|
KORAN
TEMPO, 12 Juni 2013
Pilar yang berarti tiang penyangga tentu berbeda dengan
dasar atau fundamen, sehingga disimpulkan menyamakan Pancasila sebagai pilar
merupakan sesat pikir yang degradatif.
Sekalipun sosialisasi empat pilar (Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) yang dilakukan pimpinan MPR periode 2009-2014
mendapat sambutan yang hangat, ternyata ada juga yang merasakan keganjilan
bahwa seolah-olah Pancasila telah diturunkan kehormatannya. Keberatan yang
dikemukakan terutama tertuju ke penempatan Pancasila sebagai pilar.
Mengiringi duka atas berpulangnya Taufiq Kiemas, Ketua MPR
RI, agaknya diperlukan pemahaman terhadap gagasan empat pilar yang, menurut
Jusuf Kalla, merupakan sumbangsih brilian sang Sukarnois tersebut.
Segelintir orang yang berkeberatan terhadap empat pilar
berfokus pada alasan yang sama, yaitu Pancasila adalah dasar (fundamen), maka
tidak sepantasnya disejajarkan menjadi sekadar pilar (tiang penyangga) belaka.
Menurut mereka, setiap orang memahami bahwa pilar tak memiliki makna yang sama
dengan dasar. Pilar yang berarti tiang penyangga tentu berbeda dengan dasar
atau fundamen, sehingga disimpulkan menyamakan Pancasila sebagai pilar
merupakan sesat pikir yang degradatif.
Empat pilar sesungguhnya sebuah upaya solutif atas situasi
"vakum ideologis" pasca-reformasi. Karena itu, menarik mengutip Harry
Tjan Silalahi yang sangat apresiatif menyatakan pendapatnya dalam buku Empat
Pilar untuk Satu Indonesia (2011) yang dieditori Imran Hasibuan dan Muhammad
Yamin. Selain menyebutkan upaya Taufiq Kiemas merupakan revitalisasi dan
reaktualisasi yang dinilai sangat tepat, Harry menandaskan: sosialisasi empat
pilar kebangsaan adalah untuk mengingatkan kita semua bahwa di antara begitu
banyak ide dan gagasan, sebenarnya kita mempunyai nilai-nilai luhur yang
kompetitif dan kompatibel terhadap perkembangan dunia (halaman 25).
Begitu benderangnya makna pilar, banyak yang sangat yakin
pemaknaan kata tersebut didefinisikan dalam pengertian sebagai setiap orang
pastilah memahami posisi Pancasila tidak sama dengan pilar. Kata pilar dengan
begitu persis serupa dengan api atau air, yang semua orang memahaminya sama.
Apa yang dianggap oleh mereka, yang menolak Pancasila dimasukkan ke dalam empat
pilar, bahwa semua orang memahami hal yang sama untuk kata tertentu ataupun
kalimat tertentu, sebenarnya orang-orang tersebut mendudukkan kata pilar dalam
konteks bahasa yang sosiologis belaka.
Andaikata mereka yang tidak setuju dengan formulasi empat
pilar agak sedikit rendah hati, bisa dipastikan akan menerjemahkan kata pilar
tidak sekadar berhenti pada pemaknaan sosiologis semata, tapi juga merujuk pada
pengertian baku atau definitif yang tempatnya tersembunyi di dalam kamus.
Arti kata "pilar" menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) edisi kedua, cetakan kesembilan (1997), pada halaman 768,
adalah: pertama, tiang penyangga; kedua, dasar dan pokok. Sedangkan KBBI edisi
keempat (2009), pada halaman 1.073, selain dua arti di atas, memasukkan makna
ketiga, yaitu kap yang berbentuk silinder yang terdapat di geladak kapal.
Menempatkan posisi Pancasila ke dalam konsep empat pilar
sama sekali bukan tindakan degradatif atau upaya untuk mereduksi sumbangsih
terbesar Bung Karno-sebagai penggalinya-berdasarkan nilai-nilai yang tumbuh
dalam masyarakat kita.
Merujuk pada buku empat pilar yang diterbitkan MPR dan
pokok-pokok pikiran Taufiq Kiemas berupa naskah akademis berjudul Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara sebagai Moralitas dan Sumber Hukum Nasional
pada saat pidato penganugerahan gelar doktor kehormatan dari Universitas
Trisakti, Jakarta, Maret lalu, ada konteks yang melatari hadirnya konsep empat
pilar. Konsep yang jelas muaranya adalah kembali memuliakan Pancasila,
sejatinya seperti substansi tulisan Harry, dengan cara melakukan reaktualisasi.
Sebab, faktanya, model indoktrinasi Pancasila masa Orde Baru jatuh pada
politisasi yang manipulatif dan pasca Reformasi 1998, terjadi kondisi pembiaran
yang sangat longgar.
Kedua situasi demikian itu menjadi keprihatinan mendalam
yang mendorong fraksi-fraksi di MPR menemukan formulasi yang kontekstual atas
pilar-pilar (baca: pokok-pokok) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pokok-pokok itu adalah empat pilar, yaitu: Pancasila (filosofi negara), UUD
1945 (konstitusi negara), NKRI (otoritas territorial), serta Bhinneka Tunggal
Ika (pluralitas sebagai pola relasi-interaksi).
Upaya reaktualisasi dan-mungkin-revitalisasi menyebabkan
Pancasila dikemas dalam satu paket dengan tiga pilar yang lain sebagai satu
kesatuan yang holistik. Pemikiran mendasar terhadap pemaketan seperti itu
merupakan bentuk pemagaran agar Pancasila benar-benar menjadi pedoman berbangsa
dan bernegara. yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Realitas yang kita hadapi, ada yang mengakui Pancasila tapi
senantiasa masih melakukan negosiasi terhadap konstitusi negara (UUD 1945).
Mengakui Pancasila sambil tetap merongrong otoritas wilayah kesatuan (NKRI). Mengakui
Pancasila, praktek perilakunya sama sekali jauh dari sikap toleran bahkan
mencederai keberagaman-keberbedaan (Bhinneka Tunggal Ika).
Tentu tidak hierarkis murni, tapi konsep urut-urut dalam
empat pilar dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan payung bagi ketiga
pilar yang lain atau ketiga pilar yang lain meneguhkan kedudukan Pancasila
sebagai rujukan. Karena itu, elok bagi kita memahami empat pilar sebagai
formulasi kontekstual yang berfungsi sebagai batasan yang tegas (imperatif)
terhadap relasi-interaksi yang kita bangun dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Agaknya, itulah kontribusi paling signifikan dan dikemas
dalam format yang memikat, dari konsep empat pilar. Sebab, kini, ketika kita
mendiskusikan Pancasila, secara otomatis langsung terbayangkan ketiga hal yang
(juga) signifikan: UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ketiga pokok soal
yang posisinya jelas sebagai penopang Pancasila. Sederhananya, konsep empat
pilar menyebabkan kita menyebut ketiga pilar yang lain secara bersamaan dalam
satu tarikan napas dengan Pancasila.
Ketika memberikan sambutan sebagai penghormatan terakhir,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan bahwa Taufiq Kiemas adalah tokoh
rekonsiliatif, perekat yang sangat dibutuhkan bangsa ini. Perekat kita ke depan
telah diwariskannya dalam formulasi empat pilar. Selamat jalan, Sang Perekat Kebangsaan.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar