturunkan kehormatannya. Keberatan yang dikemukakan terutama tertuju ke penempatan Pancasila sebagai pilar.
Mengiringi duka atas berpulangnya Taufiq Kiemas, Ketua MPR RI, agaknya diperlukan pemahaman terhadap gagasan empat pilar yang, menurut Jusuf Kalla, merupakan sumbangsih brilian sang Sukarnois tersebut.
Segelintir orang yang berkeberatan terhadap empat pilar berfokus pada alasan yang sama, yaitu Pancasila adalah dasar (fundamen), maka tidak sepantasnya disejajarkan menjadi sekadar pilar (tiang penyangga) belaka. Menurut mereka, setiap orang memahami bahwa pilar tak memiliki makna yang sama dengan dasar. Pilar yang berarti tiang penyangga tentu berbeda dengan dasar atau fundamen, sehingga disimpulkan menyamakan Pancasila sebagai pilar merupakan sesat pikir yang degradatif.
Empat pilar sesungguhnya sebuah upaya solutif atas situasi "vakum ideologis" pasca-reformasi. Karena itu, menarik mengutip Harry Tjan Silalahi yang sangat apresiatif menyatakan pendapatnya dalam buku Empat Pilar untuk Satu Indonesia (2011) yang dieditori Imran Hasibuan dan Muhammad Yamin. Selain menyebutkan upaya Taufiq Kiemas merupakan revitalisasi dan reaktualisasi yang dinilai sangat tepat, Harry menandaskan: sosialisasi empat pilar kebangsaan adalah untuk mengingatkan kita semua bahwa di antara begitu banyak ide dan gagasan, sebenarnya kita mempunyai nilai-nilai luhur yang kompetitif dan kompatibel terhadap perkembangan dunia (halaman 25).
Begitu benderangnya makna pilar, banyak yang sangat yakin pemaknaan kata tersebut didefinisikan dalam pengertian sebagai setiap orang pastilah memahami posisi Pancasila tidak sama dengan pilar. Kata pilar dengan begitu persis serupa dengan api atau air, yang semua orang memahaminya sama. Apa yang dianggap oleh mereka, yang menolak Pancasila dimasukkan ke dalam empat pilar, bahwa semua orang memahami hal yang sama untuk kata tertentu ataupun kalimat tertentu, sebenarnya orang-orang tersebut mendudukkan kata pilar dalam konteks bahasa yang sosiologis belaka.
Andaikata mereka yang tidak setuju dengan formulasi empat pilar agak sedikit rendah hati, bisa dipastikan akan menerjemahkan kata pilar tidak sekadar berhenti pada pemaknaan sosiologis semata, tapi juga merujuk pada pengertian baku atau definitif yang tempatnya tersembunyi di dalam kamus.
Arti kata "pilar" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua, cetakan kesembilan (1997), pada halaman 768, adalah: pertama, tiang penyangga; kedua, dasar dan pokok. Sedangkan KBBI edisi keempat (2009), pada halaman 1.073, selain dua arti di atas, memasukkan makna ketiga, yaitu kap yang berbentuk silinder yang terdapat di geladak kapal.
Menempatkan posisi Pancasila ke dalam konsep empat pilar sama sekali bukan tindakan degradatif atau upaya untuk mereduksi sumbangsih terbesar Bung Karno-sebagai penggalinya-berdasarkan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat kita.
Merujuk pada buku empat pilar yang diterbitkan MPR dan pokok-pokok pikiran Taufiq Kiemas berupa naskah akademis berjudul Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara sebagai Moralitas dan Sumber Hukum Nasional pada saat pidato penganugerahan gelar doktor kehormatan dari Universitas Trisakti, Jakarta, Maret lalu, ada konteks yang melatari hadirnya konsep empat pilar. Konsep yang jelas muaranya adalah kembali memuliakan Pancasila, sejatinya seperti substansi tulisan Harry, dengan cara melakukan reaktualisasi. Sebab, faktanya, model indoktrinasi Pancasila masa Orde Baru jatuh pada politisasi yang manipulatif dan pasca Reformasi 1998, terjadi kondisi pembiaran yang sangat longgar.
Kedua situasi demikian itu menjadi keprihatinan mendalam yang mendorong fraksi-fraksi di MPR menemukan formulasi yang kontekstual atas pilar-pilar (baca: pokok-pokok) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pokok-pokok itu adalah empat pilar, yaitu: Pancasila (filosofi negara), UUD 1945 (konstitusi negara), NKRI (otoritas territorial), serta Bhinneka Tunggal Ika (pluralitas sebagai pola relasi-interaksi).
Upaya reaktualisasi dan-mungkin-revitalisasi menyebabkan Pancasila dikemas dalam satu paket dengan tiga pilar yang lain sebagai satu kesatuan yang holistik. Pemikiran mendasar terhadap pemaketan seperti itu merupakan bentuk pemagaran agar Pancasila benar-benar menjadi pedoman berbangsa dan bernegara. yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Realitas yang kita hadapi, ada yang mengakui Pancasila tapi senantiasa masih melakukan negosiasi terhadap konstitusi negara (UUD 1945). Mengakui Pancasila sambil tetap merongrong otoritas wilayah kesatuan (NKRI). Mengakui Pancasila, praktek perilakunya sama sekali jauh dari sikap toleran bahkan mencederai keberagaman-keberbedaan (Bhinneka Tunggal Ika).
Tentu tidak hierarkis murni, tapi konsep urut-urut dalam empat pilar dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan payung bagi ketiga pilar yang lain atau ketiga pilar yang lain meneguhkan kedudukan Pancasila sebagai rujukan. Karena itu, elok bagi kita memahami empat pilar sebagai formulasi kontekstual yang berfungsi sebagai batasan yang tegas (imperatif) terhadap relasi-interaksi yang kita bangun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agaknya, itulah kontribusi paling signifikan dan dikemas dalam format yang memikat, dari konsep empat pilar. Sebab, kini, ketika kita mendiskusikan Pancasila, secara otomatis langsung terbayangkan ketiga hal yang (juga) signifikan: UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ketiga pokok soal yang posisinya jelas sebagai penopang Pancasila. Sederhananya, konsep empat pilar menyebabkan kita menyebut ketiga pilar yang lain secara bersamaan dalam satu tarikan napas dengan Pancasila.
Ketika memberikan sambutan sebagai penghormatan terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan bahwa Taufiq Kiemas adalah tokoh rekonsiliatif, perekat yang sangat dibutuhkan bangsa ini. Perekat kita ke depan telah diwariskannya dalam formulasi empat pilar. Selamat jalan, Sang Perekat Kebangsaan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar